Lompatan Besar Gerakan Literasi Bantaeng

Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah kecil itu menjadi kian besar sehingga di sejumlah desa muncul perpustakaan-perpustakaan, baik yang dikelola pemerintah maupun oleh komunitas-komunitas literasi.

Gerakan literasi di Bantaeng tidak sekadar aktivitas baca buku. Ketika di daerah lain gerakan literasi baru pada fase membaca buku, maka di Bantaeng sudah masuk pada fase menulis dan menerbitkan buku secara rutin. Ini tentu saja sangat istimewa, mengingat Bantaeng merupakan kabupaten kecil yang jaraknya cukup jauh dari ibu kota provinsi, serta boleh dikata tidak punya perguruan tinggi. Istimewanya lagi, para penulis yang terlibat di situ sebagiannya adalah orang desa dan berpendidikan menengah.

Sulhan Yusuf si Laba-laba Literasi Bantaeng

Membicarakan gerakan literasi di Bantaeng tentu saja tidak lepas dari sosok Sulhan Yusuf. Kendati Sulhan bukan pelaku tunggal, namun dialah tokoh penting di balik gerakan literasi Bantaeng yang dahsyat itu. Sulhan tidak sekadar pemain di lapangan, tetapi dia juga berperan sebagai dirigen yang mengorkestrasi gerakan ini. Dia laba-laba literasi Bantaeng yang menjalin ikatan di antara para pihak, baik kalangan pegiat literasi itu sendiri, kelompok pemuda, ormas keagamaan, NGO, dan juga pemerintah daerah, sehingga gerakan ini membentuk jaringan kerja yang kuat dan harmonis. Sulhan sendiri tak mau mengklaim kemajuan gerakan literasi Bantaeng sebagai hasil keringatnya seorang diri. Ia selalu menyebut bahwa semua itu merupakan kerja-kerja kolektif banyak pihak.

Sulhan bisa bekerja efektif dan bisa diterima semua pihak, lantaran ia menjaga diri untuk tetap menjadi orang biasa dan sudah jauh-jauh hari menggunting urat syahwatnya untuk menjadikan gerakan literasi ini sebagai batu loncatan, misalnya menjadi pejabat pemerintah. Ia sama sekali tak punya agenda untuk katakanlah jadi kades, anggota dewan, komisioner lembaga negara, apalagi jadi bupati, kendati godaan dan ajakan untuk itu selalu datang. Ia tetap berdiri tegar di luar pagar, walaupun potensi dan bakatnya untuk masuk ke dalam sana sangatlah besar, terutama mengingat bahwa Sulhan merupakan mantan aktivis mahasiswa garda depan, bukan aktivis kaleng-kaleng, baik di intra-kampus maupun di HMI.

Boetta Ilmoe sebagai Pusat Gravitasi

Untuk mengonsolidasikan gerakan literasinya, Sulhan dan kawan-kawan mendirikan komunitas bernama “Boetta Ilmoe”, pada 01 Maret 2010. Boetta Ilmoe dikelola secara cair, struktur kelembagaannya juga cair, tanpa akta notaris lembaga maupun kongres segala macam. Boetta Ilmoe boleh dikata OTB alias organisasi tanpa bentuk. Boetta Ilmoe inilah yang menjadi pusat gravitasi gerakan literasi di Bantaeng. Boetta Ilmoe berjejaring dengan komunitas-komunitas literasi di seantero Bantaeng, hingga ke desa-desa nun jauh. Boetta Ilmoe menempatkan komunitas-komunitas literasi bukan sebagai binaan apalagi bawahan, melainkan sebagai mitra sejajar dan kawan pergerakan.

Perpustakaan yang dikelola Boetta Ilmoe, kini tidak lagi berfungsi sebagai perpustakaan sebagaimana pada umumnya, melainkan sudah menjelma menjadi “bank buku”. Buku-buku koleksi Boetta Ilmoe bebas dipinjam oleh komunitas-komunitas literasi Bantaeng selama masa tertentu, dan dilakukan secara bergilir; yakni buku-buku itu dipergilirkan dari satu komunitas ke komunitas lain secara periodik. Layaknya bank, Boetta Ilmoe menghimpun buku-buku, baik yang dibeli sendiri maupun buku hibah dari masyarakat, lalu buku-buku itu dipinjamkan ke rumah-rumah baca atau lapak-lapak baca di Bantaeng.

