Jika Kamu adalah Hewan, Ingin Menjadi Hewan Apa?

Di homeschooling tempat dulu saya bekerja, kegiatan konseling sebaya menjadi tempat untuk melihat lebih dekat karakter murid. Setelah mereka melakukan proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di kelas, semuanya berkumpul dalam satu ruangan tertutup dengan fasilitas kelas pada umumnya, ada AC, papan tulis, meja, dan kursi belajar. Lalu bagian konseling memandu para murid, termasuk saya ikut terlibat sebagai peserta.

Sesi itu dimulai dengan pertanyaan, jika kita adalah hewan, maka akan menjadi hewan seperti apa? Masing-masing dari mereka menuliskannya dalam sebuah sticky notes. Nantinya, setelah selesai  masing-masing akan menceritakan alasan ingin menjadi hewan itu.

Konselor yang memandu, menjelaskan terlebih dahulu, katanya ia ingin menjadi lebah. Karena seekor lebah akan meninggalkan madu di setiap jejaknya. Sama halnya dengan dirinya, ia ingin meninggalkan pijakan manis pada setiap langkahnya. Walaupun beberapa bulan setelahnya, Ia meninggalkan sekolah beserta posisinya dalam keadaan kurang manis.

Setelah ia, saya mendapatkan giliran untuk bercerita. Saya ingin menjadi kura-kura. Agar bisa membawa rumahnya kemana saja. Rumah bukan secara fisik. Namun menyerap kata bahasa Inggris, yaitu home not house.

Salah satu murid, berbekas pada ingatan saya, kita beri nama saja, Alex. Bagaimana tidak, ia ingin menjadi babi. Ketika ditanya, ia hanya bilang mau saja. Tidak menjelaskan. Saya begitu heran dengan pemilihan tokoh hewannya, apalagi ia tidak menjelaskannya. Hewan babi dalam hidup saya yang beragama Islam turunan ini, menjadikan hewan itu bermakna negatif, jelek, dan haram. Saya lupa, jika Alex ini nonmuslim. Mungkin campuran Kristen Hindu. Ia sendiri pun ketika ditanya terkait kepercayaan dianut, seperti bingung menjelaskannya.  

Murid yang lainnya, ada yang ingin menjadi burung. Selebihnya, saya lupa. Maklum saja, kejadian itu sudah terlampau jauh untuk diingat. Tertimbun dalam keseharian lainnya, semisal apakah seprei telah diganti dua minggu lalu? Sudah sejak kapan, ikan lure ini menjadi penghuni kulkas? Dan ingatan-ingatan beberapa hari lalu lainnya. Berkaitan dengan cara kerja memori, sebenarnya menjadi hal yang cukup lucu. Ingatan bekerja ketika kita tidak ingin memikirkannya. Namun, teringat ketika kita berusaha setengah mampus untuk melupakan.

Menuliskan ini dengan rentang jarak sekitar tiga tahun, antara kejadian itu di masa sekarang membuat saya melakukan asumsi liar dan bebas. Sependek pengetahuan dari media sosial dan pengalaman pribadi. Dan, mungkin saja masing-masing karakter hewan tadi dapat menjadi gambaran umum karakter pada masing-masing generasi.

Di satu sisi, asumsi ini menjadi over generalisasi, di sisi lainnya dapat menjadi perwakilan hasil pendominasian dari keseluruhan karakter. Tapi tak apalah, hitung-hitung menjadi langkah awal untuk mengenal karakter generasi. 

Sebenarnya, hal ini saya kemukakan lantaran kepercayaan saya. Jika setiap karakter manusia itu banyak didominasi oleh kekuatan alam bawah sadar. Redaksi yang keluar berupa ucapan ataupun reaksi, apalagi secara spontan menggambarkan kekuatan alam bawah sadar. Barangkali saja, ungkapan pemilihan hewan-hewan adalah hasil akumulasi dari pikiran dan perasaan alam bawah sadar yang bergejolak. 

Seumpamanya begini, saya termasuk generasi milenial kelahiran 94, memilih kura-kura dengan pengharapan dapat membawa rumahnya ke mana-mana. Bisa jadi lantaran di generasi kami, semakin sulit mendapatkan rumah. Pendapatan kurang berkawan baik dengan harga tinggi rumah ataupun tanah. Belum lagi, jika pendapatan itu telah tergerus oleh kenaikan bahan pokok. Pepatah yang mengatakan sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, untuk urusan menabung membeli rumah, pastilah belum berkenalan dengan inflasi. Apalagi jika keinginan itu terbentur generasi sandwich, di mana selain dirinya yang ia tanggung, terikut pula tanggungan untuk keluarganya. 

Selain secara fisik, perasaan untuk merasa nyaman dan aman seperti di rumah tidak mudah didapatkan. Ruang lingkup pekerjaan menggerus untuk senantiasa cuan, kesehatan mental menjadi anak kedua untuk dipikirkan, sedangkan pandangan patriarki masih saja menghantui perempuan maupun lelaki. 

