Dari Gugatan ke Gugahan

Empat hari jelang perayaan Hari Kemerdekaan RI yang ke-71, hari Rabu, 17 Agustus 2016, saya diundang untuk menjadi pembicara pada persilatan pikiran, acara serupa sosialisasi, yang dilaksanakan oleh KKNR ke-93 Unhas, bertempat di Tribun Pantai Seruni Bantaeng. Persamuhan yang dihadiri oleh Sekda Bantaeng, Abdul Wahab dan Pelaksana Tugas Dikpora Bantaeng, Muhammad Asri, mendedahkan tema: Penanaman Kearifan Lokal dan Keagamaan Sejak Dini.

Di sela-sela apitan dua petinggi itu, sesekali ada diskusi bisik-bisik tentang perkembangan daerah yang dikawalnya. Sepintas, saya menangkap ada kegundahan yang menghidunya. Sebab, belakangan ini, tidak sedikit hujatan yang samar, tepatnya, gugatan yang dialamatkan pada pemerintah. Baik skalanya dalam lingkup lokal, regional maupun nasional. Pokoknya, mulai dari Kades-Lurah, Camat, Bupati-Wali Kota, Gubernur hingga Presiden dan menterinya, terterungku dalam pusaran gugatan.

Menyoal soal gugatan pada para penguasa, saya lalu teringat kembali pada buku lawas, yang ditulis oleh Bung Karno, sebagai pledoinya atas penjajahan kolonial belanda, Indonesia Menggugat. Apa yang digugat oleh Bung Karno? Kolonialisme yang mengangkangi wilayah Nusantara. Dan, hanya satu yang diperjuangkan, kemerdekaan buat masyarakat Nusantara, yang mewujud menjadi Indonesia, baik selaku bangsa maupun negara. Buah dari gugatan itu, lahirlah bangsa Indonesia, yang tanah tumpah darahnya, dihimpunkan dalam satu ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi, gugatan menghasilkan kemerdekaan. Dalam gugatan itu, ada bergunung kemarahan, selautan tuntutan, sejagat harapan akan kebebasan dari sekaum anak bangsa yang tertindas. Maka sekotah kekuatan jiwa dan raga dikerahkan untuk mendapatkan kemerdekaan itu. Karenanya, kemerdekaan yang diraih, merupakan kebebasan dari ketertindasan kolonialisme penjajah. Perjuangan menuntut kemerdekaan, serupa dengan gugatan akan kebebasan berbangsa, bernegara dan berbahasa satu, Indonesia.

Pertanyaan klasik pun sering mengemuka, setelah merdeka, apalagi yang mesti dilakukan? Jawaban yang jamak, dan siapapun amat lumrah  mengucapkannya; mengisi kemerdekaan! Memangnya, penjajah itu, benar-benar telah hengkang, sudah lari tunggang-langgang dari bumi pertiwi ini? Jawabannya, secara politik, sering diperdebatkan. Bahkan, tidak sedikit anak bangsa yang menyatakan, bahwa kita terbebas dari penjajahan bangsa asing secara fisik, namun mental selaku bangsa terjajah belum sepenuhnya raib. Apatahlagi, tidak sedikit pula, warisan penjajah itu, pindah ke tangan segelintir anak bangsa yang lain. Sehingga, banyak warga bangsa yang menabalkan, bahwa sesama anak bangsa saling menjajah dan terjajah.

Mestikah kita menggugat? Membangkitkan kembali Bung Karno dari liang lahatnya, guna menohok sesama anak bangsa yang melanjutkan estafet penjajah? Dan, merevisi ulang bukunya, sehingga lahir buku baru yang berjudul, Indonesia Menggugat, Edisi Revisi?  Sebab, yang menjajah dan yang terjajah adalah sesama anak bangsa? Masihkah kita perlu menghimpun kemarahan, sehingga saling hujat menjadi bahasa tuntutan sehari-hari? Atau singkatnya, apakah mengisi kemerdekaan itu dengan saling caci, memelihara dendam, beternak masalah di antara sesama anak bangsa?

Rasa-rasanya, menurut hemat saya, yang perlu dilakukan saat ini adalah menggugah. Semua anak bangsa, selayaknya menghimpun energi untuk saling gugah. Lelaku menggugah, berarti mengajak untuk bangkit. Membangunkan bangsa ini dari keterlelapan tidur di dalam kandang peternakan masalah. Yang membuat masalah, selaku pemegang estafet kolonial dan yang dirundung masalah, kaum terjajah baru, akibat ulah bangsa sendiri, semestinya saling gugah. Memang benar, lelakon dengan cara menggugah, terkesan tidak heroik, jauh dari ungkapan-ungkapan retoris yang menggelegar jagat, membahana buana, seperti pidato Bung Karno dulu, kala menggugat kebebasan untuk kemerdekaan.

Menggugah jauh dari hiruk pikuk caci maki. Hanya ungkapan-ungkapan welas asih yang mengemuka. Saling ajak untuk keluar dari terungku masalah kebangsaan adalah misinya. Menjadi bangsa yang saling menyayangi, penuh toleransi, simpati dan empati merupakan visinya. Bagi saya, di usia NKRI yang ke-71 ini, yang dibutuhkan bukan lagi pidato yang berapi-api untuk kebebasan semisal bung Karno, atau orasi yang menyalak seperti Bung Tomo agar mempertahankan kemerdekaan. Yang terpenting adalah gugahan. Menggugah sesama anak bangsa, yang artikulasinya bisa beragam, guna mengisi kemerdekaan yang masih menganga lubang masalahnya. Kita butuh gugahan dari sosok para penggugah, Indonesia menggugah.

 

 

 

  • Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa…

  • Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya. Sikap…

  • Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai. Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan…

  • Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru. Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun…

  • Awalnya agak ragu kelas menulis PI tidak jadi digelar. Tibatiba hujan datang. Deras. Tapi, selama berlangsung, kelas PI tidak pernah bolong. Sudah hampir tujuh bulan kelas dibuka. Sekarang, yang diuji konsisten. Juga disiplin. Semangat bisa datang, bisa lapuk, bahkan hilang. Kali ini biar bagaimana pun kelas tak boleh gagal. Pasca hujan reda, gegas berangkat. Semangat…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221