Perda Literasi dan Masyarakat Literasi Bantaeng

Kemajuan yang tak kalah penting dari gerakan literasi di Bantaeng adalah terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Bantaeng Nomor 5 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Gerakan Literasi di Daerah. Perda literasi ini lahir berkat gotong royong dan kesepahaman bersama semua pihak, terutama antara pegiat literasi, Pemda Bantaeng, dan DPRD Bantaeng. Kendati gerakan literasi di Bantaeng merupakan gerakan yang bersifat kultural, juga mandiri dan independen, namun peran Pemda khususnya Bupati Bantaeng Ilham Azikin tidak bisa dianggap kecil. Ilham Azikin sangat giat mendatangi forum-forum atau kegiatan literasi. Ia juga selalu mudah dimintai menuliskan kata pengantar untuk buku-buku yang diterbitkan pegiat literasi Bantaeng. Dan istimewanya karena kata-kata pengantar itu ia tulis sendiri, bukan ditulis oleh stafnya.

Perda Literasi Bantaeng adalah suatu lompatan besar yang merupakan kelanjutan dari langkah-langkah gerakan literasi sebelumnya. Namun yang terpenting dari Perda Literasi ini tentu saja bukan sekadar apa yang tertulis di dalam tiap bab, pasal, dan ayat-ayatnya, melainkan apakah perda tersebut benar-benar fungsional alias menjadi langkah nyata di lapangan. Apapun itu, Perda Literasi ini telah membuka pintu gerbang yang selebar-lebarnya bagi cita-cita besar para pegiat literasi di Bantaeng, yaitu terwujudnya apa yang mereka namakan sebagai “masyarakat literasi Bantaeng”, saat ketika literasi sudah menjadi—meminjam Ilham Azikin—gaya hidup masyarakat Bantaeng. []

  • “Persamaan banjir dan marah,meluap kemana-mana. Apalagi jika bersatu: banjir marah, maka sempurnalah derita.” ( Maksim Daeng Litere, 160620) Warga Kota Makassar cemas berjemaah. Air diperkirakan akan menggenangi kota hingga dua meter. Makassar siaga satu. Potongan video Wali Kota Makassar, Dani Pomanto, beredar mengimbau warga kota agar waspada. Kala mengimbau, ia sendiri berada di lokasi ketinggian…

  • Bagi pelajar dan mahasiswa, membaca adalah syariat akademik ‒harus ditunaikan. Pun dalam Islam perintah membaca menyasar semua kalangan (laki-perempuan, tua-muda, miskin-kaya, pelajar-non pelajar). Entah itu membaca dalam arti tekstual (membaca buku, koran, majalah, dll) atau kontekstual (membaca alam, lingkungan, kondisi, atau pola chat si gebetan, apakah ia punya rasa atawa cuma gabut saja), sebagaimana wahyu pertama yang…

  • Tak sedikit kisanak dan nyisanak menohokkan tanya, kala saya mengada di persamuhan literasi, bagaimana proses kreatif menulis buku? Biasanya, saya ajukan respon, empat buku saya tidak pernah direncanakan mewujud buku. Pasalnya, sekotah buku lahir, karena akumulasi dari kumpulan tulisan. Berkat rajin menabung tulisan di celengan minda. Segenap minda, saya ikat lewat tulisan, lalu saya tabung…

  • “Death is the worst. When you close your eyes on this world, this beauty, the wonders of nature, it means you’ll never be coming back” Kali ini The Wind Will Carry Us (1999) lebih memberikan ”ruang”  yang besar kepada perempuan, dan lebih banyak mengedepankan peluang pembacaan yang lebih feministik jika dibandingkan dengan Taste Of Cherry…

  • Beberapa waktu lalu seorang kepala daerah diciduk lembaga pemberantasan korupsi akibat kasus suap yang menyeret namanya. Kendati mengusik hati, sebenarnya diakui atau tidak, fenomena korupsi kini telah jadi lumrah di sebuah negeri antah berantah. Lantas apa yang aneh kalau begitu? Ada kejanggalan di balik peristiwa itu, musabab beberapa hari sebelum penangkapan, kepala daerah tersebut hadir…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221