Catatan KLPI Pekan 26

Kali ini KLPI didominasi oleh mukamuka baru. Sebagian di antaranya sudah saling mengenal. Sebagiannya lagi malah baru pertama kali bertatap muka. Itu sebab, di dalam forum sebagian yang belum saling mengenal, agak canggung terlibat dalam obrolan yang menjadi percakapan.

Percakapan, seperti biasanya, sering kali malah dimulai dari karya kawankawan yang dipresentasekan. Dari situ, kadang obrolan menjadi serius akibat berkembangnya sudut pandang. Misalnya, satu obrolan yang berangkat dari karya Ma’sum, seorang pemuda dari Luwu.

Ma’sum baru pertama kali mengikuti kelas menulis di Paradigma. Menurut bocoran, info yang dia dapat soal KLPI diawali dari chatingan dengan seorang penulis buku yang kerap diundang KLPI. Isi chatingannya akhirnya menuntunya agar ikut di kelas yang sering digelar tiap akhir pekan ini. Ma’sum kemudian datang. Dia membawa dua tulisan sekaligus, puisi dan sejenis cerpen.

Tulisan yang “sejenis cerpen” itulah yang jadi awal percakapan kawankawan. Dari tulisannya, Ma’sum berkisah tentang perjalan seorang anak yang tumbuh besar dari persusuan bukan ibu kandungnya selama masa menyusui. Anak itu kemudian tumbuh dewasa, dan setelahnya, dengan harapan ingin menjadi orang yang berguna, dia melanjutkan fase hidupnya untuk menempuh pendidikan jauh dari desa kelahirannya yang dikisahkan belum memiliki sarana energi listrik.

Tulisan Ma’sum tidak lebih dari selembar kertas. Tapi, isinya sedikit banyak mampu merangkum sebagian besar perjalan seorang anak dari kecil hingga dewasa. Kalau mau dibilang, tulisan itu mirip dengan bahan dasar ketika orang ingin menulis cerita yang berkembang dengan beragam alur dan lebih panjang, novel misalnya.

Ketika Ma’sum berkesempatan memberikan pendakuannya, ia hanya mengatakan bahwa yang ia lakukan hanya ingin menulis kisah seorang anak yang hidup di pelosok desa, dan kemudian akhirnya mampu melanjutkan hidupnya dengan cara berpendidikan. Begitu kirakira yang berhasil disimpul dari ucapannya. Atau dengan kata lain, Ma’sum hanya mau menulis kisah seorang anak yang ada dalam kepalanya.

Pertanyaannya akhirnya menjurus kepada apakah tulisan Ma’sum bisa disebut cerpen? Atau barangkali bisa juga disebut miniautobiografi? Disebut cerpen karena, setidaknya tulisan itu memuat kisah seorang anak, memiliki latar peristiwa, dan anak itu sendiri sebagai tokohnya.

Disebut miniautobiografi, sebab Ma’sum mendaku, kisah yang ia tuliskan itu, tiada lain merupakan kisah hidupnya sendiri. Walaupun kemudian, mungkin Ma’sum menambahkan unsurunsur rekaan di dalamnya.

Wacana pun berkembang, dari pemahaman yang dibangun dan memang pada umumnya, indikator cerpen setidaknya memuat tiga unsur. Pertama adalah adanya tokoh. Tanpa tokoh, entah itu lewat sudut pandang orang pertama, kedua, atau malah ketiga, suatu cerpen mustahil dapat mengisahkan suatu peristiwa. Yang kedua, seorang tokoh, walaupun itu fiktif, adalah subjek hidup yang memiliki latar peristiwa tertentu. Latar peristiwa inilah yang menjadi elemen kedua di mana dari situ cerita digerakkan. Tanpa latar peristiwa, cerpen malah akan menjadi kisah yang susah dipahami konteksnya.

Elemen yang terakhir adalah konflik. Hidup tidaknya cerita, dinamis tidaknya kisah, lebih banyak ditentukkan oleh konflik di dalamnya. Cerpen yang tanpa konflik, bisa jadi bacaan yang membosankan. Bahkan tidak afdol suatu cerita tanpa dibumbui konflik. Melalui konflik, seorang tokoh cerita akan menjadi hidup karena memuati aspekaspek yang dimiliki manusia seperti cinta, nilai, pandangan hidup, atau pun prinsipprinsip yang diyakini. Melalui unsurunsur inilah, kadang konflik menjadi jalan masuk untuk membentangkan perselisihan antara tokoh maupun siapasiapa yang diceritakan di cerpen yang bersangkutan.

