Pengorbanan dan Keajaiban

 

Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, bencana, atau hal semacamnya.

Bermula dari ketaatan Nabi Ibrahim dalam mematuhi perintah Allah Swt. Membawa istrinya Hajar dan puteranya Ismail ke suatu lembah yang tidak menampakkan satu pun tanda-tanda kehidupan di sana. Dengan berbekal sedikit makanan dan air, beliau menurunkan istri dan anaknya dari atas unta, lalu meninggalkan keduanya tanpa penjelasan apa-apa. Kalimat protes sempat terlontar dari lisan bunda Hajar, namun ketika mengetahui semua ini adalah perintah Allah Swt, ia pun terdiam dan patuh.

Di tengah padang tandus nan gersang, rasa haus mulai melanda keduanya. Air susu pun sudah tidak lagi menghasilkan air. Dalam kecamuk tangis Ismail, Siti Hajar berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa mencari-cari sesuatu yang bisa menjadi pengobat dahaga mereka. Atau berharap bertemu seseorang yang bisa ia mintai tolong membantunya keluar dari situasi tersebut.

Akhirnya setelah putaran ketujuh antara bukit Safa dan Marwah, Allah Swt pun menurunkan rahmat-Nya. Ismail kecil memukul-mukulkan kakinya di atas tanah dalam keadaan menangis. Tiba-tiba memancarlah keluar air dari bawah kakinya. “Zamzam…zamzam…” seru bunda Hajar. Artinya ”Terpancarlah…terpancarlah.” Pengorbanan tanpa lelah dan penuh keikhlasan akhirnya berbuah manis. Air yang tiba-tiba keluar dari tanah kering dan tandus adalah bentuk keajaiban yang dianugerahkan oleh Allah Swt. Bahkan sumur tersebut hingga hari ini tidak pernah kering, dan menjadi tempat persinggahan para musafir dan orang-orang yang datang berhaji di tempat itu.

Beberapa tahun kemudian, saat usia Ismail mulai beranjak remaja, pada suatu malam Nabi Ibrahim bermimpi. Seperti yang kita ketahui dalam kisah-kisah sejarah, ia diperintahkan oleh Allah Swt untuk menyembelih putra satu-satunya, belahan jiwanya, yang sekian puluh tahun ia nanti-nantikan kehadirannya. Namun, ia sang pecinta sejati, tahu persis kemana cinta harus ia letakkan. Bukan kepada makhluk betapapun besar kasih dan sayangnya ia pada puteranya. Melainkan hanya ia tujukan kepada Sang Pemilik Kehidupan. 

Sang putera, Ismail, yang telah mewarisi sifat-sifat kenabian dari sang ayah, tumbuh menjadi anak yang patuh dan taat pada perintah Allah Swt. Walaupun begitu, Nabi Ibrahim tetap menyampaikannya perintah tersebut dengan penuh kelembutan. Ibrahim berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi, aku menyembelihmu, maka bagaimana pendapatmu?” (QS. Ash-Shaffat:102).

Puteranya dengan penuh ketaatan dan kesabaran justru menenangkan hati ayahnya dengan menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat:102)

Sebagaimana kisah yang lazimnya sampai pada kita hari ini, Ismail dengan kesabaran dan kepasrahannya, tunduk patuh dan berserah pada perintah Tuhannya, begitupun Nabi Ibrahim yang rela berkorban melepaskan putera terkasihnya, maka Allah Swt pun menunjukkan Rahman dan Rahim-Nya dengan menyelamatkan Ismail dari sasaran mata pisau dengan menggantinya dengan seekor hewan kurban. Keduanya berhasil melewati ujian berat tersebut dengan prestasi sangat gemilang.

Peristiwa inilah yang hingga kini menjadi menjadi sebuah hari istimewa yang diperingati oleh seluruh umat Islam sedunia sebagai Iduladha, hari raya Haji, atau hari raya Kurban.

Berkorbanlah dan jadilah ajaib

Sebagai bagian dari umat Islam dunia, jejak apa yang dapat kita tiru dari sejarah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail? Seperti apa bentuk pengorbanan yang dapat kita lakukan sebagai upaya meneladani kisah mereka? Tidak perlu muluk-muluk, mengikuti jejaknya mengorbankan nyawa putera kita seperti yang telah mereka contohkan dalam sejarah. Sebab amatlah tinggi level ketaatan itu. Kita dapat memulainya dari hal-hal kecil sehari-hari.

Berkorban tidaklah identik dengan menderita. Namun berkorban dalam hal ini berarti bersedia menurunkan egosentris dalam dirinya dan menjadikan orang lain sebagai pusat kepedualiannya. Menempatkan mereka pada posisi lebih tinggi dan mulia. Berkorban tidaklah pula mesti disertai perasaan rendah diri, justru sebaliknya, jika seseorang rela berkorban demi orang yang dicintainya, maka itu penanda ia memiliki jiwa besar.

Pelajaran pertama tentang cinta. Sanggupkah kita mencintai pasangan atau anak-anak kita apa adanya, tanpa sebab suatu kondisi sebagai prasyaratnya? Misalnya saat anak-anak tidak melakukan hal-hal yang kita minta, atau pasangan tidak berperilaku sebagaimana yang diharapkan? Mampukah kita menahan diri—mengorbankan perasaan ingin didengar, ingin dipatuhi—untuk tidak marah, mengomel, dan mencerca mereka atas perbuatan yang kurang berkenan tersebut.

