Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak memakan korban tak berperi, termasuk diriku.
Bayang-bayang rindu menggelayut di ubun-ubunku, memancar dari sari dirimu, yang bersembunyi rapat di balik lapis-lapis cadarmu. Seakan kurasa pada setiap denyut nadi, pada setiap degup jantungku, terpompakan dari tebal lapis-lapis cadarmu, mengalirkan desir rindu penuh khawatir, apakah mungkin engkau bermurah hati menampakkan wajah dan diri aslimu, yang dalam lingkup waktu abadi tersembunyi rapih di balik cadarmu.
Terbayang di benak batinku, kesempurnaan lentik bulu matamu. Pancaran lembut nan indah bola matamu. Kerlingannya laksana penyamun tak berperi, sekilas lirik, mencuri segenap kesadaran yang memandangmu. Engkau menisbikan kesadaran yang menatapmu, walau hanya sekilas kerlingan jua. Pada saat yang sama, engkau menyergap dan meliputi segenap kesadaran yang ada, sehingga tampak engkau semakin mengukuhkan kehadiran dirimu.
Kesempurnaanmu nan indah, walau terhijab rapih di balik lapis cadarmu, telah menghabiskan segenap perhatihan dan dan kesadaran, tertuju hanya semata pada dirimu. Seakan engkau magnet cinta yang begitu dahsyat, tak menyisakan sedikitpun butir debu besi rindu untuk kau tarik menyatu pada dirimu. Di balik cadarmu, kau adalah api cinta yang menyeret laron-laron rindu, tak sadarkan diri dibakar habis oleh api cintamu. Di balik cadarmu, kau adalah api cinta yang membakar lilin rindu, hingga mencair tak tersisa. Setelah semua itu terjadi sempurna, kau tetap utuh tak tersentuh di balik cadarmu. Kau tetap utuh mengobarkan api cintamu yang senantiasa memancar membakar dan membakar dari balik cadarmu.
Aroma kesempurnaan keindahanmu, merebak dari balik cadarmu. Menggoyahkan akal dan hati yang menghirupnya. Membuat mabuk kepayang, mengusir akal dari panggung pelaminan cinta. Seandainya segenap bunga terindah di dunia ini dikumpulkan lalu disandingkan dengan dirimu, maka bunga-bunga itu layu seketika karena malu menyadari dirinya tak mampu menggapai walau sezarrah pun keindahanmu. Itupun yang tercerap bukan diri aslimu, baru hanya aroma keindahanmu yang merebak dari balik cadarmu.
Betapa penasaran dan rindu menerjang jantungku, namun tirai cadarmu tak juga tersibak sedikit pun. Kau ciptakan rindu bak samudera tak bertepi. Kau hadirkan keingintahuan lumpuh tanpa guna. Senyummu memesona di lubuk sanubariku, namun itu semampu aku menerka pesonanya. Aku tahu persis, begitu dahsyat pesona senyummu, jika tersibak di hadapanku, walau sekejap, maka seketika aku hangus dibakar habis oleh daya magis kesempurnaan senyummu. Betapa julur cadarmu menyelamatkanku sekaligus amat menyiksaku. Penasaran dan rindu tak berperi, tak bertepi. Aku rela sirna demi jumpa dan menyatu denganmu, namun julur cadarmu memaksa diriku selalu mengada terpisah dari dirimu.
Bagaikan pungguk merindukan bulan, kusadari, kau tak butuh cinta dan pengakuan dariku. Kesempurnaan keindahan yang menyatu pada lengkung alismu, pada lentik bulu matamu, pada binar bola matamu, pada rekah bibirmu, serta pada segenap apa yang ada pada dirimu, membuat segenap kekurangan dan kecacatan yang membaluri diriku begitu tampak sehingga aku tanpa arti sama sekali bagi dirimu. Namun, semua itu tak membuatku goyah, biarlah api gairah cintaku padamu membakarku, walau tanpa balas sedikit pun darimu.
