Dari Bandit Menjadi Pandit

Di bangku kuliah kami bertemu, terlihat dengan paras yang sedikit garang, dia menjulurkan tangan sebagai tanda perkenalan. “Aku Mumun” katanya.  Belakangan, aku baru tahu, nama Mumun adalah nama samaran yang disematkan padanya. Mumun seorang aparat penegak hukum, bertugas mengayomi masyarakat.  Saat di dalam kelas dia sering mengenakan uniform kebanggaannya berwarna cokelat, lengkap dengan kedua pangkat melekat di dua pundaknya.  

Bisa dibilang Mumun tipe manusia eksentrik, ibarat air, di manapun berada mudah bergaul. di dalam kelas kadang nyeleneh dengan mengajukan pertanyaan dan pendapat yang membuat seisi ruang terkekeh-kekeh. Memang rasa ingin tahunya amat besar, dengan begitu Mumun terlihat lugu, kontras dengan tampangnya yang agak garang.

Cukup lama Mumun tak terlihat di kampus, orang mengira dia sibuk memberangus para bandit Kota Makassar. Sebelumnya, Mumun sering menceritakan kehebatannya sebagai sosok polisi, dia sering menjadi hero di hadapan teman-temannya manakala mengejar para bandit narkoba hingga tak berkutik. Mumun paham betul seluk-beluk kehidupan bandit-bandit kota Makassar, sebab semasa SMA dulu, Mumum bagian dari bandit-bandit itu, sehingga di mata para bandit, Mumun adalah seorang betrayer

Melalui urita koran pagi menghentak perhatian warga Makassar, pasalnya seorang oknum polisi babak belur diamuk massa. Polisi malang itu kedapatan menjambret tas seorang wanita yang baru saja keluar dari pasar. Untung saja polisi gercep mendatangi lokasi kejadian, lalu menenangkan massa yang lagi beringas. Setelah menjadi enigma seminggu lamanya, oknum polisi itu tak lain adalah Mumun. Sebagai sahabat, sontak aku kaget, tak percaya kalau pelaku kejahatan itu adalah sosok  yang kenal hero oleh teman-temannya.

Atas kejahatannya itu, Mumun harus menjalani hukuman di balik dinginnya hotel prodeo hingga bertahun-tahun lamanya. Banyak orang menyesalkan tindakan Mumun, terutama instansi tempatnya mengabdi. Mumun dianggap telah membuat kesalahan fatal, mencoreng nama baik lembaga negara. Imbasnya, Mumun mesti membayar mahal kesalahannya. Lembaga tempatnya mengabdi memecat dirinya dengan cara tidak hormat.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula, begitu cermin nasib Mumun kala itu. Setelah bertahun-tahun lamanya menjalani pesakitan di hotel prodeo, akhirnya, Mumun kembali ke tengah-tengah masyarakat, menghirup alam bebas. Kini, Mumun bukan lagi seorang polisi yang sering dengan bangganya memamerkan uniformnya di hadapan teman-teman kampusnya.

Selagi nafas masih berhembus life goes on. Kembalinya Mumun di kampus tidak seperti waktu  masih berseragam cokelat, kali ini pedampilannya bak anak rockers, tidak ada lagi pangkat berjuntai di kedua pundaknya. Mumun terlihat lebih akrab dengan teman-teman kampusnya. Mumun memang terpukul dengan keadaan sekarang, setelah dipecat sebagai polisi. Profesi yang dia impikan sejak SMA itu terpaksa  ditanggalkannya  akibat ulahnya sendiri. Tidak hanya Mumun saja terpukul, seluruh keluarganya merasa sedih, terutama kedua orang tuanya yang sudah banyak berkorban. 

Hingga saat itu, Mumun belum rela dirinya dipecat. Entah sudah berapakali Mumun melakukan pembelaan diri secara persuasif maupun jalur hukum, toh kenyataan tidak membuahkan hasil. Sebagai teman dekat di antara teman-teman lainnya, Mumun sering mencurahkan jerit hatinya kepadaku. Dia sadar telah berbuat kesalahan, namun, mengapa dirinya tidak diberi kesempatan sedikitpun membela diri sepertinya oknum lainya, dirinya semata-mata menginginkan keadilan, ungkapnya.

Entah sudah berapa banyak Mumun mengadu, pada ujungnya mengalami kegagalan juga. “Lepaskan saja sobat, mungkin Tuhan punya rencana lebih baik.” Kata saya . Aku melihat Mumun punya tekad kuat untuk mengejar ketertinggalannya, buktinya di antara kami dialah paling cepat menyandang gelar sarjana. Setahun selepas wisuda Mumun belum juga mendapat pekerja pasti. Sebenarnya dia punya usaha yang wariskan oleh keluarganya, namun bangkrut manakala Mumun menanganinya. 

Merasa dirinya terus-menerus mengalami kegagalan, tidak ada yang menduga Mumun kembali terjerus dalam jeratan narkoba. Masalah demi masalah menghampirinya terutama penentangan keras oleh kedua orang tuanya. Puncaknya kedua orang tuanya tidak mampu lagi mengendalikan Mumun akibat pengaruh obat-obatan yang terlanjur mempengaruhinya. 

