“sembelilah aurat kebinatangan yang menerungku aura sari diri. ” (Maksim Daeng Litere. 310720)
Momen Idul Adha sudah terlihat gemerlapnya, para pedagang hewan kurban mulai menjajal hewan ternaknya kepada khalayak untuk dipersembahkan kepada-Nya sebagai bentuk ketakwaan. Bagi hewan kurban adalah jalan takdirnya menyerahkan darah dan dagingnya, sebagai bukti pengabdiannya kepada Tuhan. Adapun pembeli, berkurban menjadi kendaraan yang bakal membawa seorang hamba pada level ketakwaan. Konon setiap helai bulu hewan kurban akan menjadi saksi hidup ketakwaan seorang hamba di akhirat kelak. Sedangkan pedagang memastikan hewan kurban yang bakal disembelih layak dikomsumsi (halal.) Definitnya, pedagang, pembeli dan hewan kurban masing-masing menjalani perannya sebagai bukti ketakwaannya kepada sang Pencipta.
Kehidupan dunia adalah ujian, segala sesuatu yang kita miliki merupakan titipan maha pencipta. Sebagaimana firman Allah mengatakan “Sesungguhnya kami telah jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya” (QS. Al-Kahf: 7.) Jikalau seorang hamba sadar tentang konsep kepemilikan, maka segala sesuatu yang dimilikinya akan dipersembahkan semata-mata untuk Sang Pemilik. Di atas kesadaran itu, segala sesuatu mestilah diikat dengan keikhlasan. Sebab dengan ikhlas sesuatu yang samar akan jelas keberadaannya. Sebagaimana Imam Ibnu ‘Athaillah pernah berkata “Amal adalah kerangka yang mati, dan nyawanya adalah keikhlasan yang ada dalam amalan tersebut”
Tindakan berkurban suatu laku purba yang dilakukan orang-orang terdahulu. Kisahnya berawal dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail. Untuk menguji ketakwaan sang nabi, Allah memberikan perintah kepada kedua Nabi itu untuk berkurban. Melalui mimpi, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih anak semata wayangnya Ismail sebagai bentuk penyerahan kurban kepada Allah. Dengan keyakinan dan penyerahan diri kepada Allah, kedua Nabi itu dengan sadar serta ikhlas memenuhi perintah Allah, walaupun di balik perintah itu, Allah hanya ingin menguji ketakwaan Nabi Ibrahim dan Ismail. Pada ujung kisah itu Allah mengganti hewan sembelihannya berupa hewan ternak di zaman itu. Dari kisah monumental itu, salah-satu ibrah yang bisa didapatkan sebagaimana Allah gambarkan dalam firmanNya. “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, bertawakkal lah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan” (QS. Hud:123). Sejatinya segala yang ada di bumi dan langit adalah milik-Nya, sedangkan yang kita genggam adalan titipan sebagai sarana untuk menjadi orang bertakwa.
Sependek pengetahuan saya, jika takwa dipandang melalui asal usul kata, maka takwa tersusun dari bagunan kata taubat, tawakkal, tawaduk, qana’a, warak dan yakin. Taubat adalah sikap penyesalan terhadap tindakan yang telah diperbuat seorang hamba serta dengan sadar memohon ampunan dan ridho-Nya dan akhirnya kembali pada jalan agama yang benar. Tawakkal atau berserah diri adalah sikap melepaskan (letting go), bahwa segala kepemilikan dan penguasaan ada pada Allah Swt. Menurut istilah filsafat, Allah adalah wujud sedangkan ciptaannya adalah manifestasinya (tajalli.) selanjutnya Tawaduk adalah sikap merendahkan hati. Sikap ini menunjukkan hakikat manusia, bahwa sesungguhnya manusia sama di mata Allah, kecuali orang yang bertakwa sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Surah Al-Hujarat ayat 13.
Berikutnya, Qana’an atau sikap merasa cukup akan limpahan rahmat Allah Swt. Jika sikap ini menghidu dalam diri, maka rasa syukur akan terpatri dalam jiwa, sebab merasa cukup akan mendatangkan lebih banyak kebaikan, sebagaimana firman Allah “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan tambah nikmat kepadamu” (QS. Ibrahim:7). Salah-satu kekuatan yang sangat berharga di dalam buku Rahasia Magnet Rezeki, anggitan Nasrullah adalah ciri sifat syukur. Sebab dengan bersyukur terbitlah ketenangan hati. Lebih jauh Marci Shimoff mengatakan “Syukur adalah jalan yang mutlak untuk mendatangkan lebih banyak kebaikan ke dalam hidup anda.”
Selanjutnya warak adalah sifat mendahulukan kehati-hatian terhadap perkara yang belum jelas hukum halal dan haramnya. Bisa dikatakan sifat warak sebagai sensor pengendalian diri. Menurut Nasrullah seorang penulis buku Rahasia Magnet Rezki, ada tiga sumber pengendali dalam diri manusia. Pikiran, perasaan dan jiwa. Kesemuanya saling bertautan, namun menurut hasil penelitian Danah Zohar dan Ian Marshall, bahwa jiwa menjadi pondasi dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Memiliki jiwa yang tenang akan menarik energi, mengundang rezeki, bahkan keajaiban hidup.
Kata terakhir, Yakin atau sama halnya dengan tidak ada keraguan terhadap suatu kebenaran. Allah berfirman “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termaksud orang-orang yang ragu” (QS. Al-Baqarah:147). secara singkat kebenaran dalam islam terbagi tiga perihal, yakni Iman, Islam dan Iksan. Jika diulik secara sederhana, iman adalah keyakinan hamba terhadap kebenaran Tuhan dan ciptaannya. Kata Rumi, “Sejak awal hingga kapan pun segala sesuatu adalah satu. Manusia, alam, Tuhan sejatinya semua itu satu, diikat cinta kalau saja kita tahu.” Sedangkan Islam menyangkut penyerahan diri seorang hamba terhadap Tuhan sebagai jalan keselamatan, dan iksan adalah perbuatan atau amalan baik seorang hamba terhadap Tuhan, mahluk dan alam semesta, dan atas kebaikan itu, maka sesunggunya Allah mengetahuinya.
Wallahualam Bissawab.