Ramadan, Al-Qur’an, dan Lima Dimensi Evolusi Manusia

Belajar membaca huruf hijaiah menjadi keharusan bagi seorang muslim. Sejak kecil orang-orang tua kita sudah memasukan anak-anaknya ke taman pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dahulu, orang tua saya sangat menginginkan anaknya bisa membaca Al-Qur’an sejak dini. Seingat saya ada dua TPA tempat saya belajar membaca Al-Qur’an, masing-masing TPA tersebut mempunyai metode pembelajaran yang beda, yang lebih dulu masing menggunakan motede konvensial, sedangkan tempat yang terakhir sudah menggunakan metode Iqra. Belakangan motode baca tulis Al-Qur’an makin kaya ragamnya. Bahkan saat ini terdapat motede super cepat belajar fasih membaca Al-Qur’an. sejatinya,seiring perkembangan zaman metode pembelajaran makin maju. 

Bulan Ramadan, bulan diturunkan Al-Qur’an. Dalam sejarahnya Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu Al-Qur’an melalui malaikat Jibril di Gua Hira, pada tanggal 17 Ramadan. Saat malaikat jibril mendatangi Nabi, seketika saja Nabi ketakutan. Malaikat Jibril menyodorkan untaian “alphabet “ pada lempengan kristal dan berkata “Iqra (bacalah)”. Namun Nabi Muhammad Saw. menjawab “ma ana biqirain (saya tidak bisa membaca)“ . Jibril kembali mendesaknya. Nabi Muhammad Saw. makin ketakutan, tetapi dia tetap menjawab “ma ana biqirain”. Jibril menatap Nabi dan seketika Nabi paham, bahwa malaikat Jibril bukan menyuruh membaca, namun mengikuti ucapanya. Pada saat itulah diterimanya ayat Al-Qur’an pertama kali berupa surat Al- Alaq 1-5 oleh Nabi, kemudian Nabi pulang ke rumah dengan kondisi mengigil dan penuh ketakutan. Dengan diterimanya ayat Al-Qur’an, maka Muhammad resmi diangkat menjadi nabi. 

Seiring datangnya bulan Ramadan, tentu menjadi berkah tersediri bagi orang-orang yang sungguh-sungguh ingin mempejari Al-Qur’an. Allah akan membukakan jalan kemudahan di bulan Ramadan, mungkin, itulah salah satu keistimewaan bulan ini. Saya pernah mengalami manakala belajar membaca Al-Qur.’an di bulan Ramadan. Ceritanya, pada masa kecil dulu, proses pembelajaran membaca Al-Qur’an saya terhenti, disebabkan beberapa hal. Hingga beranjak remaja, kemampuan membaca saya  mati suri. Tetiba saja keinginan kembali belajar Al-Qur’an muncul dalam jiwa, manakala memasuki Ramadan, namun kendalanya, di mukim kami belum terdapat orang – guru yang dapat membantu  mengajar membaca Al-Qur’an. Berbekal kaset dan panduan tesk Al-Qur’an yang bapak beli dari pedagang keliling, saya memulai belajar secara mandiri. Saya bersyukur dengan kaset itu perlahan-lahan saya mampu membaca tulisan hijaiah, kendatipun secara tartil belum sempurna. Saya tidak bisa membayakan bisa selacar itu membaca huruf hijaiah, namun, berkat karunia bulan Ramadan akhirnya saya mampu membaca teks Al-Qur’an. Dari penggalan pengalaman itulah  saya benar-benar yakin, bahwa bulan Ramadan membawa anugerah bagi penghuni semesta, utamanya mereka yang sungguh-sungguh berusaha meraih karuniahnya. 

Atas peristiwa di atas, maka tak salah jika seorang arif pernah berkata “diri kita hari ini dibentuk oleh tumpukan kebaikan orang tua kita”.  Atas kebaikan almarhum bapak membeli modul pembelajaran Al-Qur’an berupa kaset dan buku paduan, akhirnya saya bisa membaca tulisan hijaiah. Saat membeli modul itu, hari-harinya barang itu diletakkan seadanya saja dimukim kami. Beliau seolah tahu, kelak dikemudian hari hari barang itu bakal dibutuhkan. Begitulah cara bapak mempersiapkan sarana pendidikan bagi anak-anaknya.

