Sepak Bola, Politik, dan Kolonialisme

Konon dunia olah raga mesti dipisahkan dari politik, termasuk sepak bola, permainan kolektif paling banyak digandrungi di muka bumi saat ini. Pernyataan ini nampak aneh untuk tidak mengatakannya naif. Kiwari, sepak bola modern bukan lagi sekadar olah raga, tapi sudah menjadi industri, budaya, dan bahkan identitas, yang karena itu ketiga dimensi ini bertalian pula dengan politik. Asumsinya  sederhana, sepak bola sebagai sebuah organisasi tidak mungkin tanpa konteks politik, orientasi yang dijabarkan melalui struktur kekuasaan, visi misi, dan aturan institusi yang menopangnya sebagai sebuah olah raga.

Anda jika belum mengyakini kenyataan di atas saya sarankan menonton FIFA Uncovered, film dokumenter yang menguliti jaringan kepentingan, bisnis, dan korupsi di tubuh organisasi yang memayungi sepak bola dunia saat ini. Film dengan empat episode ini cukup gamblang menunjukan bagaimana lapangan sepak bola tidak sampai berjarak sejengkal dengan keputusan politis elite sepak bola di atas meja. Bahkan sudah bukan rahasia, sepanjang sejarah berdirinya, federasi sepakbola sekelas FIFA lekat dengan upaya bangsa-bangsa kolonial untuk mempertahankan kekuatan dunia lama melalui politik kulit bundar.

Relasi sepak bola dan politik sudah sejak awal berkelindan bersamaan dengan praktik politik aneksasi. Beberapa pihak berkeyakinan sejarah awal permainan ini berkaitan dengan cerita masyur sepasukan perang Julius Caesar yang mengimpornya masuk ke tanah Inggris bersamaan dengan kepentingan perang saat itu. Versi paling dramatis dari kisah ini mengatakan bahwa bola perdana saat itu menggunakan kepala pasukan Romawi yang terbunuh dalam pertempuran.

Sudah sejak awal konsep olahraga, termasuk sepak bola, berhubungan dengan kedisiplinan di medan perang, meski dalam praktiknya sepak bola secara teknik tidak fungsional seperti tinju atau lempar lembing, misalnya, yang dapat dimanfaatkan di dalam perang. Dibandingkan dengan olah raga lempar lembing atau tinju, sepak bola kalah pamor ketika di masa lalu ketangkasan seseorang prajurit lebih sering ditunjukkan dengan cara ketika ia mampu mengalahkan musuh dalam ajang duel. Meski demikian, pertalian sepak bola dan politik, tidak saja dapat dilihat dari aspek-aspek langsung dari tujuan permainannya itu sendiri, yang selain dapat membangun kedisiplinan, juga mampu melahirkan jiwa korsa bagi pihak-pihak yang terkait dengannya. Dalam konteks ini lah nasionalisme dapat dimengerti sebagai identitas bersama ketika itu diperlukan untuk menunjukkan kesetiaan terhadap suatu negara.

Relasi sepak bola dan politik tidak selamanya akur seperti, misalnya, yang terjadi sebelum abad 19, ketika di Inggris permainan ini dianggap dapat menjadi biang keonaran di jalan-jalan, atau di taman-taman. Sebelum kerajaan memberlakukan aturan penjara bagi yang memainkanya, cap sebagai kriminil akan disematkan dengan kewajiban membayar denda bagi warga yang memainkannya. Tentu ini masih terkait dengan pandangan bahwa olah raga ini tidak berhubungan sama sekali dengan keperluan kerajaan untuk melahirkan prajurit perang yang tangkas dalam berduel.

Melalui cara pandang politik, sepak bola bukan olah raga yang dapat memberikan keuntungan bagi kekuasaan kerajaan, karena tidak seperti memanah, misalnya, yang kegunaan teknik dan fisiknya dapat dialihkan ke dalam perang perebutan wilayah. Dengan narasi yang seperti itu, tidak aneh bahkan dalam drama King Lear karya Shakespeare 1606, memainkan sepak bola akan dianggap sebagai pelecehan dan penghinaan kepada kaum bangsawan.  Mengapa dianggap sebagai penghinaan, itu dikarenakan dilihat dari konteks relasinya, warga yang bermain sepak bola sedang menunjukkan rasa tidak setianya kepada elite bangsawan yang menjadi pemerintahan setempat.

