Pada sore yang ranum, saya menulusuri jalan menuju mukim sang guru, yang berada dalam kompleks sekolah bekas sebuah pesantren. Sore itu, hujan deras menemani perjalananku menuntut ilmu, sambil mengingat petuah gurutta di kampung kami yang telah berkalang tanah, setahun lalu. Petuah-petuahnya telah meneguhkan jiwaku untuk menutut ilmu selama hayat melekat di badan.
Sang guru, menyambut hangat di mukimnya, sederhana dan tawaduk seperti yang dikenal selama ini. Siapa saja berhadapan denganya pasti merasakan keteduhan. Beliau adalah murid dari gurutta, ulama terpandang di kampung kami. Setelah gurutta meninggal, beliaulah yang mewarisi ilmunya. Dengan alasan itulah saya ingin menimbah ilmu darinya .
Di perjamuan perdana, saya seorang fakir meminta sang guru kiranya bisa mengajari saya ilmu yang didapatkan dari gurutta. Dengan perasaan bahagia dan rendah hati, beliau mengatakan, mari kita sama-sama belajar. Di perjamuan perdana itu, saya mendapat ibrah dari setiap ucapannya. Untuk bekal hidup, saya tulis dalam secarik kertas sebagai matra kehidupan
Berbekal ilmu yang didapatkan dari gurunta, juga melalui sekolah formal, beliau memulai dengan mengajarkan tentang ilmu nahu saraf. Secara umum, ilmu itu mengajari tentang gramatika bahasa Arab. Menurutnya ilmu nahu saraf menjadi pintu pengetahuan agama, tanpa mengenalnya, sulit mengenali makna kandungan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber pengetahuan. Selain itu, beliau memperagakan contoh bentuk-bentuk huruf Arab yang selaras dengan ciptaan Tuhan, misalkan bentuk organ manusia yang mempunyai kesamaan bentuk dengan huruf Arab secara tersirat.
Sebagai orang awam, ilmu yang diajarkan beliau, sesuatu yang baru bagi saya. Maklum saja ilmu yang beliau ajarkan biasanya dipelajari di pondok-pondok pesantren, sementara saya tidak memiliki latar belakang kepesantrenan, wajar jika terasa baru bagi saya. Kendati pun demikian saya yakin, jika kita sungguh-sungguh belajar, maka Allah Swt akan memberikan pengetahuannya pada kita. Begitu pesan gurutta pada kami semasa hidupnya. Tugas kita sebagai manusia cuma belajar soal tahu atau tidak, kita pasrahkan kepala pada Allah Swt, sebab Dia-lah si pemilik ilmu. Begitulah saya memaknai pesan gurutta.
Di sela-sela perjamuan ilmu, sang guru memberikan wejangan ilmu lainnya, semisal tentang doa-doa, fiqih, tauhid dan tasawuf. Biasanya wejangan itu menjadi bahan renungan manakala saya berada di mukim. Di suatu hari, dalam perjamuan, beliau mengutip perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “saya pelayan bagi orang yang mengajari, walaupun satu huruf”. Kalimat ini menjadi prinsipnya dalam belajar. Artinya, betapa pentingnya ilmu. Beliau pun mengutip sebuah hadis Nabi “sebaik-baiknya di antara kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”.
Pada setiap perjamuan ilmu, sang guru menunjukkan akhlak mulia. Sangat nampak terlihat kesetaraan antar guru dan murid. Memang sejak awal perjamuan, beliau sudah katakan, kita-kita sama-sama belajar, duduk pun kita saling berhadap-hadapan, tak di atas maupun di bawah, seakan tak ada jarak antar kami berdua.
Ilmu sang guru mencerminkan ilmu dan akhlak. Tentang akhlak Nabi pernah berkata “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. Nabi sendiri, sebelum diangkat menjadi seorang nabi, sudah memiliki akhlak yang mulia, bahkan misi pertama beliau adalah menegakkan akhlak manusia saat itu.
Sesungguhnya buah dari ilmu adalah akhlak. Betapa pun tampan, kaya, unggul nasabnya dan pintarnya seseorang, tapi tak memiliki akhlak, maka tak ada artinya. Sekiranya lenyap akhlak dalam diri seseorang , tiadalah nilai sebuah kehidupan walaupun disulami dengan beribu kemuliaan.
Sebuah analogi dalam buku Tuhan Ada Di Hatimu, karya Husein Ja’far Al- Hadar, yang biasa dinisbatkan pada Khawarizmi seorang matematikawan asal persia abad ke-9, mengatakan, “Seorang manusia bila dihiasi dengan akhlak yang mulia, maka dia telah mempuyai angka 1 dalam hidupnya. Bila ia juga dikaruniai wajah yang cantik atau tampan, ditambah 0 pada angka satu yang sebelumnya, maka menjadi 10. Seterusnya bila dia mempuyai harta, maka ditambah lagi 0 pada angka sebelumnya, maka jadilah 100. Seterusnya bila dia memiliki nasab keturunan yang mulia, maka ditambahi 0 pada angka sebelumnya, maka menjadi 100. Nilai 0 yang ada pada sifat dan ciri-ciri tambahan manusia itu akan terus meningkat berlipat ganda. Tetapi alangkah ruginya jika nilai 0 tersebut semakin meningkat, tapi tidak bersandar pada angka 1 yang berada di depannya. Ketahuilah angka 1 adalah gambaran bagi akhlak yang mulia. Maka sekiranya tanpa angka satu, nol yang berlapis hanyalah nol yang tiada artinya.”
Tolak ukur dan landasan ibadah sebagaimanana misi utama Nabi adalah akhlak. Sesungguhnya shalat, puasa, zakat, sedekah dan ibadah-ibadah lainya adalah cara Allah mendidik kita menjadi pribadi-pribadi yang jauh dari sifat keji dan mungkar. Dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 264, Allah katakan, sia-sia zakat atau sedekah seseorang yang diikuti dengan kata-kata yang melukai orang yang menerimanya.
Begitu pula dengan ibadah puasa, Nabi mengatakan, “kalau kamu berpuasa dan hendak marah, maka katakan pada dirimu bahwa sesungguhnya kamu sedang berpuasa”. Alkisah dalam satu riwayat menceritakan, bahwa Nabi pernah menyuruh seorang wanita segera berbuka ketika sedang berpuasa karena mencaci maki budaknya. Nabi berkata, tidak ada seorang berpuasa namun mulutnya masih mencaci dan menyakiti hati orang lain. Di hadis lain Nabi berkata, bahwa akhlak yang buruk akan merusak amal yang baik, sebagaimana rusaknya madu karena cuka.
Maka, tidak seharusnya sebagai muslim, makin bertambahnya ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadan, namun akhlak kita, tidak menjadi lebih baik. Mudah marah, enggan senyum dan sulit menghargai pilihan-pilihan orang yang berbeda dengannya. Olehnya itu, berhijralah dari akhlak yang buruk menuju akhlak yang baik, dari akhlak kurang menuju akhlak yang sempurna. Karena sejatinya Islam itu akhlak.
Wallahua’lam bissawab