Sebuah Esai untuk Hari Film Nasional: Bioskop, Titanic, dan Hari Film Nasional

Gedung itu telah rata dengan tanah, seolah-olah sekompi pengemudi truk mabuk baru saja menabraknya dengan kecepatan tinggi. Bioskop itu tinggal nama, dan sekarang hanya menyisakan sisa reruntuhan bebatuan semen berwarna kusam abu-abu. Dari bawahnya bermunculan rumput-rumput hijau, bayam, atau kelihatannya, kemangi yang tumbuh dengan mudah setelah ditinggalkan bertahun-tahun. Sudah lewat tiga dekade, pasca kejayaan bioskop ini di era 70-80-an, lalu gedung itu mulai ditinggalkan, terbengkalai, dibiarkan kosong sampai catnya menghitam, menjadi tempat tinggal sekawanan kambing, kalong, dan burung-burung, lalu dilupakan.

Ia menjadi saksi diam terkait sejarah film di kabupaten di ujung paling selatan dari kota Makassar. Bagaimana ia menjadi salah satu—atau satu-satunya—episentrum hiburan massal bagi warga distrik di suatu era homogen, yang mengisi imajinasi, wacana, dan polemik sehari-hari setelah menyaksikan gambar bergerak dan bersuara.

Mungkin juga, ia menjadi bagian dari ”politik layar” ala Orba, yang memanfaatkan sarana penyiaran massal dalam usahanya mengantisipasi pengaruh komunisme di Indonesia pasca peristiwa 65.

Tapi, tidak ada catatan berapa banyak rol dan judul film pernah tayang ketika bioskop ini masih aktif. Berapa jam dalam sepekan, berapa hari dalam sebulan, dan berapa bulan dalam setahun bioskop ini memanjakan mata penikmatnya. Berapa banyak karcis terjual, berapa keuntungan dan kerugiannya, setelah ia beroperasi dalam setahun, misalnya. Siapa tukang di balik kamar sempit yang bertugas memutar rol film, kepala bioskop, dan di mana gulungan pita film itu disimpan sebelum diedarkan lagi ke bioskop-bioskop lainnya. Bagaimana jaringan bioskop saat itu, setidaknya di dua kabupaten terdekat dari Bulukumba, tempat dari bioskop yang kita bicarakan ini.

Semua itu tidak tercatat dalam tulisan-tulisan elite seolah-olah kegiatan berdimensi budaya ini tidak ada urusan sama sekali dengan pemerintah. Seakan-akan kegiatan seni budaya bukan bagian dari arsip negara, yang mencatat dinamikanya, pengaruhnya, dan hidup matinya. Toh, satu-satunya urusan pemerintah yang terkait dengan tempat ini adalah pemilu: ia menjadi bagian dari kebanyakan TPS-TPS, yang memanfaatkan lahan halamannya yang luas.

Ketika saya lahir di akhir dekade 80-an, itulah masa-masa kritis gedung ini, yang ditandai dari zaman peralihan ketika akhirnya media siar lain bernama radio lebih dominan. Setelah televisi masuk di rumah-rumah penduduk, bioskop ini mulai dilupakan.

Jadi praktis, pengalaman atas bioskop ini, setidaknya bagi saya, hanya menjadi sekadar wacana, yang didengarkan dari mulut ke mulut selama ini, ketimbang seperti generasi sebelumnya yang masih menyaksikan bagaimana bioskop ini hidup mengeluarkan suara-suara sinema dari film-film asal Tiongkok atau India, keramaian di sekitarnya, dan juga kejadian-kejadian kriminil yang bersumber darinya. Di masa lalu, keramaian yang dilahirkan dari bioskop ini banyak menciptakan kebiasan warga di sekitarnya: menjadi tempat pacaran, memfasilitasi pertemuan-pertemuan penting yang kalah saing dari ajakan seorang kepala desa, atau menjual paganan dan kopi tiam, yang bisa dibawa sampai ke dalam tiga bilik studionya.

