Ini Sulhan Yusuf, Bukan Syekh Yusuf

Kurang lebih sepekan lalu kami kedatangan tamu yang telah dinanti berhari-hari sebelumnya. Beberapa buah kardus berisi buku “Gemuruh Literasi” beriring-iringan masuk ke tengah ruangan toko, mencari tempat ternyaman untuk mengaso. Rupanya lantai yang berposisi di bawah kipas angin menjadi tempat aman untuk beristirahat. Sembari menanti tangan-tangan pembeli datang meminangnya.

Senyum paling lebar tentu saja datang dari sang pemilik buku. Ia yang sedianya hendak beristirahat siang, sontak terbangun, rela menunda kenyamanannya demi menyambut kehadiran sang pujaan hati. Soal kecintaannya pada karya buku berlaku pula pada karya siapa pun, khususnya terbitan-terbitan Liblitera, lembaga penerbitan yang telah bekerja sama dengan Paradigma Institute dan Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini. Terlebih lagi, jika proyek-proyek perbukuan yang selama ini dikerjakan, diampu ramai-ramai, melibatkan seluruh anggota keluarga. Semisal untuk karyanya kali ini, yang menyuntingnya adalah pasutri, putri dan menantu kami, Nurul Aqilah Muslihah dan Ikbal Haming, sementara perancang covernya, putri kedua kami, Nabila Az-Zahra yang memang mengambil spesifikasi keahlian dalam bidang desain grafis.

Dari balik jendela ruang tamu rumah kami, diam-diam saya mengamati seraya membatin, semestinya buku saya pun sudah datang. Namun apa boleh buat, karena ketidakseriusan saya menggarap naskah yang sebenarnya sudah ada, buku saya harus rela antri diterbitkan belakangan. Perkara ini sudah sering diperbincangkan dan jadi candaan, buku siapa yang nantinya akan terbit lebih dulu. Alhasil saya kalah cepat.

Hal lazim dalam rumah, orang-orang saling berebut ide, judul tulisan, memilih diksi, sampai pada rebutan mencari judul buku. Bersyukurnya semua perkara rebut-rebutan, sindir-sindiran, sarkas-sarkasan, hingga ledek-ledekan berujung tawa lepas tanpa ada ketersinggungan ataupun sakit hati. Iklim santai begini tidak muncul dalam kurun setahun dua tahun, tetapi melaui tahun-tahun panjang yang sarat pembelajaran. Sehingga siapa pun diharapkan mampu merasakan kepekaan terhadap apa yang nyaman dan tidak nyaman dilakukan antar satu dengan lainnya.

Sulhan Yusuf, pasangan saya, hingga hari ini telah jauh melampaui saya khususnya di dunia perliterasian. Jelas saja, ialah pembuka jalan bagiku bisa tetap menekuni jalan kepenulisan. Ia yang mendorong saya untuk menuangkan semua pengetahuan kepengasuhan saya yang masih minim pada awal kami menikah dalam bentuk tulisan. Yang akhirnya berhasil dimuat di harian lokal kala itu. Ia pula yang rajin memantau dan memotivasi saya hingga mau terus menulis saat semangat sedang turun. Dan, bahkan pada siapa pun yang ia temui, ia akan dengan senang hati bercerita dan membukakan jalan bagi orang tersebut mau bergerak untuk menulis. Sesederhana apa pun jenis karyanya. Ia motivator sekaligus inspirator bagi beberapa kalangan. Semangat orasinya saat masih aktif di kemahasiswaan, tak sadar ia ‘lampiaskan’ dalam obrolan dengan siapa saja yang bersemuka dengannya. Sering saya berseloroh, “Berilah kesempatan orang-orang yang bertandang ke rumah untuk turut mengambil peran dalam perbincangan.” Biasanya ia akan menjawab, “Biar sajalah. Mereka datang kan memang mau dengar saya bicara.” Disambung tawa lebarnya. Waduh, pe-de nya sudah tingkat dewa.

Ibarat petani yang rajin menabur dan merawat bibit yang disebar, maka wajar saja dalam perjalanan perliterasiannya, ia sudah menuai hasil. Kumpulan tulisan yang ia tabung hari demi hari akhirnya menjelma jadi buku-buku yang menjadi penanda kesetiaan dan konsistensinya bergerak di jalur literasi. Buku “Gemuruh Literasi” ini adalah buku kelimanya. Bahkan tulisan-tulisan saya yang berhasil dihimpun jadi dua buku pun semua lahir dari ide dan prakarsanya.

Geliat kami di jalan kepenulisan dan perbukuan pada akhirnya sangat mewarnai kualitas dan cara kami bercakap-cakap. Baik antar kami berdua, ataupun kami dengan anak-anak. Terkadang terdengar sangat baku, sesekali ada yang melontarkan sebuah istilah yang tidak umum didengar ataupun ditemukan dalam perbendaharaan sehari-hari. Yang lain kemudian diminta untuk menebak artinya. Hal seru jika satu sama lain saling mengoreksi penggunaan kata atau frasa yang kurang tepat dalam sebuah percakapan. Ujung-ujungnya semua akan tertawa ramai-ramai.

Satu keunikan yang menjadi ciri khas dalam setiap tulisannya, ia kerap melakukan kritik sosial dengan cara mengolok-olok dirinya sendiri. Sebagaimana salah satu judul esainya yang termuat dalam buku Gemuruh Literasi, berjudul “Ini Sulhan Yusuf, Bukan Syekh Yusuf”. Ia yang sangat terobsesi dengan tokoh ulama, Syekh Yusuf yang memiliki karamah mampu menggandakan diri, berada di dua tempat pada waktu bersamaan. Keinginannya ini ia utarakan sebagai sebentuk hasrat besarnya melakukan dan menghadiri dua kegiatan di dua kota berbeda pada waktu yang bersamaan. Syekh Yusuf dalam riwayat dan legenda Makassar-Bugis adalah seorang tokoh ulama penentang kolonial Belanda yang kuburannya konon bisa ditemukan di tiga tempat. Di Afrika Selatan, Pulau Jawa, dan di Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan).

Sulhan Yusuf telah berhasil menunjukkan konsistensi dan persistensinya bergelut di jalan literasi. Buku ini salah satu penandanya. Selama 13 tahun ia telah berjibaku dengan segala keruwetan aturan dan ragam karakter orang-orang, berjalan dan menjalin kerja sama dengan berbagai latar status dan sosial, hingga mampu menerabas dinding-dinding birokrasi di Butta Toa, Bantaeng. Walaupun belum sepenuhnya berjalan sebagaimana yang diinginkannya. Maka tindakan terbijak, yakni memberi ruang pada segala hal yang belum bersesuaian dengan harapan dan keinginan. Sambil tak henti bergerak melakukan pendampingan pada mereka yang membutuhkan.

Tetaplah menjadi Sulhan Yusuf, bukan Syekh Yusuf.

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221