Cerita-Cerita tentang Perbedaan Lebaran

Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.”

Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja, sang nyonya merupakan aktivis perempuan Ortom Muhammadiyah sebelum menjadi komisioner. Sedang sang kepala desa, corak keberagamaanya lebih merujuk pada Nahdatul Ulama (NU). Apatah lagi, dugaan saya, ia mengikut pada putusan pemerintah sebab ia bagian dari aparatus pemerintah, meskipun tidak harus demikian.

Usai salat Zuhur, saya mencarinya, ingin bercakap-cakap lebih dalam tentang sikap berbeda lebaran dalam satu keluarga. Namun, ia menghilang entah kemana dan sedang menyongsong urusan apa. Pastinya, saya sudah dapat gambaran bahwa tiada masalah bagi mereka untuk berbeda dalam melaksanakan lebaran Idulfitri, karena mereka telah melebarkan lapik fitrinya.

***

Esok harinya: Jumat. Lebaran Idulfitri berlangsung di salah satu masjid pusat Kota Bantaeng. Pelaksanaan salat Idulfitri dipusatkan di Masjid Raya Bantaeng buat warga Muhammadiyah dan yang mengikutinya. Pasalnya, tidak harus menjadi warga Muhammadiyah untuk ikut berlebaran di hari Jumat. Siapa pun asalkan seorang muslim dan setuju dengan penetapan Muhammadiyah, boleh berlebaran di hari Jumat tahun 2023 ini.

Saya pun meninggalkan mukim, menuju kantor, tempat mengasah pendapat buat mengasuh pendapatan, guna menyelesaikan satu naskah suntingan proposal kompetisi inovasi KIPP tingkat nasional, sekaligus mengunggah satu esai buat Kalaliterasi.com, buah pikir seorang kawan, terkait Idulfitri, berjudul, “Meniada di Hari Fitri”.

Kala saya berkhusyuk ria mengerjakan urusan kata-kata tersebut, muncul seorang kawan. Ia seorang direktur perkumpulan pemberdayaan masyarakat bentukan kami. Dia mampir ke kantor kami, sebab ia milihat motor saya parkir di depan kantor. Entah mengapa, antara bakal pertanyaan saya dan jawabannya sama. Terkait dengan dari mana dan jawabannya, “Mengantar istri salat Idulfitri di Masjid Raya Bantaeng.”. Kawan saya ini, seorang penghayat keagamaan ala NU, sementara istrinya, aktivis perempuan di Muhammadiyah. Selang berlaksa detik, ia pamit buat menjemput sang istri, karena sudah tunai salat Idulfitrinya.

***

Ketika kawan kerja saya menanti panggilan jemput sang istri, saya lalu bercerita penuh kelakar, bahwa di keluarga besar pasangan saya, kami pernah empat kali gelombang salat Idulfitri. Saya sudah lupa tahun persisnya, tapi peristiwanya akan selalu saya kenang, tatkala terjadi perbedaan pelaksanaan lebaran Idulfitri.

Di keluarga pasangan saya, punya tujuh saudara, dengan orientasi keberagamaan beragam. Pun, bapak dan ibu mertua saya. Sekali waktu, kami berkumpul di Makassar, untuk berlebaran yang saya sudah lupa tahun persisnya. seorang lago saya lebih awal melaksanakan salat Idulfitri, sebab merujuk pada fatwa kelompok muslim An-Nazir yang berpusat di seputar Danau Mawang, Kabupaten Gowa. Walaupun saat ia pergi ke lokasi salat, seperti mobil Panther, suaranya nyaris tak terdengar.

