Bangsa Tanpa Cermin

Beberapa waktu lalu seorang kepala daerah diciduk lembaga pemberantasan korupsi akibat kasus suap yang menyeret namanya. Kendati mengusik hati, sebenarnya diakui atau tidak, fenomena korupsi kini telah jadi lumrah di sebuah negeri antah berantah. Lantas apa yang aneh kalau begitu?

Ada kejanggalan di balik peristiwa itu, musabab beberapa hari sebelum penangkapan, kepala daerah tersebut hadir dalam sebuah agenda memperingati hari anti korupsi. Lucunya, bahkan ia didaulat menjadi salah satu pembicara pada hajatan itu.

Dalam sambutannya, ia menyampaikan pelbagai hal ihwal korupsi. Bagaimana merentangkan jarak diri dari praktik laknat itu. Bagaimana kawula muda tumbuh menjadi generasi tangguh dan berintegritas. Dan tak lupa ia menyelipkan  sebuah pesan tentang betapa kotornya perilaku korupsi, dan ia amat membenci para pelakunya.

Cukup panjang ia memaparkan sambutannya. Beberapa orang mungkin tak sempat menikmati kudapan di hadapannya, lantaran mematung mendengarkannya bertutur. Siapa sangka, selang setelahnya, ia ditangkap atas kasus korupsi. Munafik!   

Makin ke sini makin ke sana, kalau kata orang sekarang, kok bisa, dengan sadar ia bicara panjang lebar dan percaya diri padahal ia sendiri melakukannya. Bukankah berarti ia menyinggung dirinya sendiri. Sungguh kelewat aneh pemangku jabatan di negeri antah berantah itu, bicara tanpa mengerti, apalagi mengamalkan ucapannya.

Sulit kita sangkal, perkembangan zaman telah menjadi salah satu donatur terbesar dari tergerusnya kemanusiaan kita. Sulitnya menemukan kejujuran dan perangai baik seseorang di zaman sekarang, juga mereka yang tak ingkar, bahkan pada janji yang ia dengungkan sendiri. Hingga akhirnya, kata-kata tak lagi bermakna.

Itu di dunia nyata, fenomena lain turut terjadi di laman maya. Perkembangan teknologi, dalam hal ini teknologi informasi, menciptakan beragam pola komunikasi. Walakin, seiring peningkatan penggunaan media sosial, di lain sisi tidak seluruhnya diimbangi dengan pemahaman, terlebih lagi etika dalam berkomunikasi, sebagai salam satu manfaatnya.

Betapa tidak, media sosial justru menjelma jadi ruang kumuh dan kotor, sesak oleh bejibun akun-akun yang saling melempar hinaan hingga cacian. Sebuah ironi, dari realitas hari-hari ini. Perkembangan teknologi, sebetulnya membuka lebar kesempatan bagi tiap individu untuk berinteraksi dengan sesama. Menjalankan sebuah model interaksi tanpa harus bertemu, dan tak saling mengenal. Walaupun, disesalkan kemudian, jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Pada kolom komentar di laman media sosial, menjadi tempat ujaran kebencian, saling menghina hingga merendahkan orang lain tak henti-hentinya diproduksi.

Kebebasan di media sosial, agaknya jadi sebab seseorang menjadi nihil rasa takut akan risiko dari tindakannya. Tersedianya anonimitas di media sosial, juga turut andil dalam problematika ini. Alasannya, orang akan merasa aman meninggalkan apa pun, sebab tak tampaknya identitas.

Terlebih saat ini, mendekati tahun-tahun politik. Masa-masa panas. Para elite politik, akan berperang, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Jadi, sampai di sini, jangan berharap akan ada damai di rentang waktu itu.

Hoaks akan disebar oleh lawan politik, atas nama elektabilitas. Menghina yang lain, padahal dirinya juga hina. Mencela pihak lain, padahal tindakannya juga tercela. Mereka akan bicara bak orang suci tanpa dosa dan kesalahan. Mencari-cari kesalahan orang lain, tanpa pernah sekalipun menyadari kesalahannya.

Suhu panas tahun-tahun politik, nyatanya tak cuma berkecamuk di kalangan elite, masyarakat bawah pun tak luput mengambil bagian, terutama mereka para pendengung. Acapkali masalahnya, justru berakhir sebagai serangan terhadap pribadi seseorang. Alih-alih mencari dan menemukan solusi, mereka lebih senang menebar kebencian. Alhasil, kian memperkeruh keadaan.

Tidakkah sebaiknya platform media sosial, dialihkan dari tempat saling menghujat dan menebar kebencian itu, menjadi tempat memperkenalkan program kerja masing-masing, umpamanya. Akhirnya, suasana sejuk dan damai dalam perpolitikan yang kita ingin, tak hanya berakhir sebagai angan. Tak sehatnya kompetisi, akan membikin suasana tidak kondusif.

Di luar urusan politik, kemanusiaan jadi sorotan. Pernahkah kita berpikir, mengapa orang lebih sulit menyadari kelemahannya, tinimbang kelemahan orang lain. Begitu fasih menjelaskan kelemahan orang lain, tanpa menyadari dirinya penuh dengan kesalahan. Seolah-olah tak pernah introspeksi, bercermin guna melihat dirinya.

Dua contoh masalah di atas memang tampak berbeda, kendati demikian, tak sulit menemukan titik persamaannya. Perihal kita yang enggan bercermin. “Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat,” demikian sepotong lirik, syair sebuah lagu ciptaan Ebiet G. Ade, dalam lagunya berjudul “Untuk Kita Renungkan”. Penyanyi legendaris itu, dengan indah mengajak kita berintrospeksi dalam gubahan liriknya. Dengan jalan bercermin, sebagai ikhtiar untuk melihat diri. Bahkan katanya kita mesti telanjang, agar mampu melihat diri dengan utuh. Lalu membersihkan diri untuk benar-benar bersih.

Pesannya sederhana, sadarilah diri sebelum berucap. Sebab, barangkali omongan kita terlalu sempurna, bagi diri yang penuh kesalahan. Sayangnya diri acap mendapat penghalang untuk dapat melihat dirinya sendiri apa adanya. Mengkritisi kesalahan, kekhilafan, atau penyimpangan orang lain. Tetapi, di sisi lain, tak melihat sesungguhnya dirinya sendiri serupa dengannya.

Dari para penguasa kita belajar, perihal rumitnya mereka dalam menyelaraskan kata dan krida. Mereka lebih memilih mengagung-agungkan dirinya dan enggan menyampaikan atau menyadari kesalahannya. Sehingga begitu sering, kita melihat para penguasa bicara tak sesuai fakta, atau berlaku tapi menghadirkan luka.


Sumber gambar: www.dakwatuna.com

  • Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati…

  • Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng…

  • Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya…

  • Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang…

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221