Lalu, satu-satunya penanda signifikan bagi saya dari keberadaan gedung bioskop kepunyaan seorang Tionghoa ini adalah fungsinya sebagai peta. Di Bulukumba, sebagian besar penduduk yang tinggal di sekitar gedung ini akan menjadikannya sebagai penunjuk alamat rumah. ”Di samping bioskop”, ”Di depan bioskop”, ”Tidak jauh dari bioskop”, atau ”Pas di sekitar perempatan bioskop”, merupakan istilah-istilah penunjuk alamat, bagi orang yang membutuhkan di mana kepastian mukim seorang warga yang tinggal di daerah ”Texas”, tempat gedung ini berdiri.

Rumah kakek nenek saya berada tidak jauh dari gedung ini. Berjarak hanya sepelemparan batu. Beberapa saudara dari ibu juga tinggal di sekitarnya, dan sejak awal 2000-an ketika saya berpindah dari Kupang ke kota ini, gedung ini sudah lama tamat.

Tapi, karena mungkin didorong sisa-sisa kenangan dan suasana batin dari era film di bioskop ini, membuat tidak sedikit orang di kabupaten Bulukumba berusaha beradu nasib dapurnya dengan membuka tempat penyewaan kaset DVD  dan VCD; suatu masa menyenangkan bagi saya karena di masa inilah saya dapat menikmati banyak film melalui kaset CD yang disewakan tante saya sendiri. Ya, selain membuka usaha warnet, tante saya juga menkombainnya dengan tempat penyewaan CD film.

Di masa ini, saya barangkali orang pertama (bersama sepupu-sepupu) yang dapat lebih cepat menikmati sebagian besar kaset-kaset baru yang disuplai dari Makassar, sebelum mereka beredar di tetangga-tetangga yang notabene adalah pelanggan Mesra Disc, nama usaha penyewaan kaset tante saya itu. Di mata rantai peredaran CD seperti ini, adalah keistimewaan bagi orang lebih awal, karena ia lah pihak yang masih dapat merasakan permukaan mulus CD kali pertama dimainkan melalui matalampu laser mesin pemutar. Ia orang yang paling menikmati film tanpa terganggu marah-marah jika tiba-tiba kaset macet berputar. Dengan kaset yang masih bersih, dan mesin pemutar yang lumayan baik, adalah privilege tersendiri saat itu.

Tapi, jika Anda orang kesekian dari mata rantai peredaran kaset yang makin lama makin panjang, sudah bisa dipastikan akan mendapatkan permukaan CD yang banyak mengalami goresan, yang karena itu membuat Anda tidak dapat menikmati film dengan baik; kaset Anda akan tersendat-sendat, melahirkan bunyi decitan, lalu akhirnya gagal terputar.

Sebagai golongan assabiqunal awwalun, saya bisa menceritakan banyak spoiler film-film terbaru, yang tidak selamanya adalah film baru hanya karena ini lebih ditentukan soal kapan sebuah judul masuk dalam list pembelian. Itu maknanya, film baru hanya berarti baru karena ia baru saja ditonton, yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan tahun berapa film itu dibuat dan pertama kali dirilis di pasaran. Jadi bisa saja, semisal film Anaconda besutan Luis Llosa, yang dirilis sekitar 1997, diartikan film baru hanya karena baru kami tonton di awal tahun 2000-an, itupun melalui kaset-kaset CD-nya.

Sebagai seorang pencerita spoiler film, saya kadang menjadi penyelamat rasa penasaran bagi satu dua orang jika CD kasetnya gagal jalan di tengah cerita, tapi juga bisa menjadi lumayan menjengkelkan bagi sebagaian lainnya. Film, biar bagaimana pun akan jauh lebih mengasyikkan jika jalan ceritanya menghasilkan pengalaman emosional dari plot demi plot, melalui kesaksian sendiri dibandingkan hasil bocoran orang lain.

Barangkali tidak ada spoiler paling menggugah kelabat khayalan masa anak-anak selain potongan cerita berbau porno seperti yang pernah saya alami sendiri. Inilah, sepanjang yang masih saya ingat, film layar lebar pertama yang dapat saya tonton, meski tidak sepenuhnya selesai karena keburu disidak: Titanic. Dalam usia anak-anak sekolah dasar, adegan dewasa dalam film ini merupakan desas-desus menantang untuk ditonton, yang saat itu kami curidengar dari obrolan orang dewasa.

