Trilogi Pancasila; Titik Tumpu, Titik Temu dan Titik Tuju

Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam persoalan lainnya. Inilah yang membuat beberapa kalangan kecewa bahkan sinis pada Pancasila.

Artikel ini tidak hendak mendebatkan kesahihan dan ketepatan waktu kelahiran Pancasila. Beragam versi tersebut bagi saya memiliki basis argumennya masing-masing yang sama kuatnya, baik versi 1 Juni maupun versi 18 Agustus. Biarkan lah itu terus menjadi diskursus publik yang akan terus saling memperkaya, yang pasti sebagai nilai, Pancasila jauh lebih tua dari kedua versi tersebut.

Artikel ini akan fokus mengeksplorasi konsep trilogi Pancasila yang Yudi Latif seringkali ungkapkan, yakni titik tumpu, titik temu dan titik tuju.

Pancasila sebagai Titik Tumpu

Setiap bangsa yang ingin bertahan apalagi berusia panjang mensyaratkan adanya suatu konsepsi bersama menyangkut nilai-nilai dan haluan dasar bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa yang bersangkutan. John Gardner (2011), seorang cencekiawan Amerika Serikat, mengungkapkan “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral untuk menopang peradabannya”. Disinilah Pancasila sebagai titik tumpu atau pijakan menemukan urgensi dan relevansinya.

Onghokham (2001) mengungkapkan bahwa dibandingkan sebagai ‘ideologi’, Pancasila lebih tepat disebut ‘dokumen politik’, semacam ‘kontrak sosial’, yang merupakan puncak dari kompromi, negosiasi dan persetujuan sesama warga tentang asas-asas atau tumpuan dalam berbangsa dan bernegara. Itu berarti dapat disamakan dengan dokumen-dokumen penting negara lain seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Rights di Amerika Serikat, Droit de l’homme di Perancis, dan Manifest der Kommunistischen di Uni Soviet.

Sebagai dasar atau titik tumpu maka dalam kehidupan berwarga dan bernegara setiap aktivitas, regulasi dan kebijakan mesti dilandaskan pada nilai-nilai kebajikan dan kebijaksanaan yang termuat dalam setiap sila; ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan.

Pancasila sebagai Titik Temu

Pancasila bagi warga NU disebut kalimatun sawa’ yang berarti titik temu atau kalimat persetujuan. Sementara bagi warga Muhammadiyah disebut dar al-‘ahdi yang berarti konsensus bersama dan dar al-syahadah yaitu tempat pembuktian atau kesaksian, serta dar al-salam yaitu menjadi negeri yang aman dan damai.

Adapun Cak Nur menyebut Pancasila sebagai common platform atau common denominator yang berarti titik persetujuan atau rumah bersama yang memungkinkan beragam identitas bertemu dan bekerjasama di dalamnya.

Beragam penyebutan tersebut bila ditelisik sebetulnya memiliki makna yang serupa yaitu persatuan atau titik temu. Konsep ini berimplikasi bahwa segalanya boleh saja berbeda, tapi dalam hal berindonesia segalanya menjadi satu. Kita boleh saja beda dalam iman, dalam suku, dalam politik, dalam bahasa dan lainnya, tapi kita bersaudara sebagai bangsa.

Bangsa sendiri dalam pandangan Benedict Anderson (1983) ialah komunitas-komunitas terbayang “Imagined Communities” yang berarti suatu kumpulan manusia yang sebetulnya dan senyatanya tidak pernah berjumpa tapi merasa bersatu. Perasaan tersebut didorong oleh adanya nasionalisme yang tumbuh di dalam hati dan pikiran mereka. Agak rumit memang, bagaimana bisa orang-orang yang tidak memiliki ikatan biologis bahkan sekadar berjumpa pun tidak, tapi merasa bersaudara atau setidaknya ingin bersatu, itulah keajaiban nasionalisme (sila ketiga Pancasila) mengikat yang berbeda menjadi kesatuan.

Pandangan Anderson tersebut menunjukkan bahwa setiap bangsa memerlukan konsepsi titik temu, disinilah Pancasila sebagai titik temu menemukan konteksnya. Konsepsi ini semakin menemukan konteksnya terutama melihat Indonesia yang memiliki tingkat keragaman penduduk yang sangat kompleks dan komplit.

Sebagaimana diketahui Indonesia adalah bangsa yang oleh Tuhan YME diberikan dua takdir utama sekaligus, yakni (1) takdir geografis, dan (2) takdir sosiologis. Takdir geografis membuat manusia Indonesia menjalani hidup di wilayah lebih dari 7 juta kilometer persegi (km²), dengan 75% diantaranya adalah wilayah perairan dengan garis pantainya terpanjang ke-2 di dunia (95,181 km) inilah alasan mengapa Indonesia disebut negeri bahari atau maritim. Diantara itu terdapat juga lebih dari 16.771 pulau dengan potensi serta kekayaan alam yang melimpah di dalamnya (BPS 2021).

Suasana geografis dan kekayaan alam Indonesia dengan sangat baik digambarkan oleh John Crawfurd (1820) dalam Haedar Nasir (2019) sebagai sebuah wilayah kepulauan yang memiliki bentangan alam yang subur, nyaman, indah, kayaraya, dan tidak ektrem seperti jazirah Arabia. Dalam gambaran Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (1820-1887), kepulauan Indonesia seumpama untaian “Zamrud di Khatulistiwa” (The Emerald of Equator), yang di dalamnya menurut Koes Ploes “tongkat dan batu pun jadi tanaman”. Kedua metafora itu menggambarkan Indonesia sebagaimana dalam ungkapan Jawa kuno disebut gemah ripah loh jinawi.

