Masih Adakah yang Mau Mendengarkan Anak?

Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia beda. Dan seterusnya. Bahkan tak jarang spontanitasnya membuat kami harus memberinya isyarat jari telunjuk yang diletakkan di mulut, tanda tidak boleh berbicara seperti itu depan orang banyak.

Hari itu ia mendadak berbicara terbata-bata pada suku kata pertama kalimat yang akan ia ucapkan. Misalnya, untuk menyebut kata “di mana” ia perlu mengulang suku kata “di” tersebut hingga beberapa kali, barulah menyusul kata “mana” di belakangnya. Awalnya kami pikir, hal itu hanya terjadi sesaat saja. Kami pun menganggapnya sebagai kejadian biasa. Tetapi besok dan besoknya lagi masih terulang, maka kami mulai berpikir, pastilah ada sesuatu yang tidak beres dalam perkembangan kemampuan bicaranya.

Beruntungnya kami tidak tinggal di tengah keluarga besar, yang beragam, yang mana tidak mampu kami kontrol perilakunya. Sehingga penanaman metode pengasuhan tidak mendapat campur tangan dari pihak luar. Saat itu kami berdua (saya dan suami) dari awal berumah tangga sudah saling mengingatkan satu sama lain, sesiapa pun untuk menertawai hal-hal tidak lazim yang anak lakukan. Seperti kebanyakan reaksi orang ketika mendapati anak cadel misalnya, mereka biasanya ikut mengulang kata-kata cadel si anak. Lalu diakhiri dengan ekspresi tertawa. Karena muncul reaksi ketawa dari sekelilingnya, bagi anak hal itu identik dengan sesuatu yang disenangi. Yang mana akan mereka ulang-ulangi walaupun salah. 

Atau boleh jadi juga anak akan merasa ditertawai sehingga membuat dia justru akan merasa tegang dan akhirnya semakin banyak membuat kesalahan. Ini berlaku untuk ketawa yang dibarengi dengan komentar menjatuhkan di dalamnya. Orang dewasa perlu menyadarinya. Sebab jika tidak, kondisi tersebut akan semakin berat. Bukannya pulih, yang terjadi justru anak akan semakin sulit untuk dinormalkan.

Apa sesungguhnya penyebab anak bisa gagap pada usia tiga tahunan? Menurut ahli, kondisi tersebut terjadi dikarenakan kapasitas berpikirnya melampaui kecakapan bicaranya, juga karena perbendaharaan katanya yang masih sangat terbatas. Pengetahuan tersebut kami dapat dari hasil membaca sebuah buku pengasuhan. Alhasil setelah memahami alurnya, kami jadi lebih tenang dan mampu bersabar mendengarkan putri kami menyelesaikan kalimatnya tanpa disela sedikit pun.

Terapi mendengarkannya hingga akhir kalimat itulah yang akhirnya berhasil memulihkan kemampuan bicaranya bisa kembali normal seperti sedia kala. Betapa luar biasanya terapi mendengar ini.

Ingin didengar, tidak mau mendengar

Jika saya ditanya saat ini, apa jurus ampuh yang perlu dipraktikkan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Entah dengan anak, dengan pasangan, ataupun dengan orangtua. Maka jawaban saya adalah kecakapan mendengar. Bukan mendengar kosong yang hanya terlihat seolah-olah saja, tetapi yang sungguh-sungguh mendengar kata demi kata dan menyimaknya, mengolahnya masuk ke dalam pikirannya. Tidak mudah, tetapi sangat berharga untuk dilakukan. Banyak orang tidak menyadari bahwa kekuatan pengaruh kita terletak pada kemauan mendengar. Mereka pikir memengaruhi orang lain itu tercipta saat mereka bicara, dan orang tersebut mendengarkan mereka. Sepintas sepertinya betul. Namun pada hakikatnya justru sebaliknya yang terjadi.

Saat seseorang didengarkan, harga dirinya terangkat. Dan ketika harga dirinya terangkat, maka ia akan sangat senang dan boleh jadi akan memenuhi apa yang jadi keinginan kita. Bukankah kita sebagai pendengar telah berhasil memengaruhi dia? Seperti itu pula yang terjadi dalam dunia anak-anak. Olehnya itu, jika orangtua ingin si anak mematuhi perintahnya, tidak melakukan hal-hal yang tidak disenangi, maka banyak-banyaklah mendengarkan mereka. Bukan justru anak-anak itu yang disuruh terus-menerus mendengar orang dewasa.

Setelah orangtua mencontohkan dengan mendengarkan anak-anak, sebaliknya mereka pun akan meniru perilaku tersebut, turut mendengar ketika orangtua mereka berbicara dengan mereka. Sesederhana itu siklus yang perlu dilakukan. Adapun soal materi apa yang akan didengar, itu urutan berikutnya. Intinya adalah kemauan mendengar terlebih dulu. Perlu lebih sabar, lebih menyediakan waktu, dan mau menurunkan ego, meluaskan hati untuk memuliakan mereka. Dengan cara mendengarkan mereka.

  • Bagi penyuka hari libur, angka merah – kadang juga hijau, tapi lebih populer dengan istilah “tanggal merah”– di kalender adalah waktu yang paling dinanti. Dan, di pekan pertama bulan Mei 2016, benar-benarlah berkah bagi banyak orang. Soalnya, pada tanggal 5-6, diganjar sebagai hari libur nasional. Latar penetapan libur itu, dutujukan sebagai peringatan akan dua peristiwa…

  • Kelas dimulai dengan suara abaaba Hajir, itu tanda forum dibuka. Setelah mengucap beberapa kata, orang pertama yang membacakan tulisannya adalah Asran Salam. “Cinta Seorang Kierkegaard,” begitu Asran Salam mengucapkan judul tulisannya. Agak lama ia mengeja tulisannya. Sekira hampir sepuluh menit. Setelah itu, satu persatu mata mempelototi naskah yang dibagikannya. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah…

  • Tidak banyak insan yang mengisi hari libur dengan berbagi kepada sesama. Sebab, bagi kebanyakan orang, liburan adalah buat keluarga, atau setidaknya, menjadi ajang memanjakan diri, mengurus soal-soal pribadi. Tapi, bagi empat pembicara di Seminar Nasional yang bertajuk: “Narasi Kepustakawanan dalam Gerakan Literasi”, yang diselenggarakan oleh IKA Ilmu Perpustakaan dan HMJ Perpustakaan UIN Alauddin Makassar, memilih…

  • Ada apa dengan angka  60 (enam puluh)? Yang jelas, tidak ada kaitan erat dengan film  Ada Apa dengan Cinta (AADC)2, yang lagi ramai diobrolkan dan penontonnya masih antrian mengular. Pun, angka 60 ini, bukan merupakan usia kiwari saya, sebab saya masih harus melata sebelas tahun untuk tiba di angka itu. Semuanya bermula dari rilis yang…

  • Orangorang berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis.  Suatu tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya perlu ada seribu kesabaran. Kelas literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221