Utopianisme Sulhan dalam Gemuruh Literasi

Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang digiatkan tanpa lelah oleh Sulhan, demi utopia yang selama ini terbenam dalam pikirannya: mewujudkan masyarakat literasi Bantaeng.

Sejujurnya, saya belum pernah mengenal sosok yang begitu bersemangat mewujudkan sebuah utopia selain Sulhan. Sebelum buku Gemuruh Literasi  lahir, sejak dulu Kak Sul—begitulah kami sebagai murid memanggilnya—berulang kali menyatakan hendak mewujudkan masyarakat literasi Bantaeng. Utopia ini tak pernah surut dalam imajinasi tuanya.

Hingga suatu ketika saya merenungi rencana itu: Apa mungkin masyarakat literasi Bantaeng dapat terwujud? Bisakah di desa-desa dan rumah warga memiliki perpustakaan? Bagaimana cara mengajak aparatur sipil negara dan anggota dewan yang terhormat agar rajin membaca buku? Apakah tidak begitu sulit membuat seluruh masyarakat Bantaeng memiliki tradisi baca, menulis, dan diskusi saat tradisi literasi di Indonesia semakin terpuruk? Aku merasa cita-cita Sulhan terlalu fiktif, khayali, dan nyaris mustahil.

 Itulah sebabnya utopia kerap dipandang sebagai lelucon oleh masyarakat modern yang selalu melihat realitas dalam kalkulasi matematis: pasti dan terukur. Aku sempat di fase ini. Saat mendengar Sulhan berceloteh mengenai masyarakat literasi Bantaeng, aku membayangkan Sulhan seperti Platon yang berdogeng tentang Atlantis, negara dengan tanah subur, memiliki emas melimpah, memiliki kekuatan militer yang hebat, dan panorama alam yang eksotis. Hanya indah dalam imajinasi.

Jelas, waktu itu saya keliru menginterpretasikan utopianisme Sulhan. Seharusnya saya, dan para penganut distopia lainya tidak boleh lupa,  jika perubahan kadang kala memerlukan reformasi visioner yang idealis, memerlukan cita-cita utopis. Indonesia sebagai sebuah bangsa bahkan lahir dari politik utopia para pemuda.  

Pada 28 Oktober 1928. Saat mental inlander terus dibentuk oleh Belanda, saat masyarakat semakin pasrah di tengah kekuatan militer kolonial yang nyaris tak terkalahkan, para pemuda membangun kolektivitas gerakan demi cita-cita bersama:  mewujudkan nation state bernama Indonesia. Mereka telah membentuk utopia kebangsaan yang disebut Benedict Anderson sebagai komunitas terbayang (imagined Communities).

Itu artinya, sebelum Indonesia merdeka, bangsa ini pertama kali diperjuangkan dalam bentuk politik utopia. Dengan kepercayaan jika di masa depan Indonesia dapat lepas dari penjajahan dan kehidupan masyarakat akan lebih baik dibanding hari ini. Sebagai utopia, term  “Bangsa Indonesia” adalah konstruksi imajiner yang terlalu idealis dalam sebuah negeri jajahan. Belanda tentu saja tak akan membiarkan berdirinya negara berdaulat yang masyarakatnya hidup kolektif dalam ikatan cita-cita bersama. Tapi pada akhirnya, tatanan masyarakat ideal tersebut berhasil terwujud: Indonesia merdeka, meski harus melalui pengorbanan yang tak ternilai.

Yang utopis belum tentu sebuah kemustahilan. Begitulah kira-kira insight yang kita dapatkan dalam perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. Utopia memang selalu menampilkan dirinya sebagai visi ideal yang terlalu sempurna untuk dunia yang daif. Di Yunani, kita mengenal utopia Platon mengenai negara Atlantis. Sir Thomas More, pencetus pertama istilah “utopia” pernah mencita-citakan negara kota dimana institusi dan kebijakannya diatur oleh akal. Marx dan pengikutnya memperjuangkan masyarakat tanpa kelas. Semua itu adalah proyeksi imajiner yang terlalu sulit diwujudkan oleh manusia. Tapi, tak ada kata mustahil selama utopia diperjuangkan bersama.

Seperti Bangsa Indonesia yang terlalu sulit diwujudkan saat ia masih menjadi kepentingan partikular kaum muda semata. Namun, saat komunitas terbayang itu mulai diterima oleh seluruh masyarakat sebagai tujuan politik bersama, Bangsa Indonesia akhirnya dapat diwujudkan. Saya pikir, utopianisme Sulhan yang hendak mewujudkan masyarakat literasi Bantaeng bukanlah idealisme yang mustahil. Sepanjang Sulhan mampu mengubah kepentingan partikularnya  menjadi kepentingan bersama masyarakat Bantaeng, saya pikir utopia tersebut dapat menjadi nyata.