Adapun takdir sosiologisnya, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (2022), jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022, yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia. Kenyataan lainnya ialah manusia Indonesia menjalani hidup dalam suasana yang super majemuk. Dimana terdapat beragam suku, bahasa, agama, kebudayaan, kepercayaan, adat istiadat, dls. Data BPS (2021) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih  1.300 suku bangsa, 668 bahasa daerah, memiliki 431.465 kelompok ormas, 6 agama resmi + 184 aliran kepercayaan dan masih banyak lapis keragaman lainnya.

Pancasila sebagai Titik Tuju

Setiap bangsa memiliki konsepsi dan cita-citanya masing-masing sesuai dengan kondisi, tantangan dan karakteristik bangsa yang bersangkutan. Indonesia pun demikian, memiliki tujuan yang menjadi alamat yang hendak dituju dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adapun titik tuju tersebut memuat common good, sebuah kebaikan bersama yang dicita-ciptakan.

Ernest Renan, seorang filosof sekaligus sejarawan asal Prancis memiliki pendapat bahwa sebuah bangsa tidak hanya terbentuk dari kesamaan-kesamaan seperti masa lalu atau identitas-identitas primordial lainnya. Tapi juga mensyaratkan adanya kehendak untuk bersatu serta cita-cita yang sama. Bagi Renan, bangsa terjadi karena adanya keinginan untuk hidup bersama dengan perasaan setia kawan yang agung untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Renan menyebutnya sebagai “Le désir d’etre ensemble”.

Bagi bangsa Indonesia tujuan bersama tersebut ialah kelima sila Pancasila itu sendiri, yang secara terperinci dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpa darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pancasila sebagai titik tuju memang seringkali dianggap sangat abstrak, sehingga dipersepsi sebagai sesuatu yang “impossible” bahkan ‘utopia”. Tidak salah sebetulnya persepsi itu, tapi juga tidak benar seluruhnya. Bagi saya “tujuan bersama” memang tidak perlu detail atau rigid. Regulasi, kebijakan, program, outcome lah yang akan mendetailkannya. Disinilah diperlukan apa yang disebut “tujuan antara”, sebuah tujuan yang dapat diukur secara saitifik, misalnya indeks kesejahteraan, indeks kebahagiaan, indeks pembangunan manusia, indeks korupsi, indeks demokrasi, indeks kualitas lingkungan hidup, indeks kebebasan, indeks pemberdayaan gender, indeks toleransi, dan beragam indikator atau “tujuan antara” lainnya yang bisa diukur.

***

Sebagai bentuk refleksi, dalam perayaan hari lahir Pancasila—meskipun sejatinya tak ada yang perlu dirayakan—saya melihat bahwa pada ketiga titik inilah Pancasila perlu diaktifkan, ditransmisi, ditransformasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tingkat individual, sosial, nasional dan global.

Sumber gambar: https://kumparan.com

  • Ketika bersepakat akan memiliki anak. Pasangan saya sudah jauh-jauh hari memikirkan pendidikan anak. Ia hendak menabung, bahkan ketika si calon murid ini belum ditiupkan roh oleh Tuhan. Pengalaman bertahun-tahun sebagai kepala sekolah di homeschooling, bertemu dan mendengar kisah anak-anak yang ‘terluka’ akibat sekolah, membuatnya skeptis terhadap pendidikan di sekolah formal. Ia tidak ingin kelak anak…

  • Gattaca sebuah cerita lama. Sebuah fiksi ilmiah yang dirilis 1997. Anredw Niccol sang sutradara seperti sedang meramal akan masa depan. Melalui aktor Ethan Hawke berperan sebagai Vincent,  Niccol ingin menggambarkan masa depan manusia. Masa depan genetika yang bisa direkayasa. Gattaca film yang bercerita tantang Vincent yang terlahir tak sempurna. Gennya mengalami cacat sejak lahir. Tak…

  • Cadarmu menyembunyikan rahasiamu. Menyembunyikan siapa dirimu. Cadarmu menyamarkan dirimu dengan teka-teki yang tersisa bagi diriku. Berlapis-lapis cadarmu yang tak berbilang menguliti lapisan upayaku menggapaimu hingga terhempas pada ketakberdayaan dan kenisbian. Kehabisan napas, kehabisan darah, kehabisan nyawa. Telah sirna segala yang ada pada diriku ditelan upaya, namun lapis-lapis cadarmu belum jua tersibak tuntas. Cadarmu telah banyak…

  • Jelang salat Zuhur di satu masjid, saya bersua dengan seorang kepala desa, yang pasangannya menjabat komisioner KPUD. Iseng-iseng saya bertanya, “Kapan lebaran Pakde?” Sembari tersenyum ia berujar, “Nyonyaku sudah lebaran besok, Jumat. Ia sudah izin ikut penetapan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau saya menanti pengumuman pemerintah, kemungkinan Sabtu.” Saya segera bisa memahami pasutri tersebut. Maklum saja,…

  • Meniada artinya menjadi tiada, mengakui ketiadaan diri, atau menerima bahwa diri seseorang bukan saja tidak berharga namun memang tidak ada. Bukan sesuatu yang mudah untuk merendahkan diri, apatah menyatakan ketiadaan diri. Namun dalam khazanah para pejalan menuju Tuhan diskursus tentang eksistensi manusia seperti ini sudah cukup akrab. Beratnya pengakuan ketiadaan diri sangat terasa di kalangan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221