“pamer harta memang hal yang tak baik, dari sudut pandang apapun, tapi dalam perspektif penegakan hukum bukan disitu pokok persoalannya. Pemerintah semestinya fokus pada ketakwajaran harta kekayaan pejabat dan pegawainya, bukan pada sikap pamernya”
Akhir-akhir ini istilah “tak wajar” banyak kita jumpai di jagat media, misalnya saja dalam tajuk yang tayang di detik.com berjudul “964 Pegawai Kemenkeu Diduga Punya Harta Kekayaan Tak Wajar“. Atau di harian Media Indonesia “Sri Mulyani Jamin Investigasi Harta Tak Wajar Milik 69 Pegawai Kemenkeu Selesai dalam Sepekan“. Kemudian di harian Republika dengan tajuk “Kemenkeu Periksa 69 Pegawai Kemenkeu Berharta tak Wajar”.
Barisan tajuk di harian nasional tersebut menunjukkan ada yang tak wajar dari kata “tak wajar” itu sendiri. Meskipun kosakata tersebut bukanlah sesuatu yang baru, tetapi penggunaannya intens dipakai belakangan ini, terutama setelah kasus Mario Dandy viral dan merembes ke mana-mana.
Tulisan pendek ini hendak memproblematisir “ketakwajaran” tersebut dalam dua hal. Pertama, “tak wajar” nya jumlah kekayaan sebagian pejabat dan pegawai di pemerintahan, yang kedua “tak wajar” nya gaji puluhan ribu tenaga honorer guru di ribuan sekolah. Keduanya sama-sama “tak wajar”, tapi ketakwajarannya memiliki pretensi yang sangat berbeda.
Kekayaan “Tak Wajar” Para Pejabat
Tak wajar yang pertama merujuk pada jumlah kekayaan sejumlah pejabat dan pegawai Kemenkeu terutama di Ditjen Pajak dan Bea Cukai yang dianggap melampaui kewajaran, misalnya saja milik Rafael Alun Trisambodo, Eko Darmanto, hingga terbaru Andhi Pramono. Nama-nama tersebut diduga memiliki harta kekayaan yang tak wajar. Belakangan ketakwajaran tersebut viral dan menjadi sorotan publik.
Setelahnya secara beramai-ramai kementerian—Kemenhub, Kemenpan RB, Kemen BUMN, dls.— mengeluarkan himbauan agar pegawai dan pejabatnya tidak pamer kekayaan dan bergaya hidup hedon. Bahkan Presiden Jokowi pun turut mengeluarkan himbauan khusus agar aparat birokrasi tidak pamer harta di media sosial (baca harian kompas.com).
Sekilas himbauan itu tampak tak ada masalah, tapi bila melihatnya dari sudutpandang tata kelola publik, akan tampak sesuatu yang tidak nyambung. Ibarat pameo “lain gatal, lain pula yang digaruk”. Betul bahwa pamer harta itu adalah hal yang tak baik, dari sudut pandang apapun, tapi dari perspektif penegakan hukum bukan disitu pokok persoalannya. Pemerintah semestinya berfokus pada ketakwajaran harta kekayaan pejabat dan pegawainya, bukan pada sikap pamernya. Soal sikap pamer biarlah para agamawan, budayawan, dan cerdikcendekia yang mengurusinya.
Tapi sekalipun pemerintah mesti mengurusinya, janganlah sampai pemerintah melupakan pokok persoalannya, yakni kekayaan yang tak wajar. Sistem pembuktian terbalik bisa menjadi solusi, para pejabat yang kekayaannya tak wajar, harus membuktikan bahwa kekayaannya didapatkan dari dan dengan cara yang legal.
“Sistem pembuktian terbalik bisa menjadi solusi, para pejabat yang kekayaannya tak wajar, harus membuktikan bahwa kekayaannya didapatkan dari dan dengan cara yang legal”
Sebetulnya menjadi kaya atau memiliki aset yang banyak bukanlah masalah, setiap orang berhak memilikinya, tetapi sebagai pejabat publik hendaklah dalam batas-batas kewajaran—sumbernya wajar, jumlahnya wajar dan penggunaannya wajar—. Adalah sangat arif bila pejabat publik kekayaannya tidak bertambah, baik berpuluh apalagi beratus kali lipat ketika menjabat.
