—mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono
SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada “loh batu”: imaji jadi teks, teks jadi jejak—penanda keberadaan.
Umberto Eco filsuf dan novelis Italia, tatkala menelaah puisi William Wordsworth penyair Inggris, Umberto berpendirian demikian, bahwa sewaktu pembaca tiba pada frasa “a poet could not but gay, seorang penyair hanya bisa bergembira.” Sebetulnya, akui Umberto, para pembaca tengah menjelajah “dunia” Wordsworth. Itu artinya, sebiji puisi bila dikuak, tak lain upaya “jelajah” diri penyair—subjek yang berdiri di belakang karya itu.
Menjelajahi hutan puisi Sapardi
Sebuah konklusi saya ajukan; jika ingin kenal betul “siapa” Sapardi Djoko Damono, maka bacalah kumpulan puisi DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1959 – 1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (1999). Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2002), Kolam (2009), Mboel: 80 Sajak (2020).
Sapardi penyair tersohor Indonesia ini lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta, dan wafat pada 19 Juli 2020 di Tangerang, tepat ketika berusia 80 tahun. Ia telah meninggalkan sebelas buah buku puisi, untuk kita, adalah “sari” dirinya, yang enteng kita gali. Tentu, yang “tersembunyi” di belakang, bisa “diungkap”.
dari jemariku yang papa
kau pun menjelma secara gaib wahai nurani alam
(Kepada Sebuah Sajak, Tonggak 2)
*
“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.
Gila:
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengarkan apa pun
secara terperinci—setiap kata, setiap huruf
bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-
baiknya apa yang dibisikkannya
kepada diri sendiri
(Telinga, 1982)
Pada puisi Kepada Sebuah Sajak, Tonggak 2, kita jumpai suatu hubungan genealogis, yang diakibatkan pertalian asal-usul. Dari jemariku yang papa kau pun menjelma, frasa inimenujukkan sebuah struktur otonom yang saling terikat. Hubungan “sedarah” ini, oleh sosiolog Lucien Goldmann, disebutnya “struktur genetik”. Sebab, bagi Goldmann karya adalah jejak pengarang merespons “keadaan”—“peng-alam-an, yang dikorek dari habitusnya.
Puisi Telinga, 1982 adalah peta yang menuntun kita jelajahi “diri” Sapardi Djoko Damono. “Masuklah ke telingaku,” kiranya Sapardi mengajak pembaca masuk mendengarkan apa pun secara terperinci: bumi, laut, planet, waktu, angkasa, nol, musim, cuaca, gerak, dan cahaya.
Sapardi laiknya Albert Einstein atau Stephen W. Hawking mendialogkan semesta raya. Pasalnya, puisi-puisi Sapardi memberi segenap pembaca telinga dan mata tambahan: mendengar dan melihat benda tak kasat, sebagaimana diberi teleskop dan mikroskop.
Itu sebab, saya berpendapat, bahwa Sapardi itu penyair yang “saintis”. Keilmuwan Sapardi, adalah kemampuan menerangkan hal-hal pelik, dengan bahasa sederhana. Sapardi melukiskan sesuatu secara konkrit, dengan idiom dan metafora yang enteng. Walaupun ihwal yang dicakapkan Sapardi, dahsyat dan rumit. Namun dahsyat dan rumit itu, ditangannya, tidak sukar kita simak.
Nirwan Ahmad Arsuka mendaku dalam esai Sapardi: Geometri dan Memori. Bahwa yang dikerjakan penyair besar, adalah pemberian “hidup” pada benda-benda sepele: pada angin, pada burung, lampu jalan, kabel telepon, dll. Pemberian “hidup” ini bisa juga dilihat sebagai penciptaan.
Membaca Sapardi: Geometri dan Memori, sebetulnya, Nirwan mengajak kita jelajahi wajah perpuisian, yang pelan-pelan bergerak meninggalkan masa silam, yang dikepung puisi-puisi heroik, menuju khazanah perpuisian yang inovasi dan eksperimen. Dan Sapardi, kata Nirwan, telah menemukan perangkat literer baru, yang lebih canggih dari rima, yakni meramu khazanah matematika: barisan geometri dan simetri terbalik, dalam puisinya.
Artinya, Sapardi bergerak dari pengolahan peng-alam-an subjektif personal berupa gejala-gejala mikrokosmos; bahagia, sedih, harapan, dan kecewa. Menuju kematangan meramu peng-alam-an objektif universal seperti gejala-gejala makrokosmos; menyelidiki asal-usul, struktur dan hubungan ruang waktu—inilah tabiat para ilmuwan.
