Perempuan Menulis

Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi oleh hal-hal di luar sana.” Karena saya lebih bisa mengontrol faktor internal dibandingkan faktor eksternal. Sebab lainnya, antusiasme yang menyala bisa menular dan membakar semangat orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan memiliki kemampuan menghipnosis, sanggup mengukuhkan jiwa-jiwa rapuh yang masih berjuang mencari sandaran.

Sungguh saya seperti sedang berbicara dengan diri sendiri. Menyemangati ia yang cukup lama berdiam dan berlindung di balik kesibukan, tanpa berusaha melahirkan satu pun tulisan sebagaimana dulu pernah rutin ia lakukan. Waktu yang terus-menerus dibiarkan berlalu lambat laun akan berpotensi memunculkan rasa kurang percaya diri jika dibiarkan begitu saja. Sudah hampir dua tahun lamanya sejak mulai berencana menerbitkan buku saya yang ketiga. Meski sudah didorong dari kanan dan kiri, depan dan belakang, mood ini seperti mobil mogok. Tidak punya tenaga apalagi semangat yang membara seperti dulu. Apakah ini pertanda telah terjadi gangguan fokus?

Hingga suatu hari saya melihat postingan salah seorang penulis muda berbakat dan penuh potensi di akun Instagramnya. Di sana ia memperlihatkan unggahan buku karya terbarunya, “Lingkaran Falsafah Kolasara”. Dalam hati saya geleng-geleng campur decak kagum, “Benar-benar luar biasa energi yang ia punya.” Tanpa bermaksud membandingkan, namun lebih cenderung ingin menginjeksi diri sendiri, saya berucap dalam hati, “Ayo, bergerak, kembalilah menulis seperti dulu. Dia saja yang sesibuk itu bisa, apatah lagi kamu yang masih punya waktu buat tidur siang. Hahaha…”

Akhirnya, dengan rasa penasaran yang sudah di ubun-ubun, saya mengiriminya pesan, bahwa saya berminat membeli bukunya. Bisa didapat di mana? Tidak lama kemudia ia pun mengirim balasan, “Sepertinya kita perlu duduk-duduk berbincang lagi ini, Kak.” Sekali waktu sebelumnya kami memang sudah pernah ketemu, sekitar setahun lalu dalam acara komunitasnya di sebuah cafe dengan judul “Diskusi Santai, Perempuan Melek Literasi”. Saat itu ia bertindak selaku moderatornya.

Singkat cerita kami saling berkirim pesan, merencanakan kegiatan enam hari kemudian. Bertempat di toko buku kami, Paradigma Ilmu. Singkat, padat, dan jelas waktunya. Tampaknya kami berdua setipe. Tidak suka melakukan pertimbangan lama dalam merencanakan dan memutuskan sesuatu. Selebaran digital pun dibuat oleh anak-anak di rumah dan disebar dua hari sebelum kegiatan berlangsung.   

Peserta yang hadir lumayan banyak, ada sebelas orang dengan saya selaku tuan rumah. Ditambah seorang bayi, satu batita, dan satu lagi anak usia SD. Semuanya perempuan. Entah kenapa tidak ada peserta laki-laki. Namun saat kegiatan tersebut saya siarkan secara langsung di Facebook, yang bertanya tiga orang justru laki-laki semua.    

Acara bincang-bincang ini seharusnya dimulai pukul 16.00 Wita, peserta yang hadir pun sudah ada beberapa. Namun kami memilih untuk menunggu kedatangan teman-teman lain sambil ngobrol pengalaman, berbagi energi positif satu sama lain, sambil menikmati kudapan yang terhidang. Satu jam kemudian kami memutuskan untuk memulainya meski masih ada tiga orang yang sedang dalam perjalanan menuju toko.

Rumah, kantor, kampus, dan laptop

Empat peran yang ia sementara geluti saat ini. Andi Ulfa Wulandari seorang ibu muda, ia juga menjabat sebagai seorang kepala sekolah tingkat Sekolah Dasar di salah satu sekolah swasta di Makassar, sambil berproses menyelesaikan tesisnya, ia pun masih aktif memproduksi buku-buku. Dalam usia pertengahan dua puluhan ia sudah berhasil menulis 27 buku, terdiri dari buku dewasa, remaja, dan anak-anak. Bukan hanya jenis novel, buku pengembangan diri pun ia tulis. Ia mulai menulis pada usia 19 tahun. Jika dihitung-hitung, dalam rentang waktu enam tahun, ia telah memproduksi 27 buku, itu berarti rata-rata setahun ia menghasilkan kurang lebih empat buah buku. Wow, angka yang fantastik.

Dalam penuturannya saat diskusi, ia bahkan pernah menulis novel hanya dalam waktu satu bulan saja. Kami yang hadir kemarin benar-benar merasa termotivasi dan terbakar semangatnya. Begitulah energi bekerja. Ia dikeluarkan dari sumber yang memang memiliki energi sangat besar, lalu memancar dan menyambar siapa pun yang memiliki benih semangat yang sama. Walaupun mungkin kadarnya tidak sebesar si pemancar energi, namun vibrasinya akan sampai pada si penerima yang ada di sekitarnya.

Saat sesi dialog, ia menambahkan, pertanyaan yang paling sering diajukan kepadanya saat ada diskusi buku maupun literasi, adalah bagaimana caranya ia mengatur waktu dengan dua anak balita di bawah asuhannya. Pertanyaanku pun sama dengan mereka. Rupanya ia memangkas sebagian waktu istirahatnya di malam hari untuk mengerjakan aktivitas menulisnya. Karena pagi sampai sore sudah ia fokuskan di sekolah. Yang sangat luar biasa juga menurut saya, Ulfa tidak hanya berbicara dan memotivasi anak-anak mahasiswa tetapi juga anak usia SD jenjang kelas 3 hingga kelas 6 SD pun berhasil ia gerakkan untuk menulis dan akhirnya menghasilkan karya buku keroyokan.

Apa resep dan triknya sehingga hingga ia bisa tetap fit, bugar, dan mampu menjaga konsistensinya sedemikian rupa sampai hari ini? Kesenangan dan kecintaannya pada aktivitas literasi dan menulis itu sendirilah booster baginya sehingga bisa tetap kuat dan bersemangat.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221