Pelajaran berikutnya tentang keikhlasan. Sudahkah kita menjadi manusia yang memiliki keikhlasan cukup tinggi untuk menerima segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan? Yang turut bahagia saat melihat orang lain mendapatkan keberhasilan. Yang turut bersorak paling kencang ketika teman sejawatnya maju ke atas panggung keberhasilan? Yang dengar rendah hati mau mendoakan dan turut mengaminkan setiap permohonan kawan-kawannya yang sama-sama berjuang menaiki tangga-tangga kesuksesan. 

Lalu mengapa semua itu disebut berkorban, karena kecenderungan manusia yang memang senang pada kenikmatan, inginnya dapat pelayanan tetapi tidak sebaliknya. Ingin dihargai, tetapi kurang mau menghargai. Senang menikmati perhatian orang lain, namun kurang memberikan perhatian pada orang lain. Inginnya hanya didengar, dan ketika orang lain, pasangan, atau anak yang bicara, mereka tidak mengindahkannya. Jika ada perselisihan pendapat, cenderung melihat orang lain yang salah, dialah yang benar. Begitu seterusnya.

Jika para nabi dianugerahi Allah Swt dengan mukjizat sebagai balasan atas kesabaran dan keikhlasannya menerima cobaan, maka kita sebagai manusia biasa dijamin hadiah keajaiban dari-Nya jika mau menjalani laku-laku pengorbanan sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Lewat momen Iduladha ini, yang kehadirannya hanya sekali setahun, semoga dapat menggiring ruhani kita agar lebih siap dan mampu melakukan banyak pengorbanan dalam hidup kita. Bukan hanya pengorbanan materi, akan tetapi nonmateri pun semampu mungkin kita tingkatkan. Dengan berkorban, hidup akan menuai banyak keajaiban. Seperti halnya yang dijejakkan dalam teladan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Selamat Iduladha.

  • Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat…

  • Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal…

  • Setiap  keluarga,  mestinya punya  ritus. Ritual yang bakal menjadi tali pengikat untuk merawat keawetan kasih sayang, solidaritas, kekompakan dan tenggang rasa. Dan, setiap keluarga boleh memilih dan menentukan jenis ritus-ritusnya. Waima ritus itu biasanya terkait langsung dengan aktivitas keagamaan, namun dalam sebuah keluarga yang telah mementingkan suasana spiritual, maka apapun geliatnya, selalu berkonotasi spiritualitas. Demikian…

  • Scribo Ergu Sum—Aku Menulis, Aku ada (Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan, bisa mengubah raut wajah jadi masam. Makanya di situ butuh asah, asih, dan tentu asuh. Agar semua merasai suatu pola ikatan yang harmonik. Sehingga orangorang akhirnya bisa membangun kesetiaan, tentu bagi keberlangsungan kelas literasi PI. Begitu juga diakhir pekan harus menyetor karya tulis dengan kemungkinan mendapatkan kritikan, merupakan juga aktifitas yang melelahkan. Menulis, bukan hal mudah di saat dunia lebih mengandalkan halhal instan. Menulis butuh kedalaman dan waktu yang panjang. Menulis membutuhkan daya pikiran dan pengalaman yang mumpuni agar suatu karya layak baca. Karena itu kawankawan harus punya persediaan energi yang banyak. Biar bagaimana pun tujuan masih panjang, bahkan tak ada terminal pemberhentiaan. Walaupun tujuan selama ini hanya mau menghadirkan penulispenulis handal. Akibatnya hanya ada satu cara biar punya stamina besar; rajin bangun subuh. Saya kurang yakin apakah memang ada hubungan antara keseriusan dengan bangun di waktu subuh? Tapi, sampai pekan 12, keseriusan itu mesti terwujud di dalam karya kawankawan. Keseriusan yang mau membina diri. Keseriusan memamah berbagai bacaan, mau melibatkan diri di berbagai forum diskusi, dan banyak berlatih menulis. Kalau tiga hal ini disiplin dilakukan, saya harap dari komunitas sederhana kita bisa tumbuh orangorang yang tulisannya bakal ditunggu kedatangannya. Belakangan cara kita membangun komitmen sebagai penulis pemula ditandai dengan menerbitkan blog pribadi. Hal ini satu kemajuan menyenangkan sekaligus menyakitkan. Blog itu semacam buku harian. Akan membahagiakan jika di situ kawankawan rajin mengisinya dengan berbagai tulisan. Melihatnya dibaca banyak orang pasca diterbitkan. Juga melihatnya dapat membuat orang senang membacanya. Menulis begitu menyakitkan karena prosesnya sama dengan kelahiran seorang anak. Di situ ada ide yang dikandung, tersedimentasi sekaligus. Akibatnya, tiap tulisan dirasa punya masa kandungan. Kapan dia lahir tergantung lamanya waktu di dalam kandungan. Tulisan sebagaimana takdir sang anak, tak bisa dipaksakan…

  • Salah seorang putri saya,  yang masih duduk di sekolah menengah pertama, mengenakan seragam porseninya, T-Shirt yang bertuliskan Exiurose. Semula saya menduga itu adalah suatu slang yang belum ramah di pengetahuan saya. Maklum saja, anak-anak muda sekarang cukup kreatif melahirkan istilah-istilah baru. Rupanya, Exiurose adalah kependekan dari Experience of Our Purphose, yang dimaknakan kurang lebih, pengalaman…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221