Tepat di titik itulah Sulhan memulai perjalanan panjangnya ke masa depan, yang dia kisahkan dengan apik, humoris, dan dramatis dalam Gemuruh Literasi. Utopianisme Sulhan memulai gerak awalnya dari komunitas literasi yang ia dirikan di Bantaeng: Boetta Ilmoe. Berdirinya komunitas tersebut menjadi akar bagi tumbuhnya komunitas literasi yang lain. Boetta Ilmoe kata Sulhan dalam Gemuruh Literasi, “telah terduplikasi dan diduplikasi, menginspirasi dan mengadaptasi, sehingga banyak lahir komunitas-komunitas literasi.”

Berbagai komunitas literasi yang telah lahir kemudian saling bergiat membangun gerakan literasi meski dalam bentuk dan artikulasi yang berbeda. Tapi setidaknya di titik ini, masyarakat literasi Bantaeng mulai menjadi cita-cita bersama. Sulhan percaya masyarakat literasi Bantaeng kelak akan lahir tepat di jantung gerakan kultural para komunitas, menyublim di sela tradisi literasi yang tumbuh dari generasi ke generasi.

Kita tak tahu pasti kapan masyarakat literasi Bantaeng benar-benar terwujud secara paripurna. Mewujudkan utopia memang tak semudah membuat pesawat kertas. Butuh perjuangan keras. Perlu ditopang oleh kerja kolektif dan berkelanjutan, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi setidaknya, api perubahan di bantaeng telah menyala. Baranya dijaga dengan baik oleh Sulhan dan para aktivis literasi yang tumbuh pesat di sana.

Jika membaca Gemuruh Literasi, Anda akan menyaksikan bagaimana perjuangan Sulhan bergerak dari orang ke orang, desa ke desa, komunitas ke komunitas, agar api literasi tetap menyala di ButtaToa. Pelan demi pelan Sulhan, dengan dukungan aktivis literasi lainnya, membangun literasi desa, memperbaiki sumber daya manusia dengan mengaktifkan budaya literasi masyarakat Bantaeng. Karya buku pun telah lahir dari sumber daya manusia yang mulai memperbaiki diri. Hal yang dulunya saya anggap hanya indah dalam imajinasi kini mulai menyata.

Orang-orang akan menyebut gerakan literasi Sulhan selama bertahun-tahun demi sebuah utopia adalah suatu “kegilaan”. Namun bagi saya, justru Sulhan lah orang yang paling waras saat ini. Sebab apa yang ia kerjakan adalah untuk masa depan manusia dan peradaban. Hanya orang-orang waras yang masih setia memikirkan manusia dan kemanusiaan,  adab dan peradaban, di tengah deru zaman yang memaksa kita menjadi gila.

  • “Persamaan banjir dan marah,meluap kemana-mana. Apalagi jika bersatu: banjir marah, maka sempurnalah derita.” ( Maksim Daeng Litere, 160620) Warga Kota Makassar cemas berjemaah. Air diperkirakan akan menggenangi kota hingga dua meter. Makassar siaga satu. Potongan video Wali Kota Makassar, Dani Pomanto, beredar mengimbau warga kota agar waspada. Kala mengimbau, ia sendiri berada di lokasi ketinggian…

  • Bagi pelajar dan mahasiswa, membaca adalah syariat akademik ‒harus ditunaikan. Pun dalam Islam perintah membaca menyasar semua kalangan (laki-perempuan, tua-muda, miskin-kaya, pelajar-non pelajar). Entah itu membaca dalam arti tekstual (membaca buku, koran, majalah, dll) atau kontekstual (membaca alam, lingkungan, kondisi, atau pola chat si gebetan, apakah ia punya rasa atawa cuma gabut saja), sebagaimana wahyu pertama yang…

  • Tak sedikit kisanak dan nyisanak menohokkan tanya, kala saya mengada di persamuhan literasi, bagaimana proses kreatif menulis buku? Biasanya, saya ajukan respon, empat buku saya tidak pernah direncanakan mewujud buku. Pasalnya, sekotah buku lahir, karena akumulasi dari kumpulan tulisan. Berkat rajin menabung tulisan di celengan minda. Segenap minda, saya ikat lewat tulisan, lalu saya tabung…

  • “Death is the worst. When you close your eyes on this world, this beauty, the wonders of nature, it means you’ll never be coming back” Kali ini The Wind Will Carry Us (1999) lebih memberikan ”ruang”  yang besar kepada perempuan, dan lebih banyak mengedepankan peluang pembacaan yang lebih feministik jika dibandingkan dengan Taste Of Cherry…

  • Beberapa waktu lalu seorang kepala daerah diciduk lembaga pemberantasan korupsi akibat kasus suap yang menyeret namanya. Kendati mengusik hati, sebenarnya diakui atau tidak, fenomena korupsi kini telah jadi lumrah di sebuah negeri antah berantah. Lantas apa yang aneh kalau begitu? Ada kejanggalan di balik peristiwa itu, musabab beberapa hari sebelum penangkapan, kepala daerah tersebut hadir…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221