A’baribbasa’ berasal dari Bahasa Makassar baribbassa yang artinya pagi. Pagi yang dimaksud di sini adalah sebelum terbitnya matahari. A’baribbasa’ adalah tradisi sarapan bersama di pagi hari jelang panen padi.
Jika melihat ke belakang dari sejarah peradaban Bugis-Makassar, a’baribbasa’ adalah bagian dari penghormatan kepada Sangiang atau Sangeng Serri yang merupakan Dewi Padi yang dipercaya sebagai seorang gadis muda dan cantik. Christian Pelras dalam buku The Bugis: Manusia Bugis, Penerbit Nalar, Forum Jakarta-Paris, 2006, menuliskan bahwa pada masa I La Galigo turunlah Batara Guru ke bumi. Anak perempuannya yang bernama We Oddang Nriwu, meninggal ketika masih bayi. Batara Guru melihat dimakam putrinya tersebut tumbuh berbagai jenis rumput yang ternyata adalah padi. Sejak itu dipercaya bahwa We Oddang Nriwu diberikan kepada manusia dalam wujud Sangiang Serri demi kelangsungan umat manusia di muka bumi.
Proses Tradisi A’baribbasa’
Tradisi a’ribbasa‘ pertama-tama dimulai dengan diadakan musyawarah untuk menentukan di sawah mana yang akan menjadi tempat pelaksanaannya. Beberapa kriteria sawah yang biasa dipilih adalah sawah yang luas, sawah yang terdapat je’ne limbua (mata air), ulu galung (induk sawah tempat masuknya pengairan utama dari irigasi), sawah yang posisinya paling di atas jika medan sawah bertingkat seperti di daerah dataran tinggi.
Setelah ditentukan sawahnya, malam hari jelang panen ibu-ibu mempersipkan berbagai menu utama dalam a’baribbasa’. Jadi sekalipun bahasanya adalah santap pagi yang umumnya orang Indonesia lakukan terdapat nasi, sayur, lauk, ikan dan semacamnya, tapi dalam tradisi ini yang disiapkan adalah basa baje’. Basa’ baje adalah nasi ketan putih yang dibasahi gula merah yang sebelumnya sudah dicairkan. Banyaknya basa baje’ yang disiapkan disesuaikan dengan anggota keluarga pemilik sawah masing-masing.
Waktu kedatangan Pinati (guru) dan pemilik sawah ke lokasi sekitar 05:30 pagi. Wajib hukumnya. Jadi biasanya jika sawah jauh dari pemukiman, seperti dulu karena belum ada akses jalan tani, pemilik sawah bermalam di gubuk sawahnya masing-masing. Ini untuk mengefisienkan waktu agar tidak terlambat.
Ketika sudah berada di lokasi, pertama yang dilakukan adalah menaikkan bendera. Menurut Daeng Badang yang seorang pagawe sara’ (pembantu imam desa/dusun) makna dari bendera tersebut adalah lambang kemenangan. Kemenangan yang dimaksud karena petani sudah akan menikmati jerih payahnya mengelola padi sejak masa pembajakan sawah, pembibitan, pemeliharaan sampai masa panen. Pada masa lalu bendera yang dipasang berupa panji-panji dan karena pengaruh nasionalisme setelah Indonesia merdeka maka bendera yang dipakai adalah merah putih (bendera nasional).
Jika bendera sudah dinaikkan, maka disiapkan pula basa baje‘ sebagai menu utama dalam tradisi a’baribbasa’. Basa baje’ dibagi ke beberapa piring. Untuk proses inti yaitu pembacaan doa, piring yang disiapkan ada 5. Susunan piringnya adalah 4 pring diletakkan secara berdampingan dan 1 piring diletakkan di atas piring sebelumnya. Piring-piring tersebut disimpan dalam satu tempat yaitu pa’dingin (pengayat beras). Inti dari doa a’baribbasa ini adalah rasa syukur karena padi sudah siap panen.
Di tempat lain juga disiapkan alat-alat panen seperti cadda’ (sabit), pakkatto (alat khusus yang digunakan untuk padi ketan), pallalingan (alat untuk mengikat padi yang sudah dibabat biasanya berukuran 2 meter), pappatambungan (alas untuk padi yang sudah dikumpulkan, saraung (sejenis topi tradisional dari anyaman bambu yang dipakai ibu-ibu saat panen).
Jika sudah siap maka Pinati berdiri di tengah sawah sambil menyanyikan beberapa bait lagu yang isinya berupa pujia-pujian kepada Tuhan, para pendahulu (tu rioloa) dan juga kepada keluarga.
