Roti dan Bunga: Kekecewaan, Harapan, Revolusi

Pernahkah kau terima hutan seperti aku terima hutan, sebagai rumah tinggal, bukan istana,

Pernahkah kau buat rumput jadi ranjang dan berselimutkan luasnya ruang, merasa daif di hadapan yang kelak, dan lupa akan waktu silam yang hilang

(Fairouz, Penyanyi Lebanon)

Belakangan ini Iran menjadi sorotan dunia internasional, terutama setelah kematian Mahsa Amini, seorang perempuan Kurdi yang bukan siapa-siapa diduga meninggal dibunuh, 16 September lalu, —tapi rekaman CCTV menunjukkan ia terjatuh di ruang pembinaan. Ia mengalami serangan jantung. Tidak sedikit media memberitakan Mahsa Amini meninggal akibat kekerasan aparat keamanan. Reaksi internasional, terutama dari golongan feminis dan pejuang demokrasi dan HAM, menjadikan kematian Amini sebagai tonggak untuk mereformasi Iran, yang sejak 1979 menerapkan Islam sebagai undang-undang negara.

Saat ini, perempuan Iran mengalami desakan formalisasi syariat untuk mengenakan jilbab di ranah publik, terutama pasca revolusi 1979 dan jika tidak, akan ditindak oleh Gasht-e Ershad, satuan polisi moral yang dibentuk sejak masa Mahmud Ahmadinejad, dengan tugas khusus menegakkan aturan negara di kehidupan publik Iran. Mahsa Amini, satu di antara perempuan Iran terjaring, diimbau, dan disosialisasi agar memperbaiki cara ia berpenampilan sesuai hukum Islam. Tapi, ia meninggal, dan seperti yang terjadi setelahnya, beritanya diblow up dengan massif, terutama media-media Barat kontra Iran.

Sekarang, Iran tengah menghadapi tantangan internal yang terbilang kompleks. Gelombang protes umumnya berasal dari generasi kedua Iran, generasi muda Iran abad 21 yang tidak mengalami masa-masa sulit seperti dialami orang tua mereka. Alih-alih mengalami masa ideologis sebelum dan sesudah revolusi 1979, mereka saat ini dapat menikmati kebebasan, mempelajari demokrasi, terhubung dengan internet, dan mampu berbicara menggunakan ide-ide Barat. Mereka tidak hidup di masa perang Iran-Irak, tidak melewati masa berat revolusi, dan sudah pasti tidak menginternalisasi nilai Islam seperti cara bagaimana generasi masa lalu berjuang untuk mendirikan suatu negara yang menjadi idaman revolusi lima dekade lalu.

Dalam konteks itulah, saya cukup dapat merasakan pesan disampaikan Mohsen Makhmalbaf tentang posisi kaum muda di antara irisan masa lalu dan masa sekarang melalui A Moment of Innoncence (1996), atau Nūn o Goldūn (Roti dan Bunga), sinema semi auto-biografi sutradaranya sendiri di masa empat tahun jelang revolusi republik Islam Iran, 1979.

Nūn o Goldūn  merupakan rekam ulang peristiwa Mohsen Makhmalbaf muda ketika ide-ide pemberontakan merekah untuk menggulingkan pemerintahan. Ia pemuda militan anti Shah, yang mengambil keputusan bersama seorang gadis muda, mendedikasikan dirinya untuk perubahan fundamental Iran. Saat itu demonstrasi makin eskalatif, yang dalam sejarah Iran sendiri digerakkan seorang ulama kharismatik, Imam Khomeini, untuk menentang pemerintahan Iran yang pro Barat. Terdorong imajinasi pembebasan, Makhmalbaf muda yang masih 17 tahun melakukan tindakan kriminal menikam polisi dengan melucuti senjatanya, dan berencana merampok bank kemudian uangnya akan ia sumbangkan untuk perjuangan revolusioner. Tapi, skenarionya kacau balau. Ia ditangkap dan baru dibebaskan ketika Iran telah berhasil menggulung pemerintahan Shah.

”Saya dijatuhi hukuman mati. Saya telah mencoba membunuh raja Iran (Mohammad Reza Pahlavi), Tapi, karena berusia di bawah 18 tahun, saya kemudian diputuskan terlalu muda untuk mati”, ungkap Makhmalbaf seperti dikutip Post Magazine, 2015.

Dua puluh tahun pasca insisden, Makhmalbaf memutuskan mengangkat ulang peristiwa itu ke layar sinematik. Ia memutuskan mencari polisi yang pernah ia lukai: dalam film, ia seorang pria berseragam jaket hitam, jangkung dengan rahang nyaris persegi, berambut ombak, dengan sorot mata berat di bawah alis tebal menyerupai ulat bulu. Ia datang ke rumah sang sutradara setelah membaca ”iklan” Makhmalbaf mengenai ide pembuatan filmnya. Nelson Kim melalui resensinya, A Moment of Innocence dibuat Makhmalbaf  untuk “menangkap kembali masa mudanya dengan menggunakan kamera.”