Kemampuan membaca merupakan kebutuhan paling mendasar manusia, dengan membaca kita dapat mengenal. Sebaliknya, dengan menulis kita dapat dikenal. Manusia sebagai makhluk Tuhan diberi kemampuan untuk berkembang. Begitu pula alam semesta setiap waktu mengalami perkembangan. Definitnya,  segala sesuatu yang diciptakan  Tuhan pasti mengalami gerak atau berkembang.   

Soal berkembang atau bergerak ini, saya ingin mengutip kata pengantar oleh Haidar Bagir, dalam buku berjudul, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, anggitan, Dr. Muhammad Iqbal. Dalam buku tersebut, Haidar Bagir mencoba membabarkan pemikiran Muhammad Iqbal, seorang pemikir dan satrawan tersohor asal India. Prinsip pemikiran Iqbal sangat dipengaruhi oleh pemikiran Shadruddin Syirazi, seorang filosof asal Persia, biasa dikenal dengan nama Mulla Sadra, yang merupakan perumus aliran filsafat al- Hikmah al- Muta’aliyah

Menurut Haidar bagir ada lima prinsip pemikiran Iqbal, sekaitannya dengan gerak perkembangan manusia. Pertama, secara kreatif Iqbal memandang sejarah manusia sebagai pergerakan progresif. Iqbal ingin membuktikan sifat dinamis penciptaan, bahwa alam semesta tidak diciptakan sekali jadi. Alam bukanlah seperti black universe, bahwa dalam proses, Allah yang disebut dalam Al-Qur’an, “setiap hari selalu sibuk” (QS 55:29), terus menerus menambah ciptaan barunya. Bersamaan itu, Al-Qur’an kembali menegaskan, bahwa manusia ditakdirkan untuk melewati tahap demi tahap dalam kehidupanya (QS 84:19). Artinya sejalan dengan penambahan ciptaan barunya yang terus menerus. Berdasar itu Iqbal berpandangan, bahwa sejarah yang diciptakan oleh waktu, dalam agama Islam adalah sesuatu yang sangat sentral, sebagaimana sejarah itu sendiri bersifat progresif, bahwa sebuah keniscayaan zaman bergerak menuju keadaan yang baik.  

Kedua,  ijtihad sebagai prinsip gerak dalam Islam. Pada dasarnya, ijtihad adalah upaya di pihak manusia untuk mengerahkan pemikirannya dalam rangka menghadapi aksi Allah yang terus-menerus menambah ciptaan baru. Menurut Iqbal, ijtihad niscaya adanya, alih-alih  menimbulkan polemik (bid’ah) di kalangan konservatif, justru ijtihad menjadi inti khilafah manusia. Iqbal mengistilahkan ijtihad sebagai kemitraan (partnership) dengan Allah di atas bumi. Pendeknya, hanya dengan jalan ijtihad terus-menerus tujuan penciptaan bisa dicapai.

Ketiga, pada tahap ini, Iqbal tidak ingin menafikan peran sains sebagai motode pencarian kebenaran dalam Islam. Islam harus dipahami sebagai ajaran yang mempromosikan sains, kendatipun demikian, tidak sama sekali mengurangi penekanannya pada rasio, artinya rasio punya peran sentral untuk medapatkan kebenaran. 

Lebih dari itu, Iqbal menunjukan peran intuisi atau kalbu lebih mampu mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi. Hingga berada pada kesimpulan, intuisi sebagai kelanjutan rasio, meski pada tataran yang lebih tinggi. Bagi Iqbal rasionalitas tak bisa dipisahkan dari intuisi. Tampaknya Iqbal ingin mengembalikan tasawauf sebagai metode pencarian kebenaran dalam Islam. Inilah prinsip keempat pemikiran Iqbal.

Kelima, pemikiran Iqbal menyangkut penekanan  Al-Qur’an pada amal. Setelah segenap pengakuan terhadap kemampuan empiris, rasio dan intuisi manusia, akhirnya puncak nilai seseorang dapat dilihat dari kualitas amalnya. Amallah yang menjadi inti dari kebenaran (agama). Sepenting apapun ilmu, pada akhirnya keislaman seseorang dinilai dari amal-amal saleh yang secara ril memberikan manfaat pada kemanusiaan.

Walakhir perjananan manusia yang panjang, senyatanya berakhir untuk manusia sendiri. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak menfaatnya bagi orang lain” (H.R. Bukhari). Sudahkah Anda bermanfaat bagi orang sekitar?  


Sumber gambar: speakola.com/political/muhammad-iqbal-allalahad-1930

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221