Purnama lalu, 18 Oktober 2022 kita memperingati Hari Perpustakaan Sekolah Internasional. Tak ada twibbon bertebaran, tidak ada ajakan membaca dari presiden, Mas Menteri pun sepertinya enggan berpidato, paling tidak mengajak sekolah memikirkan ulang perpustakaannya masing-masing. Kita juga sepertinya sama saja. Perpustakaan sekolah seolah hidup segan, mati tak mau. Antara ada dan tiada. Fisiknya kokoh berdiri, tapi fungsinya keok dan suri.
Sepertinya, perpustakaan sekolah memang dipandang tak penting-penting amat. Data Kompas menyebut dari 148.673 SD (Sekolah Dasar) di Indonesia, lebih dari 50.341 sekolah belum memiliki perpustakaan. Itu pun hanya 13.927 perpustakaan yang kondisinya baik, sisanya rusak ringan, sedang, dan berat. Jika peringkat literasi rendah, mungkin karena perpustakaan kita masih payah.
Padahal, murid kita menggantungkan nasib minat bacanya di perpustakaan, sebab uang ibu bapaknya hanya cukup buat makan. Kalaupun uang ada, buku tak pernah masuk daftar belanja, yang ada hanya buku tulis, sialnya ia tak bisa dibaca.
Jika ditilik rendahnya literasi Indonesia, dugaan saya, salah satu penyakit kronisnya adalah perpustakaan sekolah. Kita lebih senang menyalahkan anak yang asyik main Mobile Legend, tapi tak menawarkan opsi lain yang sepadan. Game dan gawai senantiasa diperbaharui, didesain agar anak makin betah berlama-lama. Sayangnya, perpustakaan sekolah sejak saya sekolah, hingga kini jadi guru, kondisinya tak banyak berubah. Masih begitu-begitu saja.
Beberapa bulan lalu, di Ruang Rapat Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng, dihelat Focus Discussion Grup (FGD) tentang Membangun Budaya Literasi di Sekolah. Moderator mengajukan tanya ihwal “das sein” dan “das sollen” perpustakaan sekolah, sebagai salah satu penyangga utama tegaknya literasi di sana.
Saya pun mengurai jawaban, hasil dari pengalaman semasa sekolah, juga realitas yang saya amati kini. Setidaknya, ada tiga problem utama yang dihadapi perpustakaan sekolah.
Pertama, terkait kondisi perpustakaan. Harus diakui, bangunan perpustakaan di sekolah bisa dibilang kurang nyaman. Ia mungkin hanya sedikit lebih baik dari gudang sekolah—untuk tidak mengatakan sama. Kondisinya berdebu, panas, dan remang-remang. Dengan keadaannya yang seperti rumah hantu itu, agak sulit mengajak anak datang membaca. Orang dewasa pun mungkin enggan. Takut jika asik membaca, kesurupan tiba-tiba. Perpustakaan kita sepertinya sedang sakit.
Padahal, sebagai ujung tombak literasi sekolah, perpustakaan seyogianya dibuat senyaman dan seaman mungkin. Jika perlu lebih nyaman dari kantor guru, supaya guru nongkinya di perpustakaan. Apa yang lebih indah dari murid dan guru, duduk bersama membaca buku?
Redesain perpustakaan sekolah, mesti menjawab problem fundamental. Kita bisa memulainya dengan menjawab pertanyaan sederhana: Apa sih fasilitas yang dibutuhkan? Apa yang kita inginkan dari perpustakaan? Perpustakaan seperti apa yang diangankan murid? Semua pertanyaan ini, sebentuk pengumpulan informasi dari berbagai pihak, guna mendesain perpustakaan yang benar-benar menjawab kebutuhan.
Problem kedua, koleksi buku yang tidak variatif. Kalau perpustakaan sekolah Anda bersih, bagus, dan tidak panas, tapi murid di sekolah tetap malas ke perpustakaan, mungkin penyakitnya adalah koleksi buku. Barangkali isi perpustakaan, dijejali dengan buku mata pelajaran, atau buku cara memelihara ayam. Tak ada yang menarik minat baca.
Saya pernah survei kecil-kecilan, membawa buku komik bergambar pinjaman Boetta Ilmoe ke sekolah. Saya tak menawari murid membaca, hanya meletakkan buku di atas meja guru. Ketika murid mendekat dan melihat sampulnya, mereka lekas mengambil guna dibaca, yang kemudian diikuti pula oleh temannya yang lain. Tak butuh waktu lama, sekitar 10-an komik di meja ludes. Sehabis dibaca, mereka lalu bertukar buku dengan teman.
