Demokrasi Paling Agung itu Menyejahterakan Rakyat

Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”.

Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah dan sarat makna, juga mengandung keberpihakan. Karena itu saya selalu mengingatnya. Hingga kini, ketika di kelas dan berdiskusi dengan mahasiswa, saya seringkali mengutipnya.

Beberapa hari yang lalu misalnya, di kelas “Sistem Politik Indonesia” saat sedang membahas dinamika demokrasi, beberapa mahasiswa dengan kritis dan setengah pesimis memproblematisir demokrasi yang baginya tidak kunjung matang, malah kian elitis dan hanya memberi karpet merah kepada kaum kaya dan berkuasa. Argumen itu menarik bagi saya, meskipun tidak baru tapi rasanya sangat aktual dan faktual. Karena itu saya tidak membantahnya, bahkan dengan agak masygul saya menyetujuinya, kenyataannya memang demikian.

Data dari sejumlah lembaga kredibel seperti Freedom House, The Economist Intelligence Unit (EIU), dan para peneliti demokrasi seperti Vedi Hadis, Edwar Aspinal, Jeffry Winters, dan beberapa lainnya secara telanjang mengungkapkan bahwa demokrasi indonesia sedang mengalami regresi atau kemunduran. Bila di dua dekade sebelumnya hanya mengalami stagnasi maka di dekade ketiga pasca reformasi justru mengalami kemunduran. Akibatnya menurut riset EIU indeks demokrasi Indonesia saat ini berstatus demokrasi cacat (flawed democracy).

Kemunduran itu datang dari dua arah; atas dan bawah. Dari atas berupa represi negara misalnya kriminalisasi, rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal, dll. Sementara yang datang dari bawah berupa polarisasi sipil, intoleransi, persekusi terhadap minoritas, doxing, peretasan, hoax, ujaran kebencian, dll. Di sini kita mesti adil melihat bahwa kemunduran tersebut tidak hanya disebabkan oleh pemerintah, tetapi juga dipengaruhi oleh warga sipil itu sendiri.

***

Anggapan bahwa demokrasi semata soal pemilu saja juga berkontribusi memundurkan demokrasi. Karenanya anggapan ini perlu ditinjau kembali. Sebab soal demokrasi bukanlah soal pemilu semata. Demokrasi tidak cukup diukur hanya dari sirkulasi dan distribusi kekuasaan melalui pemilu, namun seberapa mampu pemimpin yang terpilih melalui pemilu tersebut dapat menghasilkan kesejahteraan. Kalau demokrasi diukur hanya dari pemilu, maka Jerman pada masa Hitler itu sangat lah demokratis, sebab Hitler terpilih melalui pemilihan umum. Di sinilah ungkapan Profesor Cecep Darmawan menemukan relevansinya.

Untuk itu mari melihat beberapa variabel penting. Variabel pertama adalah tentang pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan, penelitian Adam Przeworski, Michael E. Alvarez, Jose Antonio Cheibub, dan Fernando Limongi menunjukkan bahwa ada korelasi antara pendapatan per kapita dan lamanya demokrasi bertahan. Demokrasi akan bertahan lebih lama (setidaknya 100 tahun) jika pendapatan per kapita berada pada kisaran 4000 hingga 6000 dolar per tahun. Variabel ini semakin penting mengingat saat ini Indonesia didapuk sebagai negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi keempat di dunia. Laporan tahunan “Global Wealth Report” dari Credit Suisse menyebutkan ketidakmerataan ekonomi Indonesia mencapai 49,3 persen. Itu artinya hampir setengah aset negara dikuasai satu persen kelompok terkaya nasional.

Variabel kedua adalah masalah pemerataan pembangunan. Karena pertumbuhan yang tidak disertai dengan pemerataan akan menghasilkan “kesenjangan”. Di sinilah diperlukan upaya serius untuk mengurangi kesenjangan, terutama kesenjangan antar wilayah. Bila tidak, benih disintegrasi yang didahului kekerasan dan diskriminasi akan terjadi. Variabel ketiga adalah pembentukan masyarakat ekonomi yang terlembaga (economic society), artinya perlu dibentuk institusi dan regulasi yang dapat memfasilitasi hubungan antara negara, masyarakat dan pasar secara adil dan bebas. Disini negara harus berupaya untuk menghambat monopoli dan akumulasi sumber daya ekonomi yang tidak adil, serta mendorong iklim ekonomi yang menyejahterakan secara merata.

Variabel keempat adalah pembentukan masyarakat sipil yang partisipatif, cerdas dan otonom. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi sukarela masyarakat dalam mengorganisasi diri, misalnya mengawasi, memberikan masukan, dan mengkritik jalannya pemerintahan. Namun partisipasi tersebut mesti partisipasi yang bermakna dan berdampak, karena itu masyarakat sipil mesti terdidik (cerdas) dan otonom (bebas). Pada bagian ini akses dan kualitas pendidikan akan sangat menentukan.

Variabel terakhir ialah reformasi partai politik, berupa transformasi budaya parpol, dari budaya “figur-sentris” ke budaya “platform ideologi-sentris”. Kita tidak bisa pungkiri bahwa pengidentifikasian publik terhadap partai saat ini adalah pengidentifikasian ke elitnya, bukan pengidentifikasian ke platform atau bentuk usulan kebijakan. Selain itu parpol harus bisa meretas wabah korupsi yang menjangkiti para elitenya, kenapa demikian? karena ini akan berpengaruh terhadap persepsi publik pada prestasi parpol, semakin banyak elite parpol yang terkena kasus korupsi, maka semakin lemah pula identifikasi masyarakat pada partai politik. Partai politik juga perlu ditransformasi agar lebih akuntabel dan transparan dalam penggunaan anggaran.

Pada kelima variabel itulah kita perlu mengarahkan perhatian dan perbaikan. Dengan begitu pesimisme pada demokrasi dapat dipulihkan kembali. Pada akhirnya sesuai dengan judul artikel ini, demokrasi mensyaratkan kesejahteraan, sebab pada masyarakat yang tidak sejahtera, demokrasi akan mudah dibajak, politik transaksional akan semakin marak. Demikian juga pada masyarakat yang tidak terdidik, politik kebencian juga tidak akan bisa dihilangkan.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221