Ramadan, Serona Festival Jiwa

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kama agar kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183)

Alkisah, ketika saya memelihara beberapa ekor ayam kampung di belakang rumah, bertahun yang lalu, saya benar-benar larut dalam kepengurusan ternak ini. Sehingga, mengerti dan sekaligus mengalami, detail dari proses bagaimana sang induk dikawini, bertelur, mengerami dan menetasnya telur, lalu anak-anak ayam menyata. Selama mengerami, yang memangsa waktu kurang lebih 21 hari, ada prilakunya yang membuat saya amat takjub. Sang induk sepertinya menjalani puasa, setidaknya persentase makan dan minumnya berkurang dari hari ke hari. Dan, selama mengerami telur, enggan melakukan senggama.

Selama masih bertelur, sang induk masih biasa saja. Setelah mengeluarkan telurnya, pun lalu bergaul seperti biasanya. Prilaku mulai berubah, tatkala sang induk mulai mengerami telur-telur itu. Pekan pertama, setiap hari masih meninggalkan telur-telur itu. Setiba di pekan kedua, makin jarang meninggalkan telur-telurnya. Sesekali saja cari makan dan minum. Pada pekan terakhir, nyaris tak meninggalkan lagi telurnya. Konsentrasi maksimal dijalani demi menanti tetasnya telur. Dan, hingga tiga hari berikutnya, sang induk belum juga cari makan dan minum, masih setia menghangati anak-anaknya yang baru lahir.

Bertolak dari proses ayam yang kawin, bertelur, mengerami telurnya hingga menetasnya telur, lalu mengadanya anak-anak ayam, saya lalu membatin, sepertinya sang induk menjalani tapa laku, sejenis puasa, yang makin hari makin intens, demi kelahiran sang anak ayam, selaku makhluk baru, yang bakal menjalani siklus kehidupan yang ditetapkan padanya. Ini sejenis penanda, bahwa manakala akan ada kelahiran makhluk baru, selalu diawali oleh ritus-ritus yang mengorbankan kenyamanan jasmani, demi kepentingan ruhani.

Berpuasalah agar kamu bertakwa. Buah dari berpuasa adalah takwa. Derajat takwa, serupa dengan kualitas spiritual. Dan itu bersetuju dengan dimensi keruhanian. Jadi, sejatinya puasa adalah mengabaikan jasmani demi pencapaian ruhani. Dalam menjalaninya, semua yang berbau jasmani dibatasi pemenuhannya. Mulut, lidah, kelamin, mata, telinga, tangan, kaki dan berbagai pernak-pernik jasmani lainnya direm penggunaannya. Makan, minum, berbicara, melihat, mendengar, melangkah, menggapai, dan bersetubuh diatur sedemikian rupa, demi peningkatan ruhani.

Semua perintah yang ada kaitannya dengan puasa Ramadan, selalu berdimensi keruhanian untuk memelihara jiwa. Perbanyak membaca al-Quran, shalat malam, berzakat-infak-sedekah, memberi buka puasa, dan lainnya, selalu berdimensi jasmani namun bermuara ruhani. Jasmani yang bersifat ragawi itu, benar-benar berfungsi selaku titian untuk meraih keagungan jiwa dan mencapai kemegahan ruhani. Pendeknya, jasmani yang ragawi, hanyalah alat– bukan tujuan– untuk meladeni tuannya yang berupa ruhani nan berjiwa suci.

Akan halnya realitas Ramadan, yang di dalamnya aktivitas puasa menjadi ikonnya, bagi sebagian besar umat, justru yang mengemuka adalah mempertontonkan laku jasmani yang maksimal. Berpuasa, sekadar menggeser jam makan dan minum. Tontonan di berbagai media, jauh dari tuntunan, tak lebih dari hiburan sambil menunggu berbuka. Sepanjang malam, jauh dari bersepi-sepi, melainkan kegaduhan yang menyeruak. Singkatnya, jauh lebih sibuk mengurus jasmaniah, tinimbang ruhaniahnya.

Padahal, sesarinya Ramadan adalah festival bagi jiwa untuk terbang menggapai dimensi keruhanian, agar di akhirnya nanti, bilamana puasa berakhir dan Idul Fitri menyata, lahirlah manusia yang kembali pada fitrahnya, manusia suci seperti baru dilahirkan kembali.Namun, apa lacur, di pucuk Ramadan justru puncak kepengurusan pada jasmani makin mendesak. Maka, Ramadan selaku festival bagi jiwa, mewujud menjadi festival pemenuhan raga. Ironisnya, malah di puncak penantian kelahiran makhluk baru, manusia dengan jiwa baru, pada hari lebaran, yang baru hanyalah busana dan yang serumpun dengannya.

 

 

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221