Esoknya pun demikian. Hingga segenap komik selesai mereka eja. Sayangnya, saya tak punya stok yang memadai, hingga ketika besoknya membawa komik yang sama, mereka menagih yang baru, yang belum pernah mereka baca. Saya bilang hanya itu, tidak ada yang lain lagi, mereka pun kecewa. Beberapa hari setelahnya masih sempat ditanyakan, hingga perlahan mereka lupa kenangan manis bersama buku. Bahwa ternyata mereka juga (pernah) suka membaca.
Memang seantusias itulah mereka saat bertemu buku yang pas. Tak ada lagi drama pemaksaan membaca, sebab dalam diri anak-anak bertebaran benih-benih keingintahuan. Tuhan takkan berfirman iqra’, tanpa menyemai hasrat baca dalam dada manusia. Minat baca sudah nyata, bahkan sebelum perpustakaan ada. Ia abadi.
Saya selalu ingat memori itu, jika guru mengeluhkan murid-muridnya malas membaca. Apakah benar demikian? Atau justru kita yang gagal memfasilitasi mereka?
Sudah waktunya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) selain digunakan membeli buku paket, dimanfaatkan pula membeli buku bacaan anak. Buku lebih dari kumpulan kata-kata, ia memastikan cerahnya masa depan kita-kita. Saya sungguh yakin, salah satu cara jitu mendongkrang literasi murid, adalah merevitalisasi perpustakaan sekolahnya.
Sebangun dengan itu, penting pula bagi perpustakaan sekolah menyusun program berkelanjutan dan partisipatif. Ahmad Baedowi dalam bukunya Calak Edu 2, menyarankan perpustakaan sekolah mengembangkan strategi, agar anak menjadi tertarik ke perpustakaan. Programnya seperti fun with book, weekly reading hours, atau memfasilitasi murid menceritakan hasil bacaannya di depan teman-teman. Di sini, menyata ungkapan, perpustakaan itu bukan kata benda, melainkan kata kerja.
Problem ketiga, penjaga perpustakaan yang koro-koroangnya minta ampun. Kalau perpustakaan Anda bagus, punya koleksi buku variatif, tapi murid masih segan ke perpustakaan. Mungkin karena pustakawannya segalak Uchiha Madara. Sedikit senyum, banyak manyun. Padahal perpustakaan adalah lembaga yang bergerak di bidang jasa, jadi sudah sepatutnya pelayanan yang diberikan sehumanis Naruto.
Bayangkan saja, ketika murid melewati pintu perpustakaan, disambut tatapan sinis pustakawan, saat melihat-melihat buku, mereka diteriaki agar tidak membongkar buku. Gairah bacanya langsung hilang separuh. Ketika membaca dengan suara nyaring, dikomentari lagi agar jangan ribut. Nafsu bacanya pun lenyap seketika. Murid yang terluka lalu pergi, perpustakaan tetap rapi dan sepi. Inikah yang kita impikan?
Padahal, dengan sedikit upaya, pustakawan bisa menjalin relasi dengan murid, melibatkannya dalam kerja-kerja kepustakawanan: membantu di jam istirahat, membuat pajangan bersama, bahkan pengelolaan perpustakaan bisa dipercayakan ke murid, sebagai bentuk aktualisasi diri, pustakawan cukup menjadi fasilitator saja. Ini tentu akan menghadirkan iklim perpustakaan yang inklusif dan bersahabat.
Ironisnya, pustakawan kita memang tidak punya ilmu perpustakaan yang memadai. Sebab, pos pustakawan sekolah biasanya diisi oleh guru, yang sebagian besar waktunya habis di kelas. Jika pemerintah serius, formasi pustakawan di sekolah mesti dibuka, dan diisi oleh para sarjana perpustakaan. Kalau berat, pustakawan cum guru ini, harus diberikan pelatihan manajemen perpustakaan, agar murid tak menerus jadi korban.
Saya membayangkan, perpustakaan menjadi surga kecil untuk murid, yang selalu jadi alasan mereka ingin tetap ke sekolah, yang mengawal minat bacanya tetap menyala. Mewujudkannya memang butuh sedikit biaya, secuil kemauan, dan lebih banyak usaha. Tapi itu bukan masalah, bukankah—kata Walter Croncite, eks wartawan di Amerika—berapa pun harga perpustakaan, harganya lebih murah dibanding bangsa yang bodoh.