Bulan Ramadan dan Guncangan Ruhani

“ Dahulu kita saling menyatu, tatkala cinta dunia, kita saling melupakan,

Dahulu kita saling menjaga, tatkala keserakahan, kita saling berbalah,

Dahulu kita saling mencinta, tatkala kepongahan, kita saling membenci,

Dahulu kita saling menyapa, tatkala berbeda pilihan, melirik pun enggan,

Akankah Ramadan menghapus gulma-gulma diri? 

Dan, kita kembali seperti dulu.”

Memasuki hari-hari terakhir bulan Ramadan, dikeheningan malam, aku membatin sejadi-jadinya, apakah Ramadan tahun ini akan berlalu nirmakna? Bukankah puasa Ramadan bagaikan tungku perapian untuk membakar kerak-kerak keburukan. 

Entah sudah berapa kali kita melewati tempaan madrasah nan agung ini, rasanya, baru kemarin sore engkau mendekap, kini hendak berlalu lagi . Apakah kali ini tempaan madrasamu akan biasa-biasa saja, seperti hari-hari kemarin? Dulu, setiap engkau pergi, kami pun melupakanmu, sungguh engkau  setia mendatangi kami, dan kami sangat bodoh menyia-nyiakanmu.  

Hidup ibarat perjalanan pulang menuju kampung abadi, dalam perjalanan hidup, kita sering alpa akan tujuan pulang. Madrasah Ramadan datang mengetuk kesadaran kita, tentang tujuan asali. Kemana tujuan kita berjalan? Di semadya perjalanan, manusia sering lupa akan tujuan hidupnya. Keegoan, keserakahan, kepongahan dan cinta dunia menjadi gulma diri, menutupi cahaya jiwa sebagai petunjuk jalan pulang ke kampung abadi.

Menjalani safar kehidupan bukanlah hal yang mudah, butuh perjuangan mengerahkan seluruh potensi yang diberikan oleh sang Abadi. untuk menjadi insan terbaik, kehidupan niscaya membutuhkan tempaan dan guncangan. Madarasah Ramadan salah satu momentum tempaan, hingga mengalami guncangan lahir dan batin. Sebagaimana kutipan tulisan Ilya Prigogyne, seorang pemenang hadiah nobel, “Sistem akan berkembang ke arah lebih baik bila ia di guncangkan oleh perubahan. Ia naik ke arah struktur yang lebih canggih bila ia dihadapkan pada gejolak (disturbances). Sebelum mencapai keteraturan yang baru, sistem harus mengalami ketidakteraturan. Alam semesta adalah sebuah sistem yang terus memperbaharui dirinya (self renewing system). Dengan apa? dengan guncangan, kemelut, ketidakteraturan, kekacauan, taufan, dan badai.

Tempaan madrasah Ramadan sebagai guncangan yang kita alami satu bulan lamanya. Siang hari, fisik dipaksa menahan lapar dan dahaga, malam harinya mengisi dengan  berbagai ibadah ritual. Pada kondisi seperti itu, jika dilakukan secara simultan, maka secara natural tubuh dan jiwa akan mengalami guncangan, dengan sendirinya seseorang akan mengalami perubahan dari kondisi sebelumnya. 

Selain itu, dalam konteks keislaman kita mengenal istilah Iffah. Iffah secara leksikal merupakan keutamaan manusia ketika ia mampu mengendalikan syahwat dengan akal sehatnya. Nabi Saw bersabda, “ barangsiapa mau menjaminkan kepadaku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua pahanya, maka aku jaminkan surga baginya.”

Syahwat sesuatu yang inheren dalam diri manusia, keduanya tidak boleh dihilangkan sama sekali. Apabila syahwat berlebihan, maka,  kerakusan akan mengusai diri. Jika segalanya berlebihan dalam makan, minum dan seks. Pada akhirnya, kita akan melakukan kejahatan demi memenuhi syahwat yang tidak terkendali itu.

Kang Jalal, panggilan akrab K.H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, menuliskan dalam bukunya, Halaman Akhir. “Puasa adalah latihan iffah- dimulai dengan mengendalikan keduanya. Bukan saja kita mengurangi makan-minum dan seks, kita juga menentukan waktunya sesuai dengan tuntunan syariat. Dalam berpuasa, kita bukan saja dilarang memakan yang haram, kita juga dilarang memakan yang halal, bila saatnya belum tiba. Puasa tidak menghilangkan syahwat sama sekali, puasa hanya menempatkan kekuatan syahwat di tingkat yang benar”. 

Walhasil, puasa melatih seseorang mengendalikan hawa nafsunya, menundukkan dirinya kepada kehendak ilahi, dan akhirnya mencintai tuhan dengan mencintai sesama manusia. Ketikan Nabi Saw melihat seseorang mencaci-maki sahayanya, beliau berkata, “makanlah” Ia menjawab, “Aku berpuasa.” Beliau berkata. “ mana mungkin engkau berpauasa, padahal engkau telah memaki sahayamu? Puasa bukan hanya menahan makan dan minum.”

Wahai orang-orang yang berpuasa, anda sedang ditempa dengan rasa lapar dan dahaga, untuk menyucikan diri anda, jadikankanlah Ramadan sebagai madrasah ruhani yang menampakkan rasa empati dan welas kasih kepada sesama dan membawa kebaikan pada pengendalian diri.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221