Tradisi Nyekar dan Misi Intelektual

Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari tradisi nyekar ini pula, memberi semacam multiplier effect, yakni mendorong sektor lainnya tumbuh, semisal di bidang ekonomi, pariwisata, dll. Hal ini semakin menguatkan keyakinan, nyekar membawa berkah kehidupan.

Di setiap tempat, di mana tradisi masyarakat membiak, memiliki khasnya masing-masing, terutama mengenai ritual yang dipercayai oleh masyarakat memiliki nilai spiritualistik, sedangkan lain-lainnya dianggap formal adanya. Entah sejak kapan  nyekar menjadi sebuah tradisi di tengah-tengah masyarakat. Konon kabarnya, laku nyekar sudah berlangsung sejak zaman prasejarah, hingga masuknya Islam sebagai agama baru. Seiring perkembangan zaman, tradisi nyekar justru dipakai sebagai sarana dakwah ajaran Islam, tentu saja, ini makin menguatan kohesi antar agama dan budaya lokal terhadap peradaban Islam di Nusantara .

Ada banyak makam-makan kuno yang dipercaya masyakarat sebagai makam keramat. Makam itu dipercaya memiliki karomah, sebab, makam seseorang tersebut dipercaya sebagai titisan Tuhan atau wali Allah Swt. Mengapa orang-orang percaya makan tersebut adalah wali Allah? Sebagai besar masyarakat mempercayai, Allah menitipkan walinya  di setiap zaman, tugasnya menuntun manusia senantiasa berada di jalan kebenaran. Wali Allah atau titisan Tuhan merupakan wasilah kenabian, mereka meneruskan cita-cita kenabian, agar bumi terus tegak diporos kebenaran. Dalam keseharian, kehidupan wali Allah hidup seperti manusia biasa lainnya, tanpa  seorangpun mengetahui dirinya adalah wali, kecuali Allah Swt. Di kehidupan sosial, para utusan Tuhan mengemban amanah Ilahi, mereka hidup mengabdi kepada Tuhan, ajaran-ajaran Ilahia didakwahkan kepada sengenap manusia, agar manusia mengikuti fitrahnya. Olehnya itu, para wali  memiliki peran penting semasa hidupnya, sehingga manakala mangkat dari kehidupan dunia, segenap manusia yang mengenalnya, menziarahi kubur demi mendapatkan keberkahan hidup atas jasa-jasanya.

Setiap daerah atau wilayah memiliki seseorang yang dianggap titisan Tuhan. Saban hari makamnya tak henti-henti orang menziarahinya. Biasanya, tujuan para penziarah ialah melepas  hajat atau sekedar  ngalap berkah. Dahulu kala, pada zaman prasejarah, masyarakat di  Sulawesi Selatan, dikenal dengan nama To Manurung. Sosok To Manurung dianggap raja atau ratu adil, diutus Tuhan memimpin masyarakat Bugis Makassar. Kehadiran To Manurung  membawa keberkahan bagi semesta, saat kehadirannya, kehidupan masyarakat menjadi aman sentosa, setelah terjadi kemelut antar warga yang berkepanjangan. Di kemudian hari To Manurung beranak pinak dengan warga lokal, sehingga lahirlah peradaban baru di tanah Bugis Makassar. Cerita ini sering kita dengar dan baca dalam tulisan-tulisan ilmiah maupun cerita-cerita hikayat Sulawesi Selatan.

Lain padang, lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Pribahasa itu menandaskan setiap daerah memiliki adat ciri khas berbeda, begitu pula dengan tradisi nyekar atau menziarahi kubur di masing-masing daerah. Seiring berjalannya waktu, peradaban manusia makin maju, dinamika dalam masyarakat makin beragam, sehingga masyarakat membutuhkan orang-orang khusus yang bisa memecahkan masalah serta meningkatkan kualitas manusia di segala aspek kehidupan. Ali Syariati seorang scholar kawakan asal Iran, menamakan orang-orang tersebut termasud golongan rausyanfikr, seorang pemikiran yang tercerahkan atau sering kita sebut sebagai intelektual.