Menjadi pejabat publik, sebenarnya dan sewajarnya adalah pengabdian-pelayanan, artinya kerelaan berkorban. Karena itu seharusnya seorang pejabat publik ketika memilih mengambil tugas tersebut, maka ia harus rela hidup sederhana, bahkan hidup menderita kata Agus Salim. Aneh rasanya bila seorang pelayan-pengabdi, justru kekayaannya membengkak ketika sedang menduduki jabatan publik. Bila ingin kayaraya, dan tak ingin berkorban, mestinya tak usah jadi pejabat publik, menjadi pebisnis barangkali lebih cocok.
Belajar dari Hatta dan Soekarno
Mari sejenak menengok ke masalalu, Hatta suatu ketika mengeluarkan kebijakan senering (pemotongan nilai uang) dari Rp.100 menjadi Rp.1, istrinya Ibu Rahmi sempat keberatan. Pasalnya, tabungannya jadi berkurang, padahal dia sudah menabung untuk beli mesin jahit yang sangat diidamkannya. Hatta setengah merayu mengatakan kepada Rahmi bahwa “kepentingan negara tidak ada sangkut pautnya dengan usaha pribadi dan keluarga. Biarlah kita rugi sedikit demi kepentingan banyak orang. Kita bisa nabung lagi” kata Bung Hatta menenangkan istrinya.
Sikap yang serupa juga ditunjukkan oleh Sukarno. Ketika akhirnya harus meninggalkan istana pada 1967. Ia mengingatkan kepada anaknya “Mas Guruh, bapak sudah tidak boleh tinggal di istana ini lagi. Kamu bereskan barang-barangmu, jangan kamu ambil apapun, termasuk lukisan atau hal lain. Itu punya negara!” kata Bung Karno yang lantas menyampaikan hal serupa kepada para ajudannya. Saat akhirnya meninggalkan istana, Bung Karno pun hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam. Dengan menumpang VW kodok, ia minta diantarkan ke rumah Fatmawati di bilangan Sriwijaya, Kebayoran.
Kisah-kisah tersebut adalah teladan yang hidup, bukan dongeng apalagi mitos, mereka nyata, mereka mewariskan pelajaran berharga bahwa jabatan publik adalah tugas pelayanan dan pengabdian, bukan wahana menumpuk harta dan pamer kuasa.
Gaji “Tak Wajar” Guru Honorer
Bila ketakwajaran sebelumnya karena melampaui batas, yang kedua ini sebaliknya justru karena di bawah batas kewajaran. Demikianlah adanya, para honorer utamanya guru yang jumlahnya lebih dari 1 juta orang diupah secara tak wajar. Mari memulainya dengan membaca tajuk di detik.com pada juni 2020 “Miris! Gaji Guru Honorer Lebih Kecil dari Upah ART”. Kemudian tajuk di okezone.com pada mei 2022 berjudul “Cerita Guru Honorer Pernah Digaji Rp25.000 per Bulan“, bahkan yang lebih menyedihkan tajuk di halaman depan kompas.com maret 2023 “Gaji Belum Dibayar, Guru Honor Jual Ginjal di Media Sosial“.
Padahal berdasarkan Pasal 14 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial. Namun pasal ini seringkali di anak tirikan.
Dua ketakwajaran di atas menampilkan kenyataan yang kontras, ibarat langit dan bumi. Padahal guru seringkali dielu-elukan dalam pidato para pejabat, disebut sebagai pahlawan, sebagai tulang punggung kemajuan bangsa bahkan suluh peradaban. Namun nasibnya seringkali menyedihkan, tidak lebih baik dari ART di negeri tetangga.
Inilah setumpuk ketakwajaran, yang boleh jadi menyerupai fenomena gunung es, sebagian barangkali telah tampak, tapi bagian terbesarnya boleh jadi belum terlihat. Ketakwajaran ini memerlukan hadirnya pemerintah, sebab memang itulah tugas pemerintah. Kealpaan pemerintah justru akan memperpanjang barisan ketidakwajaran, yang bila dibiarkan terus-menerus pada waktunya nanti akan melahirkan ketidakpercayaan. Publik akan beramai-ramai menyatakan mosi tidak percaya kepada negara. Dan itulah seburuk-buruk pemerintahan, berdiri di atas ketakwajaran dan ketidakpercayaan.