Meski demikian, saat raja-raja di Inggris berusaha menghapus sepak bola dari wilayahnya, permainan ini dapat tetap hidup di sekolah-sekolah dan universitas. Permainan ini bahkan lebih awal diformulasikan ke dalam aturan-uturan pertama kali oleh pelajar-pelajar sekolah dan mahasiswa-mahasiswa di universitas. Hingga 1863, menurut catatan sejarawan sepak bola Luciano Wernickle, itu lah fondasi awal ketika sepak bola dimainkan dengan sejumlah kesepakatan mengenai ukuran lapangan, jumlah pemain, atau perlunya gawang yang dulu bisa berupa  batu, pohon, atau pintu gerbang sekolah mereka. 

Dalam sejarah Indonesia hubungan sepakbola dan politik setidak-tidaknya ditandai dari dua momen bersejarah. Yang pertama adalah saat Soekarno tidak  mengundang Israel dan Taiwan dalam penyelenggaran Asian Games 1962 sebagai reaksi terhadap Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang tidak mengikutsertakan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Vietnam Utara dalam Olimpiade. Mendapatkan sanksi keanggotaan dari komite  olimpiade, Soekarno kemudian menyelenggarakan olimpiade tandingan bernama Ganefo (Games of the Emerging Forces) yang diikuti 51 negara dari benua Asia, Afrika, Amerika Latin, bahkan Eropa.

Kedua, ada hubungannya dengan sejarah PSSI yang membuat sepakbola menjadi ajang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di masa penjajahan. Ada masa ketika pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan “pesta kolonial” selama berhari-hari untuk memamerkan kemajuan teknologi, kebudayaan, dan ekonomi negeri penjajah kepada wilayah jajahan. Dalam penyelenggaraan itu dimeriahkan pula dengan pertandingan sepak bola yang sudah mulai marak dimainkan oleh kalangan pemerintah hindia belanda (mungkin inilah cikal bakal gelaran pameran atau pasar malam seperti yang sering dilakukan birokrasi-birokrasi selama ini, yang dahulu merupakan kegiatan pemerintah Hindia Belanda  dalam rangka menunjukkan keunggulannya atas warga pribumi).

Saat itu, pemerintah Hindia Belanda tidak membiarkan sepak bola dimainkan bebas oleh bumiputera karena dapat menginisiasi sentimen kolektif dan dapat membangkitkan perlawanan rakyat atas Belanda. Ini nampak kontradiktif dengan kebiasaan praktik kolonialisme di tanah jajahan yang sering mengimpor kebiasaan mereka, seperti memanfaatkan sebidang tanah di belakang rumah untuk bermain olah raga seperti misalnya sepak bola, atau kriket, seperti yang dilakukan Inggris di India.

Seperti diketahui, praktik kolonialisme seperti di Hindia Belanda tidak saja menggunakan saluran pendidikan dan pemerintahan untuk mengontrol perlawanan rakyat di tanah jajahannya, tapi juga menggunakan olah raga seperti sepak bola demi melanggengkan supremasinya. Dalam hal ini untuk menegakkan supremasi kulit putih, bahkan dalam soal kekuatan fisik dan mentalitas, sepak bola menjadi sarana efisien dan efektif untuk menanamkan nilai-nilai bangsa kulit putih yang lebih elitis, beradab, dan berpendidikan dibandingkan dengan masyarakat jajahan.

Seolah membenarkan justifikasi teori kekuasaan terkait relasinya dengan wacana, kekuatan kolonialisme kerap menggunakan sarana wacana olahraga untuk menegakkan kontrol atas wilayah kekuasaannya. Gambaran mengenai ini sampai sekarang tercermin pula dalam dunia sepak bola yang mengetengahkan supremasi bangsa-bangsa kolonial, dibanding negara dunia ketiga, sebagai raja-raja sepak bola. 

Belakangan sepak bola dan politik menjadi perbincangan hangat terkait pro kontra kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara Piala Dunia U-20 tahun 2023. Dikarenakan Israel ikut serta di dalamnya membuat sebagian pihak menunjukkan sikap tegas agar negeri zionis itu lebih afdol tidak menginjakkan kakinya di bumi pertiwi. Melalui konstitusi, Indonesia sudah menyatakan dari awal dalam pembukaan UUD 1945, sebagai suatu bangsa, Indonesia  merupakan bangsa anti penjajah dikarenakan penjajahan dengan alasan apapun tidak akan dapat dibenarkan. Penjajahan dengan vulgar memeragakan tindak tanduk perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Karena itu, Indonesia juga menyatakan setiap bangsa berhak merdeka untuk menentukan sendiri nasibnya. Tidak ada di masa kini bangsa yang menganggap dirinya lebih superior dari bangsa lainnya.