Menurut Julian Benda (1927), intelektual adalah seorang pejuang kebenaran serta keadilan. Tujuannya semata-mata demi kemaslahatan umat dan cita-cita  ketuhanan, jauh dari semangat materi, apalagi kepentingan sesaat. Diskursus pemaknaan intelektual, lebih lanjut, coba didedahkan oleh Regis Debray, menurutnya, dalam perkembangan intelektual terbagi dalam tiga tahap. Tahap pertama, intelektual dimaknai sebagai seorang pengajar atau guru. Pada konteks Nusantara, akrab disebut dengan kiyai atau ulama. Pada tahap kedua, siapapun yang memiliki kemampuan menulis , baik tulisan essais, novel maupun tulisan lainnya, dapat disebut seorang intelektual. Sedangkan tahap ketiga, kaum intelek di zaman ini sudah bergeser jauh. Seseorang akan disebut sebagai intelektual ketika ia mampu tampil di media massa.

Kecenderungan intelektual generasi ketiga ini, seringkali mengabaikan standar nilai-nilai etik, yaitu profesionalitas dan kejujuran. Sering kita lihat dan dengar mereka ini tidak segan melacurkan dirinya kepada penguasa. Menjual keahliannya demi memenuhi pesanan penguasa yang zalim. Apapun dia akan dilakukan agar bisa dekat dengan penguasa. Sejatinya seorang intelektual mampu menggunakan keahliannya untuk kebaikan masyarakat banyak, arkian, eksisitensinya memberi kontribusinya terhadap bumi yang dipijaknya, bukan justru hidup dalam ilusi dan utopia belaka. Ini pula menjadi minda seorang sosiolog kawakan, Antonia Gramsci, mengkategorikan intelektual menjadi dua macam, yakni intelektual organik dan intelektual tradisional.

Teori yang dikemukakan Antonio Gramsci, mempunyai garis singgung dengan konsep rausyanfikr yang di populerkan Ali Syariati. Scholar asal Persia itu menjelaskan kehadiran rausyanfikr di tengah-tengah masyarkat yang terbelakang, membuatnya dijuluki sebagai pewaris perjuangan nabi.  Hal itu bukannya tanpa alasan, kehadiran kaum intelektual ini, memutus tali kesenjangan antara teori ideal dan tindakan praksis yang terjadi pada kaum pelajar, rakyat jelatan dan kaum agamawan. Sehingga amanah sebagai kaum pendidik, tidak hanya memberi solusi, namun menjadi pengerek perubahan ditengah-tengah masyarakat yang masih tertidur secara pemikiran dan tumbuhnya berbagai penyakit sosial.

Secara inheren manusia dititipkan amanah oleh Tuhan, tentu saja amanah itu dijalankan secara personal maupun sosial, sesuai dengan profesi masing-masing orang. Definitnya, baik personal maupun sosial, tujuannya, semata-mata mengabdi kepada Tuhan. Jika dirunut sejarah manusia, pada setiap zaman, tak putus-putusnya Tuhan memberi karunia kepada orang-orang pilihan, untuk menjadi wasilahnya. Orang-orang pilihan ini berada di segala bidang kehidupan, tidak hanya berada di rumah-rumah ibadah, mereka hadir di tengah-tengah masyarakat yang membutuhkan perbaikan. mereka pun hadir tak mesti mengenakan pernak-pernik agama (jubah, peci,dll), namun yang lebih esensi, mereka memiliki pemikiran luas dan pandangan hidup yang luhur.

Sejatinya para intelektual tak pernah putus. Mereka eksis sepanjang zaman, konon, eksistensinya membuat tiang langit tetap tegak. Mereka hadir meneruskan tradisi luhur dari orang dahulu, kehadirannya terus berlanjut hingga akhir zaman, mesti personnya berbeda, namun misinya tetap sama dari dulu hingga akhir zaman, yakni misi kenabian.     

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221