Di masa seperti usia saya saat itu, melakukan hal-hal tabu dan terlarang bisa menjadi ukuran keberanian seseorang. Dan, setelah pulang sekolah, sampailah kami di rumah teman bernama Amir Barata, yang memiliki alat putar CD yang masih terbilang istimewa dan jarang ditemui itu. Di rumah Amir itulah, kami menggenapkan hasrat penasaran anak ingusan terkait isi adegan dewasa Titanic, yang diperankan Leonardo Dicaprio dan Kate Winslet itu, suatu adegan percintaan di dalam sebuah mobil klasik yang paling kami tunggu-tunggu. Tapi, sayang sebelum tiba ke adegan yang kami harap-harapkan itu, pintu rumah terbuka di belakang kami. Orangtua Amir baru saja pulang kerja dari kantornya. Tidak usah saya ceritakan kejadian detail apa yang terjadi setelah kedatangan orangtua Amir saat itu, mengingat film Titanic pada zaman semacam apa yang kami alami tidak diperuntukkan bagi anak-anak.  

Bertahun-tahun setelahnya, banyak film yang membuat saya terkesan. Entah karena jalan ceritanya, endingnya, atau teknik dan teknologi yang membuat sebuah film layak dinikmati. Titanic adalah satu di antaranya, yang sampai sekarang membuat banyak orang menginginkan kisah percintaan seperti yang diperjuangkan Jack, dan terutama bagi seorang perempuan, sangat tidak ingin bernasib sama seperti Rose; seorang anak perempuan yang tidak begitu bebas dapat menentukan sendiri pilihan hidupnya, termasuk soal pasangan hidup. Rose hidup dari latarbelakang keluarga mapan, yang diatur hidupnya melalui tradisi keluarga yang ketat dan kaku, dari era Victorian yang sangat mengistimewakan gelar kebangsawanan seseorang.

Sementara Jack, adalah seniman jalanan, yang hidupnya tidak dapat ia jamin sendiri selain kebebasannya. Di suatu pertaruhan judi lah Jack mendapatkan kemenangan dua tiket kelas ekonomi kapal Titanic, suatu perahu kapal paling gigantis dan istimewa saat itu. Jika bukan karena itu, Jack yang seorang anak muda kere tapi rupawan, tidak akan mungkin mendudukkan pantatnya di kursi-kursi besi kapal berkapasitas 1.178 orang itu. Dan, di atas kapal inilah dua anak manusia yang mewakili kelas borjuis dan papa dapat saling bertemu dari suatu insiden: Jack dan Rose dapat berkenalan setelah Jack menyelamatkannya dari keinginan bunuh diri. Kejadian itu terjadi di buritan paling buncit kapal, dan kelak di ujung satunya, yakni di tiang-tiang ujung haluan kapal ini, terjadilah adegan paling ikonik sering ditiru dari film ini: Jack dan Rose saling berpelukan dan berciuman pasca mereka ”terbang” sambil merasakan udara kebebasan di samudera lepas.

Saya beruntung masih mendapatkan keseruan jasa sewa kaset CD yang lumayan gampang ditemui ketika melanjutkan masa belajar di Makassar, meski ketika era internet mulai booming, dan setiap orang sudah bisa kemana-mana menenteng laptop, film dengan mudah dapat digandakan dan dapat disimpan dalam alat penyimpanan selama yang Anda inginkan. Dengan kondisi perubahan dari era CD ke era flasdisk, dan dari perubahan digital besar-besaran memukul juga mata rantai siklus ekonomi jasa penyewaan kaset CD yang kelihatannya lebih cepat gulung tikar dari yang sebagian orang harapkan.

Beberapa waktu lalu, di sebuah pertemuan dengan rekan-rekan mahasiswa, kami berdiskusi satu di antaranya tentang film, dan judul-judul apa yang pantas untuk diperkenalkan kepada banyak orang, termasuk mahasiswa. Saya merekomendasikan dua film, yang entah mengapa saya lupa, saat itu, mengingat satu judul dari keduanya: I Not Stupid (2002) dan Breavheart (1995).