Bagi sebagian orang kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 merupakan kiamat, dan bagi sebagian yang lain, justru itu tidak ada hubungannya dengan cita-cita ketika sepak bola tidak dimainkan berdasarkan agenda yang sportif. Jamak diketahui, jangankan sepak bola, olah raga pada umumnaya tidak akan menjadi permainan yang menyenangkan semua pihak kalau dilakukan tanpa nilai-nilai sportivitas, yakni idealisme dalam dunia olah raga untuk menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, keterbukaan, dan pengakuan kepada lawan main. Tanpa nilai-nilai ini olah raga apa pun yang dimainkan manusia hanya sama artinya seperti sabung ayam. Tanpa kehormatan dan kebanggaan.

Jadi dari perspektif ini saja, implisit di dalamnya olah raga, terkhusus sepak bola, merupakan pernyataan politik, tetapi dengan pendekatan permainan yang dilakukan ke dalam kerangka kerja sama tim demi meraih kemenangan. Apabila pengertian manusia sebagai zoon politicon seperti pandangan Aristoteles diandaikan dalam dunia olah raga, pemain-pemain sepak bola dalam hal ini juga merupakan subjek politik yang sedang menyatakan semacam gagasan melalui cara mereka bermain dan bertindak di dalam lapangan. Dengan kata lain, konteks ini tidak dapat serta merta dilepaskan dari benih-benih politik yang selama ini terejewantah ke dalam wacana negara, pemerintah, atau kekuasaan itu sendiri. Dengan kata lain, pengandaian dimensi akal budi ke dalam permainan “olah otak” seperti dalam politik, tidak jauh berbeda secara substansial dari dunia olah raga.

Itu sebabnya, bukan hal aneh apabila dimensi politik dalam dunia olah raga juga ditemukan dalam nilai yang sama melalui nilai sportivitas, yang bermakna setiap olah raga mesti mengedepankan nilai kesetaraan, keadilan, dan keterbukaan untuk dapat dimainkan dengan kemartabatan sebagai bagian dari peradaban manusia. Dengan demikian, olah raga termasuk sepak bola di dalamnya, tidak akan dapat diterima sebagai suatu ajang permainan jika sebelumnya tidak menyepakati klausul yang inheren di dalamnya yaitu dimensi politis dari nilai sportivitas.

Menurut saya melalui konteks inilah, mengapa penolakan Indonesia terhadap Israel yang terjadi dalam sepak bola bisa dipahami. Israel, jangankan sepak bola yang merupakan derivasi dari identitas politiknya, keberadaannya sebagai suatu bangsa juga tidak dapat diakui dikarenakan masih menjalankan praktik agresi kepada Palestina. Dari sini dapat dimengerti, melalui sepak bola Indonesia sedang memperlihatkan politik pengakuannya untuk tidak sama sekali menunjukkan penerimaan kepada entitas penjajah sekalipun itu adalah Israel.  Menurut saya, ini jauh lebih penting dikarenakan kolonialisme tidak saja dikemukakan melalui agresi kekerasan, tapi juga melalui kebudayaan tidak terkecuali di dalamnya adalah olah raga.

  • Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati…

  • Saya lagi mendaras bukunya Taufik Pram, yang bertajuk  , Hugo Chaves Malaikat Dari Selatan. Lalu saya begitu terpesona pada Chaves, yang  menurut  buku ini, “Hugo Chaves adalah pemimpin yang suka membaca. Dari barisan kata-kata yang berderet rapi di dalam sebuah buku itulah dia tahu ada yang salah dengan dunia yang didiaminya. Kesalahan yang dibiarkan langgeng…

  • Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya…

  • Pada penghujung putaran kompetisi sepak bola di daratan Eropa, bulan Maret 2016 ini, salah satu klub sepak bola ternama, Arsenal yang bermarkas di London Utara, Inggris, negeri leluhur asal muasal sepak bola modern mengalami nasib yang kurang beruntung. Arsenal, yang dimanejeri oleh Arsene Wenger -yang digelari Profesor- pelatih berkebangsaan Perancis, sesarinya adalah satu-satunya klub yang…

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221