Saya jadi ingat nasihat Adonis penyair Suriah itu. Baginya, puisi menyediakan pengetahuan yang lebih tinggi, tinimbang ideologi-ideologi. Seorang penyair, saran Adonis, harus membangun wacana ilmu pengetahuan dalam puisi-puisinya. Inilah “pencipta” yang transformatif. Tentunya, Sapardi telah meletakkan “pondasi” itu. Sapardi bergerak membawa puisinya dari pengalaman subjektif personal, menuju objektif universal.
Dan ihwal yang lebih penting, saya kira, Sapardi telah membebaskan puisi dari “tapal batas” definisi perkakas dan taktik penyair nyatakan maksud. Menjadi sebuah keranjang mewadahi “nalar” pengetahuan rasional. Sebab, sebiji puisi diramu Sapardi bisa menafsirkan sebaik-baiknya suatu fenomena alam. Justru demikian itu, mudah kita cerna, ketimbang laporan penelitian.
apa yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara
tinggi, ringan, dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin;
kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan
menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun,
melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah,
dan kembali ke bumi… bercakap tentang lautan.
(Hujan Dalam Komposisi 2, 1969)
*
Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu
ia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahan-dahannya
yang tua
yang telah mengenal baik; kau tahu,
segala perubahan cuaca.
Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar
hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar
dan mekarlah bunga itu pelahan-lahan
dengan gaib, dari rahim alam
Jangan; saksikan saja dengan teliti
bagaimana Matahari memulasnya warna-warni,
…
(Sonet: Hei Jangan Kaupatahkan!, 1967)
Sapardi: percakapan tentang semesta
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu cuaca…
(Kita Saksikan, 1967)
Goenawan Mohamad, menulis sebuah catatan di Majalah Tempo, 25 Juli 2020, Kata dan Pengalaman: Sebuah Penghormatan untuk Sapardi Djoko Damono. Puisi Sapardi menembus kembali hal-hal alami dari dunia. Ada situasi terkesima di tiap bait, seakan-akan sang penyair melihat dunia buat pertama kalinya. Ia mirip anak-anak—atau juga seorang Einstein di depan tamasya kosmologis: kreativitasnya bermula dari ketakjuban.
Goenawan tidak sepenuhnya keliru menyebut Sapardi, “Einstein”. Lantaran penyair itu tak sekadar membuat pembaca terkesima pada: idiom, citraan, dan metafora. Juga takjub pada eksperimen—melibatkan pembaca dalam tualangnya kita saksikan burung-burung lintas di udara—sebuah pesona yang menarik siapa pun menuju jelajahnya, kita saksikan awan-awan kecil di langit utara. Tak cukup di situ, ia menyibak kulit gejala waktu cuaca…dan memberi jawaban pada hal-hal sepele.
ia turun dari ranjang lalu bersejingkat dan membuka jendela
lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa
gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di
luar semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada
yang lewat memberitahukan hal itu padanya…
(Catatan Masa Kecil, 1971)
Dunia anak-anak adalah dunia “bermain”— suatu fantasi, sekaligus kerumitan. Kita tahu, di sana “imaji” terbentuk secara natural, sepotong demi sepotong. Melalui puisi Catatan Masa Kecil, 1971. Saya berkeyakinan Sapardi menumbuhkan bakat ilmuwan sejak masa kanak. Ia, seorang bocah meninggalkan kesenangan bermain layang-layang, turun dari ranjang demi sebuah tualang menakjubkan: “apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di luar semesta.
Larik-larik di atas, bukti kematangan sebuah perenungan. Puisi yang baik, kata Martin Heidegger, bisa menciptakan perenungan. Sebagamana lazimnya penyair, Sapardi bahkan melampaui itu; ia geliat menggali “orisinal”—“inti” sesuatu, termasuk dirinya, atau di luar dirinya. Menyibak yang tersembunyi dan mempertanyakan yang susut.