Jauh sebelum kepopuleran Ranchoddas Shamaldas Chanchad (Amir Khan) dalam 3 Idiot, Jack Leo, seorang sutradara berkebangsaan Singapura, sudah lebih dulu membuat film bertema kritik pendidikan. Dalam I Not Stupid, melalui kisah tiga anak yang masih duduk di sekolah dasar, yang merasakan sekolah bagai penjara karena tekanan guru dan orangtua mereka, Jack Leo mengangkat kesenjangan antara bakat lain setiap anak dengan harapan semua orangtua, yang ingin melihat anaknya menjadi cerdas berdasarkan versi mereka. Tiga orang anak ini merasakan ekspektasi berlebihan dan dididik menyerupai robot hanya untuk memenuhi ambisi orangtua mereka, seolah-olah kecerdasan dengan nilai tinggi adalah satu-satunya prestasi sang anak yang patut diapresiasi. Mendulang kesuksesan dengan meraih peringkat tiga dengan pendapatan terbesar pasca ia diputar di Singapura, I Not Stupid mengeluarkan sekuel keduanya dengan judul kover I Not Stupid Too di tahun 2006 silam.

Sementara Breavheart yang kemudian sering diputar gelondongan di TV swasta, bercerita tentang era perjuangan pahlawan Skotlandia bernama William Wallace (Mel Gibson) terhadap kesewenangan bangsawan-bangsawan Inggris di abad 13. Di akhir cerita ia dijatuhi hukuman pancung setelah ditipu sekutunya. Kepalanya terpisah setelah ia meneriakkan kalimat terakhirnya berbunyi ”freedom”, suatu adegan yang membuat saya tergidik dan berurai air mata. Dalam suatu riwayat, tubuh Wallace dipotong menjadi beberapa bagian dan setiap potongannya disebarkan di seluruh penjuru Inggris sesuai arah mata angin, untuk memberikan efek ketakutan bagi pemberontak.

Film adalah rupa-rupa pengalaman manusia yang dieksplisitkan ke dalam gambar bergerak. Sebagai suatu karya seni, film dapat memberikan berbagai sudut pandang kepada penikmatnya terkait kompleksitas, keruweran, kedalaman, dan keunikan pengalaman manusia, terkait suatu jalan cerita, motivasi, interaksi, dan kedudukan yang terkadang sulit dipahami melalui kehidupan sehari-hari. Seperti juga kegiatan membaca, selain memberikan informasi, film juga memiliki dampak formatif bagi kesadaran manusia. Ia dalam level tertentu dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan inspirasi bagi penontonnya, memberikan pengalaman dan pemaknaan baru dari kegiatan yang disebut menonton film.

Sekarang kita dapat mengalami banyak pengalaman berkesan, emosional, dan bahkan mungkin konseptual, dari hasil kerja kreatif para pekerja film. Tanpa melalui tangan dan kerja cerdas mereka, sepertinya kehidupan ini bagai layar tanpa isi. Dunia mengenal Louise dan Auguste Lumiere bersaudara sebagai duo pencetus kelahiran film modern melalui cinematographe, alat pembuat film yang mereka ciptakan sendiri. Di Indonesia, sejarah film dikaitkan dengan Usmar Ismail, Bapak Film Indonesia, yang di 30 Maret 1950 menggunakan seperangkat kameranya untuk pengambilan gambar pertama atas filmnya: Darah dan Doa (1950), yang merupakan film pertama yang diproduksi setelah Indonesia merdeka, dan dibikin oleh sutradara pertama asli pribumi. Di tanggal itulah dinobatkan menjadi Hari Film Nasional sejak ditetapkan dari 1999. Sementara di Bulukumba, tiga dekade setelahnya, mencantolkan ingatannya terkait pemutaran film layar lebar melalui satu tempat yang menjadi urban legend bernama: Bioskop Surya.  

Selamat Hari Film Nasional, 30 Maret 2022.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221