Sampah Plastik dan Tindakan Sederhana

Pagi masih buta, saya sudah dijemput oleh mobil angkutan langganan, yang akan membawa balik ke Makassar, setelah berakhir pekan di Bantaeng. Entah yang keberapa kalinya saya melakukan perjalanan ini, yang pasti, saya lebih banyak menggunakan angkutan umum, setelah saya kurang kuat lagi naik motor. Waima begitu, semuanya berjalan lancar, dengan mengeluarkan uang sewa sebesar empat puluh ribu rupiah, saya sudah mendapatkan jatah satu tempat duduk dan berkuasa penuh atasnya.

Apatah lagi, oleh mobil langganan saya, selalu diberi fasilitas duduk di depan. Dan, leluasalah  melihat kejadian-kejadian sepanjang perjalanan, termasuk  menyaksikan mobil Toyota Fortuner, bernomor polisi dua digit, yang kalau diperhatikan akan terbaca nama si pemilik. Saya yakin, orang mengendarai mobill itu orang berpunya, namun sayang penumpangnya membuang sampah seenaknya di jalan. Sampah makanan itu beterbangan, menumbuk aspal, membuat pikiran saya berkecamuk. Membatinlah saya, ternyata, keberpunyaan seseorang, tidak selalu terdidik dengan baik, setidaknya di ranah kebersihan.

Beberapa waktu lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan surat edaran Nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Konsumen harus membayar Rp 200 untuk kantong plastik yang digunakan. Begitu urgennya masalah ini,  sampai-sampai pemerintah harus menerbitkan secarik kertas bertuah, walau belum tentu tuahnya menuahkan buah kesadaran bagi masyarakat. Ini sejenis tindakan besar, yang harus ditindaklanjuti, bukan sebaliknya, mengakali agar aturan ini tidak tegak. Bumi yang kita pijaki ini, merupakan titipan generasi berikutnya, telah berada dalam darurat sampah plastik.

Dulu sewaktu masih di Sekolah Dasar (SD), saya sering menemani  ibu belanja ke pasar. Bawa keranjang belanjaan. Bila ikannya kecil-kesil, semisal ikan teri, maka penjualnya membungkus dengan daun pisang atau daun jati kering.

Bertahun-tahun saya menemani ibu belanja, nyaris tak menemukan sejenis kantongan plastik. Memang, waktu itu belum ada kantong plastik. Tapi, apakah mungkin laku ke pasar dengan bawa keranjang, yang penggunaanya bisa tahunan, tidak bisa dibiasakan lagi?

Di rumah, saya nyaris bertanggung jawab penuh soal sampah. Maka saya pun bertindak seperti pemulung yang mengangkangi tong sampah  dekat rumah. Mereka mensortir  sampah dengan mengelompokkan menjadi sampah kertas-kardus, plastik  yang masih punya nilai ekonomis dan sisanya ke TPA. Saya menduplikasi tindakan para pemulung itu di rumah. Sampah saya sortir  menjadi sampah kertas- kardus, palstik-kaleng, plastik yang sekali pakai dan sampah dapur atau  yang bisa terurai. Setelah terkumpul, biasanya sekali sebulan, saya memanggil pemulung untuk mengambil sampah saya.

Kertas-kardus, sekarung botol plastik dan kaleng. Sampah plastik yang tidak bisa saya gunakan lagi, saya kumpulkan untuk dikirim ke tong sampah. Sampah dapur saya jadikan bahan timbunan di sepetak tanah belakang rumah, sekaligus menjadi pupuk buat tanaman pepaya, pohon kelor dan sirsak.

Lelaku tersebut, saya sudah lakoni beberapa tahun terakhir ini, saya pun menjadi akrab dengan beberapa pemulung yang sering memulung di dekat rumah. Selalu saja ada senyum sumringah dan ucapan terimakasih yang saya peroleh darinya, sebagai upah bagi saya karena telah membantunya. Pernah seorang anggota keluarga mengusulkan agar menjualnya ke pemulung, tapi tegas saya nyatakan, seharusnya malah kita harus membayar pemulung itu karena telah berjasa mengurangi dampak sampah plastik.

Di tempat kerja saya, selaku penjaga toko buku, saya tetap menyiapkan kantongan  plastik, baik yang masih baru maupun yang sudah pernah dipakai.  Dan, saya tidak menawarkan kantongan plastik bila ada yang beli buku, kecuali sang pembeli memintanya.  Tapi, kalau ia bawa tas, ransel misalnya, saya sarankan memasukkan saja ke ranselnya. Terkadang pula, kantong plastik yang datangnya dari berbagai arah, bila ada waktu, saya cuci bersih, lalu  saya gunakan lagi, atawa saya serahkan pada penjual ikan langganan, agar menggunakannya lagi. Ini semua hanya tindakan sederhana. Namun, Imam Ja’far as-Shadiq telah bersabda; “ Kesederhanaan lebih dekat pada kebenaran.”. Artinya, tetap dibutuhkan tindakan-tindakan sederhana, bukan?

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221