Bagi perempuan, rasa aman berjalan tanpa di-catcalling menjadi barang langka. Sedangkan lelaki, bisa menunjukkan perasaan tanpa merasa bersalah adalah suatu keistimewaan. Jadi, hal itulah mengapa asumsi ini terbentuk. Selain keinginan menjadi kura-kura, teman saya si konselor ikut mungkin merasakan isu lainnya. Di mana, isu ini masih menjadi primadona di generasi kami, yaitu perasaan ingin diterima. 

Kami sebagai generasi pencinta media sosial, telah menerima beragam perkembangan aplikasi, sebut saja Friendster, Facebook, Twitter, Path, Instagram, lalu tiktok. Tanpa perlu hasil riset, kita sebagai pengguna medsos pasti sudah merasakan sendiri paparannya. Banyak juga konten di sosmed yang menyuarakan hal ini. Bahkan, pada pengaturan Instagram sudah ada notifikasi yang dapat diaktifkan,  jika terlalu banyak mengonsumsi per jamnya. Hasil dari itu pula menyebabkan kami dihantui oleh selalu ingin merasa disukai, tidak terbiasa untuk menolak, melakukan citra diri sebaik mungkin, lalu menumpahkan sisi gelap pada second account. Jadi seperti itulah penggambaran liar nan imajinatif dari kedua tokoh hewan.

Mari beralih pada si babi. Pada waktu itu saya menanyakan kepada si konselor, mengapa si murid itu memilih babi dan enggan menjawabnya. Lalu ia menjawab, mungkin karena tipikal murid ini suka bersenang-senang dan enggan bekerja. Dan memang, hasil awal berupa asesmen psikologi dan observasi akademik, si anak ini tergolong generasi Z.

Pendekatan personal dilakukan secara persuasif, ingin hidup serba instan, serta melek teknologi. Ia pun di antara murid tergolong anak kaya. Setiap datang ke sekolah berganti mobil. Mobilnya pun kategori kelas mewah. Namun, di sisi lain, anak ini senang bercerita, bergaul, dan rendah hati. Ia senang berbagi makan siang dengan teman-temannya.

Ketika jam makan siang tiba, ia memesan Go-food walaupun tanpa voucer makanan. Dan memang sama sekali tidak mengecek diskon pada saat memesan. Berbeda halnya dengan para Mr. dan Miss-nya ketika memesan makanan. Hal lebih dahulu dilakukan ialah melihat makanan dengan potongan diskon, lalu memesan secara beramai-ramai agar potongan menjadi lebih besar lagi.

Tokoh si babi ini mengingatkan saya pada Animal Farm karangan George Orwell, buku yang banyak terjual sewaktu saya mengelola toko buku. Secara ringkas, berkisah strata masyarakat dengan simbol tokoh hewan. Tokoh Babi digambarkan sebagai penguasa kelas atas, sedikit kerja, hobi bersenang-senang dengan menindas rakyat ataupun hewan lainnya. 

Namun, tokoh si babi dalam Animal Farm tentu saja tidak dapat dikorelasikan secara apple to apple dengan generasi Z. Keduanya berbeda pemaknaan dalam masing-masing konteks. Karena generasi Z pun memiliki banyak kekhasan, melahirkan kemampuan yang tidak terjadi pada generasi lainnya.

Pada artikel terbitan Whiteboard Journal  “Mengurai Paradoks Persepsi dan Stigma Seputar Gen Z” merangkum isi artikel, disebutkan jika generasi Z berkat teknologi dapat melakukan multitasking yang baik, hanya dengan menenteng iPhone, iPad dan AirPods, mereka dapat bekerja di mana saja. Selain itu, mereka menjadi generasi paling terbuka atas isu dan pandangan yang berbeda. 

Menutup tulisan ini, saya ingin mengemukakan, jika secara pribadi bukan penganut fanatik suatu generasi ataupun etnosentrisme dari generasi saya. Mengingat beberapa kali saya bertemu orang-orang yang begitu mengeluk-elukkan generasinya. Bahkan, penjelasan generasi X pernah dipaparkan secara atraktif pada dokumenter National Geographic berjudul “X: The Generation That Changed the World”.

Kendatipun, tidak menjadikan hasil itu sebagai suatu kemenangan generasi dari generasi lainnya, karena setiap generasi adalah spesial dan bertumbuh di masing-masing konteksnya. Toh, setiap individu yang lahir tidak pernah ditanyakan ia ingin lahir pada generasi mana. Masing-masing memiliki proses perjalanannya, hingga menuju generasi selanjutnya.

Akhir tulisan ini, jika sekiranya Anda diperhadapkan oleh pertanyaan si konselor, ingin menjadi hewan seperti apakah Anda? Mari menjawabnya pada pikiran masing-masing. 

Sumber gambar:

https://www.wallpaperbetter.com/id/hd-wallpaper-epgbf

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221