Perenungan “inti” muasal dimulai abad ke-6 SM, oleh Thales. “Apa inti alam semesta?” pemikir dari Miletos itu, berpendapat: “air” sebagai inti alam semesta. Bagi Thales, air adalah sebab yang pertama sebuah kehidupan. Gagasan ini, jadi lebih “logis” di tangan sekelompok ilmuwan, abad ke-20. Sebut saja, Fred Hoyle, Bandi, dan Gold. Menurut para “saintis” ini, “90 persen materi—inti alam semesta adalah hidrogen”—air.
aku adalah air,” teriakmu, “aku ganggang adalah lumut adalah
gelembung udara…
(Akuarium – 1972)
Pada puisi Akuarium, saya melihat kesamaan pandangan antara Sapardi dan Thales pemikir dari Miletos itu. Thales berkata: air sebagai inti alam semesta. Maka Sapardi mendaku: aku adalah air,” teriakmu, “aku ganggang adalah lumut adalah gelembung udara…Seeokor ikan kecil hidup dalam akuarium semacam alegori dipakai Sapardi menegaskan inti muasal.
Belakangan Perenungan “inti” muasal ini, dijawab Stephen Hawking, yakni “hukum fisika”. Bagi Hawking, andai bukan karena serangkaian hukum fisika, manusia dan bentuk-bentuk kehidupan menyerupainya tak bakal ada. Artinya, hukum fisika sebagai “sumber” yang menciptakan benda dan organisme. Namun, jauh sebelum itu, Isaac Newton, memberi kita kepastian: “hukum fisika—gravitasi, hanya menjelaskan pergerakan planet-planet, tidak bisa menjelaskan siapa yang menggerakan planet itu.
siap menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siap mengertap di bunga layu
…
siapa meledak dalam diriku
:siapa aku
(Sonet: X, 1968)
Puisi Sonet: X, 1968: Siapa meledak dalam diriku/siapa aku semacam meditatif menyibak batas stetoskop dan mikroskop “ragu-ragu” memberi kita jawaban akan sumber kehidupan. Tapi dijawab Sapardi dalam puisi Kepada I Gusti Ngurah Bagus: dewa yang telah menciptakan bunga, dewa yang telah menciptakan gadis…”
Dalam kumpulan puisi Ayat-ayat Api, Sapardi membawa pembaca menjelajahi fantasi: waktu, ruang, gerak, dan cahaya—sebuah relasi terbangun secara alamiah, dengan manusia. Selain itu Sapardi semacam melarai silat pikir antara fisikawan abad ke-19 dengan pemikir mutakhir Albert Einstein mengenai konsep cahaya.
Cahaya memerlukan “eter”, suatu zat antara menggerakkan semua benda di angkasa dan eter itu harus diam mutlak. Maka Einstein, menolak eter. Baginya, tak ada ruang atau benda mutlak. Kita tahu pada akhir polemik, Einstein menjungkir-balik konsep “diam mutlak” dengan sistem “gerak relatif”. Dan saya kira, Sapardi menulis pendapatnya dalam puisi Di Depan Pintu:
di depan pintu: bayang-bayang bulan
terdiam di rumput. Cahaya yang tiba-tiba pasang
mengajak pergi
menghitung jarak dengan sunyi.
(Di Depan Pintu)
*
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi
ia sangat cermat dan pasti
…
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari
“Ia tahu hakikat waktu,”
…
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tadak kedengaran lagi
(Dongeng Marsinah, 1993-1996)
Puisi Dongeng Marsinah berpijak pada hakikat waktu—sesuatu yang menandai “eksistensi”: keberadaan sebuah manusia. Andai St. Agustinus, menganggap waktu semacam “paradoks”—tak bisa didefinisikan atau diatur, maka Sapardi membilangkan waktu “tak pernah kompromi ia sangat cermat dan pasti.” Namun terkadang yang “pasti” ini diabaikan manusia—luput dari perhatian manusia. Kondisi ini digambarkan Sapardi, “mereka kira waktu bisa disumpal agar lenkingan detiknya tadak kedengaran lagi”. Atau dalam frasa paradoksal, seperti dalam puisi Lanskap, “waktu hari hampir lengkap” sedang kita “menunggu senja”.
Syahdan, puisi Sapardi ibarat bakul yang mewadahi pesona pengetahuannya. Ruangan yang ada dalam sepatah kata ternyata mirip…Sapardi. Itu sebab saya berkesimpulan, Sapardi Djoko Damono: penyair cum ilmuwan dengan kesederhanaan gaya ungkap. “Ia mirip anak-anak—atau juga seorang Einstein di depan tamasya kosmologis: kreativitasnya bermula dari ketakjuban…,” ujar Goenawan Mohamad.
Sumber gambar: Kompas.com
Ishak R. Boufakar/Lelaki Laut lahir di Kian Darat, 23 Juli 1992. Puisi-puisinya termuat dalam Antologi Puisi 250 Cinta Terpendam (2016). Tinggal di Ambon dan bergiat di KLPI Makassar.