Itulah scene pembuka film ini, yang diketahui bahwa sang polisi pensiun dini paska kejadian itu. Ia lalu ditugaskan mencari sosok pemuda yang dapat menjadi dirinya saat menjadi polisi pada 1974. Demikian juga Makhmalbaf mencari seorang pemuda lain yang akan memerankan dirinya saat melakukan aksi penikaman. Kedua pemuda secara terpisah diberikan skenario singkat, latihan, dan narasi latar belakang terkait konteks masa lalu si polisi dan Makhmalbaf. Dengan bekal mereka bakal memahami motivasi, merekontruksi ulang kejadian yang menjadi inti narasi film ini, yakni momen yang mempertemukan dua eksponen dalam arus sejarah perubahan Iran: barisan revolusioner pengikut Khomeini dan antek-antek Shah Pahlevi.

Tapi, bidikan kamera tidak sanggup sepenuhnya menangkap masa lalu, apalagi jika dihadirkan kembali. Akan selalu ada tegangan antara kemampuan kemera dalam menangkap objek kekinian, dan masa lalu yang coba ia reka ulang. Karena itu kalau tidak cukup membingungkan, film ini sedang bermain-main di antara dokumenter dan fiksi, kesalahan dan penyesalan, masa lalu dan masa kini, serta rasa muak dan kebencian dari apa yang pernah dialami di masa slogan-slogan revolusi menjadi pekik sehari-hari yang mengisi kehidupan publik masyarakat Iran. Bahwa masa lalu merupakan wilayah yang tidak bisa diubah hanya karena semuanya telah terjadi, dan masa depan hanya bisa diakses melalui perubahan yang dilakukan di masa sekarang.

Tapi, di situlah tragisnya, meski dalam film ”intervensi” sama-sama dilakukan Makhmalbaf dan pensiunan polisi agar skenarionya dapat terjadi seperti di masa 20 tahun silam, rekontruksi peristiwa yang diinginkan tidak berjalan seperti harapan. Pemeran polisi muda dan Makhmalbaf muda tidak melakukan adegan seperti yang terjadi sesungguhnya di masa lalu. Di situlah ”momen kepolosan”, dalam arti terjadi tumpang tindih persepsi antara dua generasi yang terpaut jauh, yang dirasakan si pemeran, yang tidak sama untuk mewakili bagaimana generasi masa lalu mempersepsi perasaannya, harapan, cita-cita, bahkan emosi yang mendorong sikap mereka saat berada dalam aliran besar perubahan Iran.

Dengan kata lain, setiap generasi memiliki cara pandangnya sendiri, terutama saat mereka berhadapan dengan sejarah bangsanya, dan itu secara tidak langsung menandai betapa setiap persepsi antara generasi tidak mudah untuk dicopy, dan digandakan.

Kalau skenarionya berjalan sesuai masa silam, cerita akan diketahui berahkhir aksi penikaman. Tapi, yang terjadi dengan kehendak kreatif, pemeran muda polisi dan Makhmalbaf mengubah plot akhir dengan mengganti pisau menjadi roti, dan senjata pistol menjadi bunga. Perasaan dan cara pandang mereka, jika tidak berubah, tentang masa lalu berbeda; perdamaian. Sebuah pesan bahwa generasi muda meski ia dibawa ke masa lalu, tidak akan sama cara mereka merespon lingkungan seperti bagaimana generasi sebelum mereka hidup.

Nūn o Goldūn, karena itu merupakan cara Mohsen Makhmalbaf melihat hubungan masa lalu dan masa kini, antara semacam kesadaran masa muda yang polos berubah total melalui satu tindakan, sehingga setelah kejadian itu mengubah total takdir kehidupan satu generasi. Terlebih lagi terhadap masa depan Iran, alih-alih masa lalu menjadi lebih dominan untuk menentukan perasaan dan pemikiran generasi mudanya, justru melalui Nūn o Goldūn, kekecawaan dan hilangnya kepercayaan terhadap revolusi bukan menjadi masalah selama masa depan Iran ikut menjadi tanggung jawab kelompok mudanya.

Sutradara     Mohsen Makhmalbaf
Produksi  Abolfazi Alagheband
Pemain Mirhadi Tayebi, Mohsen Makhmalbaf, Ali Bakhsi
Sinematografi Mahmoud Kalari
Musik Madjid Entezami
Produksi  Produksi          : MK2 Production
Tanggal rilis     : 13 Agustus 1996 (Festival Film Locarno), 9 April 1997 (Prancis) 13 Agustus 1996 (Festival Film Locarno), 9 April 1997 (Prancis)
Durasi   78 menit
Negara Iran
Keterangan Film

Sumber gambar: www.facebook.com/186896518706041/photos/a.186897422039284/186897402039286/

  • Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati…

  • Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng…

  • Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya…

  • Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang…

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221