Sang Tamu

Adakah kerinduan yang melebihi kerinduan seorang penanti, bila sebelas bulan kepergiannya akan datang bertamu lagi?  Begitulah Ramadan, salah satu bulan yang dinanti bagi perindu. Bulan Ramadan, merupakan bulan ke-9 dalam kalender Islam, . Jika tidak ada yang merintanginya – pastilah tak ada yang menghalanginya –  pekan terakhir bulan ini, sang Bulan, yang dinisbahkan sebagai bulannya umat Muhammad SAW, hadir menyata. Bukan saja yang bernama Ramadan atau Ramadani yang beriang bahagia, tapi sekaum penunggu akan mempersiapkan diri menyambutnya.

Aneka cara para perindu menyambutnya. Ada yang pergi rekreasi pada hari Ahad terakhir, atau tanggal merah lainnya, karena menurutnya selama bulan Ramadan, tak elok bersukaria, hura-hura. Pun, ada jua yang mulai menghitung anggaran pendapatan dan belanja selama Ramadan, hingga prediksi lebarannya. Penjual songkok aneka model mulai bertebaran di seantero negeri. Pengurus masjid membenahi segala macam asesori pendukung kegiatan bulan suci, termasuk menetapkan tarif buat penceramah tarawih. Segenap penceramah mulai memilih dan memilah, masjid mana yang akan disahuti undangannya. Pengelola panti asuhan segera menggandakan proposal permintaan zakat, infak dan sedekah.

Namun, yang paling siap menyambut, bahkan sepekan sebelum datang sang tamu, prakondisi penyambutan sudah ditabuh gendrangnya. Tengoklah pasar-pasar tradisional, sampai mall-mall, sudah berlomba membentangkan iklan, akan janji kenyamanan dan harga diskon. Tengoklah saluran TV, lebih siap lagi dengan seabrek program yang ditawarkan, 24 jam, mulai dari buka puasa sampai buka puasa lagi. Dan, tak boleh disepelekan, para pengusaha kuliner dadakan, jajanan buka puasa, pun jauh lebih sigap memanfaatkan rasa haus dan lapar kaum yang berpuasa.

Selaku perindu, saya pun tak ketinggalan melakukan penyambutan. Dua atau tiga hari sebelum ketetapan Ramadan diumumkan, saya akan melakukan ziarah kubur, ke makam kakek-nenek, abba (bapak)-amma (ibu), dan paman-tante, serta kerabat lainnya. Pun, tak lupa silaturrahim, bertandang ke sanak keluarga, memohon maaf, saling mendoakan agar dalam menjalankan ibadah puasa, berberkah adanya. Dan, tak ketinggalan, suatu ritus yang sudah bertahun-tahun saya jalani, melibatkan keluarga kecil saya, berupa membeli seekor ayam kampung, disembelih sehari sebelum puasa, tepatnya, disantap pada saat sahur pertama secara berjamaah.

Sekali waktu, entah Ramadan tahun berapa, saya sudah lupa. Ketika itu, salah seorang cilik di mukim bertanya pada saya, “mengapa mesti potong ayam kampung setiap menyambut bulan Ramadan?” Pertanyaan semacam ini, cukup membuat kesulitan saya menjawab. Bukan karena saya tidak punya jawaban, melainkan bagaimana menjelaskan kepada seorang cilik — yang sebenarnya amat suka pada ayam– tentang ritus ini. Jawaban pun saya sederhanakan, bahwasanya Ramadan itu selaku tamu agung yang mesti disambut penuh kebesaran jiwa. Dan, sebagai penghargaan pada sang tamu, selayaknyalah menyajikan menu terbaik, meski makanan itu, kita semua yang menyantapnya.

Prihal asal muasal ritus potong ayam kampung, sahur berjamaah dengan menu ayam ini adalah warisan dari keluarga pihak saya. Abba ( Ayah) dan Amma (Ibu) saya berlaku serupa tatkala  bulan suci ini tiba. Namanya kebiasaan, lalu menjadi tradisi keluarga, rasanya, agak ganjil bila tak melakukannya. Jadi, ini tidak ada kaitannya dengan perintah yang punya dalil keagamaan. Semata-mata menggembirakan diri, karena bulan Ramadan mengada lagi dan masih bisa bersua, menjalani berbagai suguhan festival ibadah yang dikandungnya. Sekaligus, sebagai salah satu cara mengenang kembali akan kebersamaan, tatkala orang tua dan sanak saudara masih berkumpul dalam satu keluarga lengkap.

Hari pertama Ramadan selalu saja mengundang tanda tanya kapan kepastiannya, mengandung misteri penetapannya. Ini soal metode penetapannya yang masih menghargai perbedaan metode penetapan, sehingga perbedaan memulainya, memungkinkan ada perbedaan di kalangan umat Islam. Yang pasti, Ramadan akan datang sebagai tamu agung di tahun ini, pada pekan terakhir bulan ini. Bagi cilik saya di rumah, tak soal kapan dimulainya, mau sama atau berbeda, toh selisihnya hanya sehari. Nanti  menjadi soal besar, bilamana tak ada menu ayam kampung di sahur pertama. Bisa-bisa tamunya ngambek, bersama si cilik, dengan lakon belum ingin berpuasa, sebab sang tamu enggan datang, karena tiada ayam di meja makan.

 

 

 

  • Sair wa suluk. Lorong khusus bagi pelancong rohani. Ramadan sebagai sair wa suluk adalah wahana khusus bagi manusia yang mengkhususkan diri untuk melancong menuju Tuhannya. Bagi mereka Ramadan bukan Ramadan biasa, Ramadan adalah hamparan jalan sutra cahaya yang dengan jalan ini Tuhan memperjalankan hamba-Nya untuk hadir di haribaan-Nya. Ramadan bukan jalan untuk mereka lalui dengan…

  • Konon dunia olah raga mesti dipisahkan dari politik, termasuk sepak bola, permainan kolektif paling banyak digandrungi di muka bumi saat ini. Pernyataan ini nampak aneh untuk tidak mengatakannya naif. Kiwari, sepak bola modern bukan lagi sekadar olah raga, tapi sudah menjadi industri, budaya, dan bahkan identitas, yang karena itu ketiga dimensi ini bertalian pula dengan…

  • Kurang lebih sepekan lalu kami kedatangan tamu yang telah dinanti berhari-hari sebelumnya. Beberapa buah kardus berisi buku “Gemuruh Literasi” beriring-iringan masuk ke tengah ruangan toko, mencari tempat ternyaman untuk mengaso. Rupanya lantai yang berposisi di bawah kipas angin menjadi tempat aman untuk beristirahat. Sembari menanti tangan-tangan pembeli datang meminangnya. Senyum paling lebar tentu saja datang…

  • pamer harta itu adalah hal yang tak baik, dari sudut pandang apapun, tapi sebagai pejabat publik bukan disitu pangkal persoalannya. Pemerintah semestinya berfokus pada ketakwajaran harta kekayaan pejabat dan pegawainya, bukan pada sikap pamernya.

  • Menurut hadis, di ujung puasa, dua kenikmatan menanti: santap berbuka dan bertemu Tuhan. Ini keren sekali. Dapat dua sekaligus. Sekali rengkuh puasa langsung dapat dua, kenikmatan lahir dan kenikmatan batin. Makan yang enak cita-cita tinggi manusia materi bumi. Bertemu Tuhan cita-cita tertinggi manusia cahaya langit. Melalui puasa dua jenis manusia yang menyatu dalam satu tubuh…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221