Kuntum Mawar Jingga di Tanah Tua

Seorang penghadir bertanya, “Mengapa bunga mawar yang ada di sampul buku berwarna jingga?” Tanya penasaran itu terlontar, tatkala satu hajatan literasi, “Bedah Buku Kuntum Mawar” dihelat di salah satu kafe, De Taman, Bantaeng. Sebagai pembedah, tercantum Sulhan Yusuf, selaku pendiri Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan dan pemantiknya, tiada lain penulisnya sendiri, Sri Rahmi, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Berlangsung sejak pukul 20.30-23.00 WITA, pada Kamis, 6 Oktober 2022.

Sri Rahmi selaku penganggit Kuntum Mawar, mendedahkan mindanya, mulai dari perkara proses kreatif kepenulisannya, sampai pada tradisi literasi dirinya. Proses kreatif berpadu tradisi literasi pada dirinya, telah melahirkan anak-anak ruhani, enam judul buku, sejumlah dengan anak biologisnya, enam lelaki.

Inspirasi Bunda, Perempuan yang Keluar dari Mihrab, Mawar Merah di Tapak Tauhid, Tuhan di Bilik Suara, Tahun Corona, dan Kuntum Mawar, adalah sederet buku anggitannya. Lima buku pertama, belum pernah disawalakan di Bantaeng, sebagai kampung halamannya. Buku keenamnya, menemukan takdirnya untuk dipercakapkan di depan puluhan orang, berbagai latar belakang sebagai penghadir.

Didapuk sebagai pembedah, saya langsung menyambar beberapa pantikan dari Sri Rahmi, lebih populis disapa Bunda Rahmi. Saya pun memulai dengan menyodorkan kerangka percakapan dalam dua lema pembatas, konteks dan konten Kuntum Mawar.

Konteks kelahirannya, lalu dipercakapkan cukup unik. Tergolong peristiwa garib. Khususnya dalam sudut pandang geliat literasi yang lagi moncer di Bantaeng. Betapa tidak, Bunda Rahmi seorang politisi, tapi menulis buku. Jumlahnya pun bukan kaleng-kaleng, enam judul. Dan, pengakuannya akan lahir lagi anak-anak ruhani berikut pada setiap tahunnya. Meskipun kelihatannya, anak-anak biologisnya sudah purna.

Peristiwa langka. Demikian penabalan saya. Sebab, galibnya ada banyak buku yang lahir terkait dengan seorang politisi, tapi bukan dia yang tulis, melainkan ghostwriter. Politisi penulis beda dengan penulis politisi. Bunda Rahmi, seorang politisi penulis. Faktanya? Ia duduk di kursi legislatif Kota Makassar dua periode dan legislatif Provinsi Sulawesi Selatan dua periode. Dan, ada enam buku ia lahirkan selama periode perpolitikannya.

Arkian, saya mengulik konten Kuntum Mawar. Isi buku, terdiri dari tujuh bagian. Keping-Keping Inspirasi Bunda, Suatu Hari di Rumah Bunda, Sahabat Sepanjang Perjalanan Bunda, Episode di Jalan Dakwah Bunda, Rumah Berdaya Bunda, Hidup Sehat Ala Bunda, dan Bunda dalam Sastra, itulah bagian sekotah bagian terpatri dalam  pagina demi pagina, setebal 208 lembar.

Saya mengeja dengan khusyuk dalam durasi sangat pendek. Setengah hari, nyaris tanpa jeda. Melintas-lintas dari tema ke tema maupun dari penggalan esai dan sederet puisi. Saya memanjat mindanya, tiba pada simpai pucuk simpulan: sangat personal bukunya.

Memang terkesan sangat personal, tapi beberan makna-makna dipaparkan bisa bersifat lintas personal. Inilah pesonanya. Mengapa? Sebab bisa saja, peristiwa yang disuai Bunda Rahmi, sama dengan yang dijumpai orang lain, tapi selaksa makna dia lahirkan lewat paparan narasi ringan nan padan.

Makin tenggelam dalam pusaran Kuntum Mawar, saya mengeja lalu membatin. Bunda Rahmi, sungguh mempersoalkan objek bersifat fenomenal, dengan sentuhan subjek berlapik nomenal. Menggugat diri pemburu citra lalu mengajak  menjadi diri apa adanya. Dari diri bentukan fenomena ke sari diri nomena. Persona yang bertualang kembali ke persona yang azali.

Sejurus dengan persona paripurna, diri telah menaklukkan cakrawala, bukan cakrawala menenggelamkan diri, meminjam ungkapan filosof-penyair Anak Benua India-Pakistan, Sir Muhammad Iqbal.

Sungguh, saya kagum bin takjub, dengan pendar-pendar narasi Kuntum Mawar. Betul-betul mawar yang tampakan lahiriahnya memukau karena citra indahnya, sekaligus batiniahnya harum mewangi menerungku rasa. Seolah William Shakespeare  menyata, “Apalah arti sebuah nama? Andaikan kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”

Andaikan Kuntum Mawar disodorkan apa adanya, tanpa dicantumkan Bunda Rahmi sebagai penulis berlatar politisi, maka saya tidak percaya, buku ini ditulis oleh seorang politisi. Jujur, hingga esai ini saya torehkan, isi kepala plontos saya masih penuh keheranan. Jika keheranan saya ini berlanjut, bisa-bisa rambut saya tumbuh kembali.

Beruntung para penghadir di acara bedah buku, sebab ke-politisi-an Bunda Rahmi tak terlalu dipercakapkan. Lebih berwajah serupa pegiat literasi dengan kesejatian literer. Hadir dengan isi kepala, bukan isi kantong.

Bagi saya, ini serupa harapan baru, menjadi politisi, tidak mesti dengan modal berkantong tebal. Namun, menawarkan sekantong minda, tak kalah menariknya, walaupun tidak populis. Seorang politisi menyata dengan pikirannya, masih penting dan perlu.

Lalu, bagaimana dengan pertanyaan seorang penghadir tentang mawar jingga? Bunda Rahmi bertutur, dulunya ia bersosiaslisasi dengan mawar merah. Kiwari, melata di jagat dengan mawar jingga. Sebentuk perubahan. Karena perubahan merupakan keniscayaan. Merah ke jingga, sesederhana itu?

Saya mau bantu jawab, termaktub dalam Kuntum Mawar, pagina 120, pada tulisan, “Perubahan, sebuah Keharusan”.  Bunda Rahmi menulis, “Kenapa oranye? Oranye merupakan kombinasi antara warna merah dan kuning. Warna oranye memberi kesan hangat dan bersemangat serta merupakan simbol dari petualangan, optimisme, percaya diri, dan kemampuan dalam bersosialisasi.”

Ditegaskanya, “Warna oranye adalah peleburan dari warna merah dan kuning, sama-sama memberi efek yang kuat dan hangat … Nah, konon oranye ini disukai milenial. Karena Indonesia mengalami bonus demografi di tahun 2020-2035, puncaknya di 2030.”

Keren bingits bukan? Saya ingatkan, oranye itu kata lain dari jingga. Anehnya, saya lebih jatuh hati pada kata jingga. Amat elok bila saya tandaskan, kuntum mawar jingga di tanah tua. Mengapa? Bunda Rahmi mengada di Butta Toa, tanah tua Bantaeng bermodalkan sekuntum mawar jingga, penanda kekuatan dan kehangatan.

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221