Kusadari cinta sejati itu buta, tuli, bisu dan lumpuh. Biarlah kutatap indah tubuhmu tanpa mata. Kudengar bisik syahdumu tanpa telinga. Kucakap dirimu tanpa lisan. Kukejar bayangmu tanpa kaki. Walau kutahu harap cinta dan kasihku tanpa balas darimu, namun syukur sempurna kuhaturkan karena sempat merindu cinta padamu walaupun itu hanya tepuk sebelah tangan yang abadi. Berkesempatan memandang cadarmu, bagiku itu sudah anugerah besar dan kesempurnaan agung, walau menyiksa abadi batinku. Engkau tetap tak tergoyahkan tersembunyi rapi di balik cadarmu.
***
Tuhan, kata orang bijak, aku berasal dari-Mu. Ada tiupan Ruh-Mu lekat padaku. Mungkin karena ini jua semakin aku mejauh dari-Mu, kejauhan itu menyeretku pada-Mu. Mungkin karena ini jua semakin aku mencintai dan merindukan selain-Mu, kecintaan dan kerinduan itu semakin meringkusku kepada-Mu. Teka-teki Ketunggalan-Mu tak mengizinkan sesuatu apa pun, termasuk aku, lari dari Diri-Mu. Tiupan Ruh-Mu memaksaku menyatu dengan-Mu, namun keberadaanku memaksaku berpisah dengan-Mu. Betapa gumpalan lapis cadar hijab membentangiku dan merintangiku dari-Mu. Engkau tetaplah Engkau. Aku tetaplah aku. Abadi dalam pisah.
Tiupan Ruh-Mu abadi padaku senantiasa mengusik buncah cinta dan rindu pada-Mu. Karena rindu adalah nyanyian keterpisahan untuk kembali menyatu pada inangnya, maka aku terikut rindu Ruh-Mu untuk kembali kepada-Mu. Namun cadar hijab segala selain-Mu membentang dan merintangiku dari-Mu, sehingga rasa cinta itu menjadi gumpalan mesiu rindu terkurung dalam bunker keterpisahan dengan-Mu.
Tuhan, berkat bisikan-Mu pada kekasih-Mu kutahu diriku adalah berhalaku. Bahkan berhala terdahsyat yang menyesatkanku dari Jalan-Mu. Telah kucoba menerabas segala jalan rintang menuju-Mu. Mengarungi lautan dan daratan keberadaan selain-Mu, perjalanan ini tak berujung. Aku tersesat dalam kejamakan. Terlempar jauh dari Ketunggalan-Mu. Berpangkal dari keberadaanku, maka membentang kejamakan daratan dan lautan, juga kejauhan angkasa keberadaan. Betapa semua itu menjelma jadi gumpalan awan hitam lapis-lapis cadar hijab yang memisahkanku dengan-Mu. Ya, sang aku pada diriku adalah berhala akbar yang menghadirkan segenap cadar hijab yang menyesatkanku dari Jalan-Mu. Aku tertumbuk buntu, tersesat dalam gumul lapis-lapis cadar hijab tak berbilang. Aku terjerat dalam kesesatan abadi.
Dalam kesesatan abadi ini, tampaknya bagi-Mu si dungu dan si cerdas sama saja. Kedunguan si dungu tak mungkin menjangkau-Mu. Juga, kecerdasan nalar si cerdas takkan pernah menghampiri-Mu. Dungu dan cerdas sama lumpuhnya tak dapat menyampaikan diri pada-Mu. Dungu dan cerdas sama-sama gumpalan cadar hijab pemisah. Engkau tak dijangkau oleh selain-Mu. Engkau hanya semata bertemu dengan Diri-Mu.
Seandainya aku umat Musa, maka kudatangi washi-nya menyerahkan diri untuk dituntun menuju Yang Mahaperkasa. Seandainya aku umat Isa putra Maryam, maka kudatangi washi-nya untuk menggandeng tanganku bertemu dengan Sang Mahakasih. Karena aku umat al-Mushtafa, maka kumunajat pada washi-nya untuk membimbingku kepada Yang Maharahman dan Maharahim Allah Swt., karena ujarnya benar adanya: bina urifallah, bina ubidallah.
Penulis lepas, penyuka tasawuf, filsafat dan sastra, menetap di Makassar.