Agar Tidak Patah Hati

Kata Sapardi mencintai itu sederhana. Kau mencintai orang itu, senang berada di dekatnya, dan ingin merasakan kebahagiaan itu selamanya. Tapi kata Jokpin, justru mencintai dengan sederhana adalah mencintai paling tidak sederhana. Sangat sukar mencintai orang, sulit pula selalu berada di sisinya, dan lebih susah lagi merawat cinta itu selamanya. Rasanya kedua pujangga itu benar. Cinta bisa begitu sederhana dan mudah bagi sebagian orang. Lainnya mesti perpayah-payah berjuang. Hidup kadang selucu itu.

Ada orang yang bertemu sekejap, jatuh cinta, memutuskan menikah, lalu hidup menua bersama hingga maut pun tak bisa memisahkan mereka.

Sisanya berada dalam fase tidak ingin mencinta, apalagi menikah. Ia merasa bisa hidup sendiri dan pasti akan baik-baik saja. Toh ia punya ibu, saudara, dan teman-teman baik yang tidak akan menyakitinya.

Orang-orang seperti ini mungkin pernah terjebak dalam toxic relationship, atau masih tenggelam dalam lautan kekecewaan masa lalu. Hingga membuatnya trauma merangkai hubungan lagi. Hal yang mungkin sulit dipahami orang lain, yang kadang melihat cinta dari kacamata adagium “mati satu tumbuh seribu”. Padahal cinta bisa saja rumit dan jauh dari kata sederhana bagi orang lain. Hingga akhirnya memilih sendiri sebagai jalan ninja hidupnya. Sebuah pilihan yang mungkin irasional bagi kebanyakan orang. Tapi cinta tak tumbuh di kepala, melainkan benih yang mengakar dalam taman hati anak manusia.

Memang, tak bisa dimungkiri kecewa adalah salah satu konsekuensi cinta. Kita sering mendengar istilah “jatuh cinta”. Dan dalam sejarah umat manusia, “jatuh” selalu dikonotasikan dengan “sakit”. Jatuh cinta adalah awal dari jatuh-jatuh yang lain. Sebab di sanalah hasrat kita tumbuh untuk dicintai pula. Kita menginginkan cinta dari orang yang membikin kita jatuh cinta. Malangnya, cinta kadang tak semulus jalan tol. Ia bisa menjelma jalan berbatu, berliku, dan berlumpur, laiknya jalan di pelosok-pelosok negeri.

Lalu, dari mana sebenarnya benih kekecewaan itu?

Amatlah menyenangkan membaca pendakuan Muhidin M. Dahlan dalam bukunya Mencari Cinta. Buku kecil ini amat patut dijadikan buku saku bagi para pecinta. Ia mengatakan bahwa pencarian cinta sebenarnya adalah pencarian abadi seorang manusia berbudaya untuk menemukan kehidupan. Nah, dalam pencarian itu, Muhidin—meminjam pendakuan Eric Fromm—membagi dua orientasi cinta manusia: berusaha agar dicintai, lainnya berupaya keras untuk mencintai. Mari kita mengidentifikasi di mana kaki ini berpijak.

Dalam The Art of Loving, Erich Fromm merapalkan, berusaha dicintai orang lain adalah orientasi yang sakit. Sebab di sana kualitas individu digadaikan, tak lagi ditentukan oleh diri sendiri, melainkan orang lain. Kita mungkin saja memperoleh cinta yang didambakan itu, tapi itu nisbi belaka. Akhirnya, kita akan kecewa tatkala yang kita harapkan cintanya itu berpaling ke yang lebih dan lebih. Karena ukuran cintanya sudah digeser oleh hal-hal lain: muda, kaya, dan tersangka jaya. Sungguh, keinginan untuk dicintai akan membawa manusia pada jurang kehancuran, sebab ukuran-ukurannya amat rapuh.

Jauh hari, ternyata Fromm sudah mengingatkan, semakin manusia itu berusaha agar dicintai, makin sering pula ia membentur tembok kegagalan, hingga tubuhnya yang ringkih penuh luka lebam kekecewaan. Bagaimanakah perasaan kita, tatkala ingin dicintai tapi tak bisa merengkuhnya? Keinginan untuk dicintai adalah virus yang membawa penyakit bernama patah hati. Yang takkan sembuh meski vaksin berkali-kali. “Demikianlah cinta, deritanya tiada berakhir.” Kata Patkay, siluman babi dalam serial Kera Sakti.

Tak sedikit kemudian yang melakukan diet ketat berbahaya dengan menahan lapar berhari-hari, guna mencapai tubuh ideal, agar dicintai. Beli beragam skincare agar disukai kulit glowing-nya. Menipu dengan dalih investasi agar kaya dan dikagumi orang. Ada berjubel contoh di sekitar kita. Sudikah kita dicintai karena itu semua? Relakah kita menyiksa diri demi kepalsuan itu? Saya tidak membicarakan perempuan tok, ini tentang kita, laki dan perempuan tentu saja. Keduanya kini telah terjebak pada standar-standar di luar diri, hingga kehilangan otentisitas eksistensialnya. Dunia ini sungguh menipu. Sangat.

Karenanya, guna melepaskan diri dari lilitan kekecewaan dan sakitnya jeratan patah hati, Fromm berpesan agar kita belajar mencintai. Belajar mencintai itu berbeda dengan ingin dicintai. Kebahagiaan mencintai diperoleh dari apa yang kita cintai. Dengan begitu, maka segala sesuatu akan menjadi lebih indah. Jika yang pertama memosisikan diri sebagai objek, maka yang kedua ini menjadikan diri sebagai subjek. Mereka yang (belajar) mencintai tentu saja akan lebih bahagia, sebab ia bisa merdeka, bebas sebebas-bebasnya.

Sederhananya, ingin dicintai, berarti menerima. Sedang mencintai adalah memberi. Dari keduanya, mana potensinya lebih besar membikin manusia kecewa?

Ironisnya di kekinian, manusia berlomba ingin dicintai, sedang makin sedikit manusia yang mencintai. Kita hanya memberi jika menerima. Akhirnya bentuk cinta menjadi amat transaksional. Memandang cinta sebagai pelayanan orang lain pada diri. Kita senang diperlakukan ini itu, macam pejabat yang tak tahu diri. Hanya berbuat baik, ketika pasangan berbuat baik pula. Kita lupa bahwa cinta sejati adalah memberi tanpa pamrih, tak mengharap balasan perlakuan serupa. Sungguh, kekecewaan adalah buah dari pohon harapan. Mencintailah, laiknya ibu pada anak-anaknya.

Lebih jauh, dalam sebuah percakapan, seseorang pernah bilang bahwa dalam rumah tangga, dikotomi hak dan kewajiban mesti “ditanggalkan”, diganti dengan pengkhidmatan. Kini aku paham maksudnya. Memberi hakikatnya adalah berkhidmat. Pada manusia, dan lebih lagi pada Tuhan. Dengan begitu, kita berharap dalam hubungan dan rumah tangga, tak ada lagi yang mentalitas merasa paling berkorban, paling berjasa, dan paling superior. Hingga merasa pantas melakukan apa pun terhadap pasangan atau orang lain. Sebab sejatinya cinta itu memberi sebanyak-banyaknya. Bukankah agama mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah?

Itulah bentuk cinta paling sederhana, seperti larik puisi Sapardi, Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu…

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221