Berikut Bait-bait lagu a’baribbasa’ yang dimulai oleh Pinati/Pagawe Sara’ :
Bendera mentengko naik (Wahai bendera berkibarlah)
Paggammarrangi kalennu (Percantiklah dirimu)
Naccini cini tu tea maradeka (Supaya engkau dilihat oleh mereka yang tidak ingin merdeka)
Lappasakmi kanannata, pole minne samayanta (Tertunaikanlah hajat kita, bahagialah terasa)
Tena tommo inranta ri Batarayya (Sudah tidak ada lagi hutang janji ke Batarayya)
Kusabbi maki anne ri lappasakna kananta (Saya bersaksi atas ditunaikannya hajat)
Ri tenana inranta ri batarayya (Bahwasanya hutang janji ke Batarayya sudah tidak ada lagi)
Sabbi raya, sabbi lau’, sabbi timboro’ bara, Ri tenana inranta ri Batarayya (Saksi dari sana dan di sini, saksi dari Timur ke Barat)
Selanjutnya lagu dilanjutkan oleh Pakai’ (Perempuan yang memotong padi)
Punna pajongjoki teteng, kibajiki bateta, Nabaji’ todo’ tu lelea (Jika anda memberi segenggam padi, perbaikilah genggamannya agar baik pula yang menerimanya)
Tea mamaki larroi punna kutaba limanta (Tidaklah anda marah jika tersentuh olehku tangan anda )
Lima siana’, karameng sompo sikali (Bahwa tangan itu bersaudara, jemari itu bersepupu )
Ehh kitangkasi bulaeng, bulaeng pale’ parea (Hai bersihkanlah dengan emas, karena padi itu adalah emas )
Intang pale’ tukkattoa. Jamarro’ pale tu lelea ri bokoang (Para pemanen padi ibarat intan, Permata pula para pengumpul padinya)
Ehh tabe’ kitangkasi bulaeng (Hai sudilah kiranya membersihkan emas)
Bait lagu yang dinyanyikan oleh Pinati dan Pakai’ dilakukan sambil menerima padi satu genggam yang sudah dibabat.
Selain doa khusus yang dirapalkan oleh Pinati terdapat juga doa khusus yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w seperti dalam Shahih Ibnu Hibban diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra pada saat orang Madinah tengah panen raya. Doa tersebut adalah:
( اللَّهمَّ بارِكْ لنا في ثمرِنا وبارِكْ لنا في مدينتِنا وبارِكْ لنا في صاعِنا ومُدِّنا اللَّهمَّ إنَّ إبراهيمَ عبدُك وخليلُك ونبيُّك وإنِّي عبدُك ونبيُّك وإنَّه دعاك لمكَّةَ وأنا أدعوك للمدينةِ بمثلِ ما دعا به لمكَّةَ ومِثْلِه معه )
Artinya:
Ya Allah, berkahilah buah-buahan kami, kota kami, berkahilah setiap sha’ dan mud’ (keduanya ukuran di masa Nabi Saw.) kami. Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba-Mu, kekasih-Mu, Nabi-Mu. Dan Aku juga hamba-Mu dan nabi-Mu. Ibrahim sudah pernah berdoa untuk Mekkah, dan (sekarang) saya mau berdoa untuk Madinah dengan doa yang sama dengan yang dipanjatkan Ibrahim untuk negeri Mekkah dan negeri lain yang setara (dengan Mekkah).”
Setelah pembacaan doa, maka para kepala keluarga dipersilahkan terlebih dahulu untuk mengambil basa baje’. Setelah para kepala keluarga mendapat bagian maka anggota keluarga yang lainpun ikut mengambil basa baje’ untuk disantap secara bersama-sama.
A’baribbasa adalah rangkaian rasa syukur kepada Allah swt karena apa yang telah diusahakan selama ini membuahkan hasil.
Apakah hasilnya banyak atau tidak itu bukanlah point utama dari para petani. Konsep berusaha untuk menghidupi keluarga adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan suku Bugis-Makassar. Dalam buku yang ditulis oleh A. Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Lembaga Penerbitan Unhas, 1985, ‘usaha’ merupakan salah satu pilar utama dalam budaya Bugis-Makassar. Lontara mencela orang yang tidak punya usaha sekalipun hanya ‘setelapak’ kecil tanah. Semangat usaha ini pun menjadikan banyak orang Bugis-Makassar punya pengaruh dalam berbagai aspek, seperti perniagaan dan bidang kemaritiman.
A’baribbasa’ adalah perpaduan antara penghormatan kepada leluhur, nilai sejarah tentang padi, nasionalisme serta adab antara sesama petani. Itu terlihat dari makna bait-bait lagu yang dinyanyikan.