Sepulang dari salat, ia tersenyum penuh kegembiraan, penanda seseorang telah meraih kemenangan, setelah melalu pertempuran di bulan Ramadan. Ia menjabat tangan saya, sembari mengajak mojok, ingin mengatakan sesuatu, agak rahasia, “Saya sudama salat Idulfitri. Ikutka An-Nazir di Mawang. Banyak kuliat temanta di sana Kak. He..he..he”. Ia menggoda saya, seolah bertanya kenapa tak ikut. Memang di Jemaah An-Nazir, banyak kawan saya. Bahkan Imamnya, almarhum Ust. Lukman Bakti, merupakan junior saya di HMI MPO. Imamnya An-Nazir sekarang, Ust. Syamiruddin Pademmui, pun rekan seperjuangan saya di HMI MPO asal Cabang Palopo.

***

Hari berikutnya, masih bertengkar antara subuh dan pagi. Adik ipar saya yang kuliah di Universitas Brawijaya Malang, mendapat telepon dari temannya di Malang, menguritakan bahwa salah satu kampus Unismuh, akan melaksanakan salat Idulfitri. Mendengar urita sang kawan, tindakan pertamanya, membatalkan puasa, waima salat Idulfitrinya ikut ramai esoknya, seperti warga Muhammadiyah pada umumnya.

Seingat saya, urita sang kawan dari adik ipar saya, sejalan dengan waktu yang ditetapkan oleh Jemaah Tarekat Naqasandiyah berpusat di Sumatera. Adapun mayoritas rujukan salat Idulfitri di keluarga pasangan saya, khususnya di tahun yang saya sudah lupa persisnya itu, lebih banyak merujuk ke fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Termasuk mertua saya.

Cerita belum selesai. Ternyata, ada satu lagi lago, masih setia menanti penetapan pemerintah, yang penetapan waktu lebarannya sehari setelah keputusan Muhammadiyah. Nah, bayangkanlah kisanak-nyisanak, betapa dinamisnya cara beragama kami di keluarga pasangan saya. Cukup beragam, tapi seragam dalam menu lebaran: Burasa, ketupat, coto, opor, dan teman-temannya. Plus aneka kue kering dalam satu nama: kue lebaran.

***

Tahun 2023, kembali terjadi perbedaan lebaran. Muhammadiyah menetapkan 21 April 2023, Jumat, sebagai hari lebaran. Sementara pemerintah lewat Sidang Isbat dan NU, mengukuhkan 22 April 2023, Sabtu, sebagai 1 Syawal 1444 H. Reaksi umat pun beragam, mulai dari kajian ilmiah hingga meme lucu penghibur hati bermunculan. Namun, yang ajaib, dan kepastiannya tak terbantahkan, semua umat Islam Indonesia tetap sepakat, 21 April 2023, sebagai Hari Kartini, serupa hari raya buat kaum perempuan Indonesia. 

Mengapa Hari Kartini perlu diajukan sebagai interupsi di atas perbedaan? Agar semuanya menjadi tercerahkan. Pasalnya, kelompok paling menentukan suksesnya lebaran adalah kaum perempuan. Mau jatuh di hari Jumat atau Sabtu, kaum perempuan penentunya. Maka di hari lebaran yang berbeda, kaum perempuan, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya.

Nah, bagi saya yang sudah pernah mengalami perbedaan empat gelombang pelaksanaan lebaran salat Idulfitri, jikalau hanya menghadapi perbedaan dua gelombang, terasa biasa saja. Lalu apa sikap paling mutakhir saya? Menjadi Nu-hammadiyah. Maksudnya, saya orang NU, tapi seiman dengan kaum perserikatan Muhammadiyah. Harapan saya selalu mengemuka, manakala terjadi perbedaan lebaran, puasa terakhir saya diundang oleh saudara seiman Muhammadiyah untuk berbuka di mukimnya, sebab burasa dan kawan-kawannya sudah siap disantap. Dan, usai bersantap, saya akan menabalkan kata, agar besok ke mukim saya, untuk bersantap burasa dan teman pengiringnya. Boleh berbeda hari lebaran, tapi burasa dan ketupat kita masih sama bentuknya.***

Kredit gambar: sangpencerah.id

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221