Untuk mencegah hal yang lebih buruk lagi, sebagai sahabat aku mengajak Mumun tinggal di mukimku. Selama di mukim, saya makin mengenal sisi dalam sahabatku itu. Ternyata Mumun punya pesona diri yang lantip. Sungguh benar Matsnawi Maulana Rumi, mengatakan “ Warna sapi bisa disaksikan dari luar, namun warna merah dan kuning pada manusia, mesti dicari dari dalam.”  Dalam diri Mumun terdapat mutiara tersembunyi, bahkan saya belum mampu menandinginya.

Mumun adalah sosok yang rela berkorban kepada siapapun orangnya. Dia tak pernah ragu memberi apa pun yang milikinya, seperti orang yang tak punya konsep kepemilikan. Selama tinggal di mukim Mumun banyak membantu pekerjaan rumah, setiap kali kami membutuhkan sesuatu, Mumun selalu berusaha memenuhinya, termaksud tugas akhir kuliahku Mumun lah paling berperan. 

Sering aku iri pada Mumun. Di balik hidupnya yang terlilit, dia mempunyai hati sejernih itu, mungkin Mumun seperti itu karena ingin berusaha memperbaiki diri dari kesalahan masa lalunya. Tidak itu saja, di tengah-tengah pergaulan sosial, Mumun selalu menjadi primadona, Mumun kerap berkorban apa saja yang dimilikinya untuk orang lain. Wajar jika Kehadirannya selalu  dinanti-nantikan setiap orang. Aku melihat ada kebahagian terpencar dalam dirinya dari berkorban untuk orang lain.

Dalam upaya melawan ketergantungan oleh narkotika, dengan kesadaran diri, Mumun kemudian mengasingkan diri ke pulau Kalimantan, dia menganggap pengaruh kehidupan di Kota Makassar membuat dia tidak bisa lepas dari pengaruh narkotika. Kurang lebih setahun di Kalimantan Mumun kembali lagi ke Makassar, alasannya, dia kurang cocok dengan iklim di Kalimantan. Selama di Kalimantan dia lebih sering sakit-sakitan katanya. 

Situasi kota Metropolitan betul-betul membawa pengaruh besar terhadap kondisi mental Mumun. Sepulang dari Kalimantan, bukannya pulih dari pengaruh  narkotika, namun semakin menjadi-jadi. Puncaknya Mumun di kirim ke Pusat Rehabilitasi Narkotika Kota Makassar. Atas bantuan relawan Badan Narkotika Nasional (BNN) selanjutnya Mumun di kirim ke Balai Rehabilitasi Nasional di Kota Bogor, Jawa Barat. Kelak sanalah Mumun menemukan kembali jati dirinya.

Melalui gawai, Mumun sering memposting aktifitasnya, nampaknya dia bahagia berada di lingkungan barunya. Bukan Mumun jika tidak memberi warna kebahagian di tengah-tengah pergaulan sosial. Berkat kemampuan yang dimilikinya itu, dia diangkat menjadi tenaga relawan di Balai Rehabilitas Nasional. Selain sebagai warga balai, Mumun juga diminta membatu melayani para penghuni balai yang kebanyakan pecandu narkotika, hingga diangkat menjadi tenaga pengajar di tempat itu. Pendeknya Mumun sedang melakoni jalan perkhidmatan di tempat barunya. Menurut cendikiawan muslim, KH. DR. Jaluluddin Rahmat, M.SC, dalam sebuah ceramahnya, mengatakan, “banyak jalan untuk mendekati Tuhan, sebanyak bilangan nafas para pencari Tuhan. Tapi jalan yang paling dekat pada Allah adalah membahagiakan orang lain di sekitarmu. Engkau berkhidmat kepada mereka.” 

Di tempat barunya itu, Mumun menemukan kembali  jati dirinya, bukan saja terlepas dari belenggu narkotika, Mumun juga telah menjadi duta penyelamat bagi para pecandu narkotika. Di tanah pijakannya itu,  Mumun mempersunting gadis pasundan dan mempunyai buah hati yang sangat di sayanginya. Bertahun-tahun di tanah rantau, Mumun sangat bahagia, sebab di sanalah Mumun memulai kehidupan baru bersama keluarga kecilnya. 

Kebahagian yang baru saja datang menghidu berganti kesedihan, tatkala pandemi datang menjadi ancaman bagi setiap orang. Melaui urita, Mumun menjadi salah-satu dari sekian juta orang terjangkit virus korona. Di dalam kamar isolasi, Mumun mesti berjuang sendiri melawan virus yang sudah terlanjur berada dalam tubuhnya. Makin hari kondisi Mumun makin buruk. Terlihat Mumun tak berdaya dari bilik jendela kamar isolasi. Mumun yang sosok petualang, rela berkorban, suka menolong dan cakap dalam bergaul, kini harus menyerah akibat virus biadab itu. Tepat di hari Sabtu 11 April 2020 Mumun menghembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan segala yang dicintainya. Perkhidmatannya di dunia telah purna, Mumun telah melesat jauh meninggalkan kami.  Tidak ada satu pun yang kami lakukan akan dapat membalas kebaikannya. Dengan pengorbanannya kepada kami, selamanya kami akan terus berutang budi. 

Sampai jumpa di keabadian sahabat .   

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221