Merayakan Nostalgia

Malam sedang pekat-pekatnya, mata ini tak kunjung terlelap. Di luar, rintik hujan sedang malu-malu menyapa tanah. Saya lalu menyalakan televisi, tapi seperti kita ketahui, tak ada tontonan menarik saat tengah malam. Ya, paling hanya berita tadi pagi, disajikan kembali. Atau sinetron, tapi tak amat seru untuk ditonton.

Saya lalu beralih, membuka gawai. Membuka YouTube, sementara earphone telah terpasang di telinga. Namun, entah bagaimana algoritma YouTube bekerja, tiba-tiba saat membukanya, muncul beberapa video lawas. Video itu, salah satunya berisi lagu berjudul “biarlah” dari Killing Me Inside saat melakukan konser. Dipublikasikan tujuh tahun silam. Saya bertanya dalam hati, mengapa di antara begitu banyaknya video terbaru, di beranda justru muncul video lama.

Di keheningan malam, tatkala tembang itu telah sampai ke telinga,  saya seperti masuk ke dalam lorong waktu, membawa saya pulang ke masa lalu. Mengenang saat-saat hidup tiada beban. Momen ketika masih berseragam putih biru.

Teringat saat bermain masih menjadi kesibukan. Bermain dengan kawan-kawan, akan tetapi kini waktunya disita kesibukan, ataupun juga telah pergi meninggalkan kampung halaman. Asyik bermain bola di halaman sekolah, dan berhenti ketika petang telah menyuruh kita pulang. Hingga menyaksikan berita olahraga sebelum berangkat ke sekolah, sebab tak dapat izin menontonnya di kala malam. Dan banyak lagi kenangan, hadir dan mengalir begitu saja. Maklum, bocah kampung, masa kecilnya sederhana. Tak jauh-jauh dari teman dan permainan.

Saat lagu sedang khidmat didengarkan, mengunjungi kolom komentar juga adalah pilihan menarik. Berbagai macam pernyataan serupa bisa kita lihat, semua berisi kenangan tentang betapa menyenangkannya masa-masa dulu. Termasuk saya, lahir di ujung tahun 90-an, rindu masa-masa awal tahun 2000-an.

Video itu berhasil membawa saya merapah video-video lain, dan mampu membuat bernostalgia. Usai mendengarkan dua kali lagu itu, saya pencet video di bawahnya, lagu berjudul “yang terdalam” dari Noah. Lagu ini saya kenali lewat sebuah tayangan sinetron kala itu. Saat masih bernama Peterpan. Namun, kali ini lebih jauh lagi membawa saya pulang, mengenang masa kecil. Juga masa, ketika bapak masih mengisi satu ruang kosong di keluarga kami hari ini.

Lagu atau musik sejatinya sangat akrab dengan manusia. Ia bertaut dengan sebuah kesadaran, emosi, hingga rasa kehilangan. Tapi, tak cuma lagu atau musik kerap membuat kita bernostalgia. Ada banyak hal, mampu membuat kita teringat akan momen perjalanan hidup. Misalnya mengunjungi suatu tempat, menyantap sebuah kudapan, melihat suatu benda, dan sebagainya. Maka seketika, muncullah kenangan-kenangan itu, atau disebut involuntary memory. Meminjam istilah Marcel Proust, seorang sastrawan besar Prancis. Tapi, kenangan itu tak serta merta muncul, melainkan hadir karena pemicu khusus.

Proust dikutip dari laman Tirto.id menyatakan, kenangan bisa muncul atau tiba-tiba terlepas dari kotak pandora ingatan, sebab dipicu beberapa hal, antara lain rasa makanan, aroma, atau perasaan terhadap objek tertentu. Di mana pada kasus Proust, kenangan masa kecilnya hadir ketika sedang menyantap kue lalu dicelupkan ke teh. Tiba-tiba mencullah kenangan: Proust kecil sedang makan kue dicelup teh bersama bibinya. 

Terlepas dari pemantiknya, manusia memang menyukai kenangan, nostalgia. Beberapa hal membuat kita bahagia tatkala mengenang masa-masa indah. Tapi, tak jarang justru sedih hinggap pada kita, ketika yang dikenang kini tak lagi ada. Tapi kenangan apa pun, nostalgia selalu hadir dengan kehangatannya. Itulah kenapa orang-orang suka dengan nostalgia, menyumbang sensasi tersendiri pada perasaan kita. Saat rasa nostalgia itu hadir, perasaan kita campur aduk.

Nostalgia berarti kerinduan, bila mengacu pada KBBI. Nostalgia sendiri, berangkat dari akar kata nostos dalam bahasa Yunani kuno, memiliki arti rindu pada rumah dan kampung halaman. Serta algos, dimaknai sebagai rasa sakit, duka. Sederhananya, nostalgia berarti menyangkut perasaan rindu pada berbagai kenangan berkesan di masa lalu, khususnya suasana rumah dan kampung halaman. Namun, sayangnya tak lagi bisa terulang bahkan mungkin tak lagi ada sekarang.

Waktu itu bergerak dan terus bergerak, dan nostalgia bak pintu, terbuka ketika manusia sedang dihinggapi rasa lelah. Seringkali pintu nostalgia terbuka, ketika manusia membutuhkan jeda. Tampaknya, ini adalah kegalauan manusia sekarang: bersua hal baru, tanpa disangka-sangka. Merasa jauh lebih bahagia  berada di kenangan, tinimbang hari ini.

“Dalam nostalgia, kita diam-diam meninggalkan kegandrungan kita kepada ‘yang baru’. Tapi tak berarti kita hendak membuat ‘yang lama’ sebagai kuil tempat kita menutup diri.” Demikian, dengan indah digambarkan Goenawan Mohamad, seorang penyair dan esais kondang.

Nostalgia bisa berbuah positif, ketika ia menjadi penyemangat. Membuat manusia menjadi lebih kuat, menghadapi tantangan hari ini. Ketika tantangan kita hari ini, belum berhasil kita taklukkan, maka pulanglah sejenak, mengunjungi masa-masa tanpa beban, penuh kegembiraan. Lalu kembalilah, setelah merasa pulih.

Nyatanya, nostalgia memberikan manfaat psikologis. Perihal hidup menjadi lebih bermakna dan suasana hati jadi positif. Kendati begitu, nostalgia tak sepenuhnya baik, ia bisa menjelma menjadi ketakutaan, menjadi racun ketika hanya berisi soal kerinduan dan kehendak untuk pulang. Menyandera kita dari realita. Menimbulkan kecemasan dan perenungan berkepanjangan. Tidaklah elok bila kita tenggelam dalam bernostalgia. Terjebak dalam siklus kenangan, apatah lagi menjadikannya sebagai mesin waktu, untuk menghindar dari realita dan tantangan kita hari ini. Kembali lagi, nostalgia adalah pintu. Bukalah ia seperlunya, saat kita membutuhkan jeda.  

  • Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati…

  • Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng…

  • Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya…

  • Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang…

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221