Dari struktur penceritaan, cerpen dibangun atas tiga atau empat tahapan. Pertama, adalah tahapan pembukaan. Kedua adalah awal terjadinya konflik, ketiga puncak konflik, dan terakhir adalah penyelesaian konflik. Struktur ini dikembangkan dari plot yang menjadi aliran penceritaan, yang di dalamnya perwatakan suatu tokoh dapat ditemukan biasanya dari dialog antara tokoh atau diceritakan langsung si pembuat cerpen.

Nah, dari beberapa pengertian sebelumnya, apakah karya tulis yang dibuat Ma’sum adalah cerpen? Atau malah merupakan semacam riwayat hidup?

Sebagaimana Ma’sum, dua kawan lain juga membawa cerpen. Ilyas bahkan membawa tiga cerpen sekaligus, walaupun cuman satu yang diberikan kesempatan agar dibacakan. Cerita yang dikisahkan Ilyas, salah salah satunya adalah cerita tentang suasana pemilihan ketua organisasi di suatu kampus. Dari latar suasana yang dibangunnya, jelas sekali Ilyas mengambilnya dari tempat dia aktif berorganisasi.

Demi menjaga kerahasiaan dari yang dikisahkan, maka Ilyas menggunakan tokoh rekaan demi menyembunyikan motif yang mendasari cerpennya ditulis. Walaupun begitu, jika orangorang yang dikisahkan membaca karangan Ilyas, dapat dipastikan mampu menangkap unsur ekstrinsik yang melarbelakangi unsurunsur intrinsik (salah satunya adalah konflik yang dikisahkan) yang termuat dalam cerpennya. Judul tulisan Ilyas kalau tidak salah mengingat adalah Intrik di Volksraad.

Yang bisa dipetik dari Ilyas adalah, suatu cerita jika mau ditulis, tidak mesti repotrepot mengambil kisahkisah yang jauh dari pengalaman sendiri. Apa yang secara tidak langsung diberikan Ilyas, merupakan salah contoh bahwa kisah suatu cerpen dapat diambil dari kehidupan real, tinggal bagaiamana si pembuat cerita menyusunnya dalam alur cerita tertentu.

Pasca Ilyas, giliran Syarif yang membacakan tulisannya. Perlu diketahui, seperti pendaukuannya sendiri, Kampung Kodok, tulisan yang dibawanya, merupakan karya tulis yang baru pertama kali dibuatnya. Tapi dari bagaimana cara dia memaparkan sturuktur kalimatnya, mendedah ideide kalimat, serta runutan paragraf secara deduktif maupun sebaliknya, kelihatan bahwa Syarif merupakan pembaca buku yang aktif (Tulisan Syarif dapat dibaca di Kala edisi minggu depan).

Yang mesti disimpulkan dari Syarif, terutama bagi siapa pun yang hendak berikrar menjadikan aktifititas menulis sebagai pekerjaan rutin, maka memperbanyak dan memperbanyak bacaan adalah kunci utamanya. Melalui membaca buku, dua pembelajaran dapat ditempuh sekaligus. Pertama, dengan membaca buku, akan sendirinya membantu daya pikir menjadi logis dan sistematis. Membaca buku secara tidak langsung, akan melatih struktur pikiran dalam melihat masalah menjadi runut dan jernih.

Kedua, tiada lain tiada bukan adalah bertambahnya informasi. Beragamnya pengetahuan yang diterima otak, secara biologis tentu akan menyehatkan organ otak. Secara mental, bermacammacam informasi yang masuk secara berlahanlahan membentuk suatu cara pandang dalam menilai suatu kasus. Bahkan, dengan membaca buku, sang pembaca akan banyak menerima beragam sudut pandang yang bisa membawanya pada pandangan yang objektif.

Persoalan lain yang turut dipercakapkan adalah apa beda esai dan opini. Banyak pandangan bermunculan dalam rangka melihat dua jenis tulisan yang kerap dipandang sama ini. Bila ditilik dari buku Inilah Esai, karangan Muhiddin M. Dahlan, esai adalah genre yang bermain diantara dua belahan puisi dan tulisan ilmiah. Esai, yang dalam pengertian umumnya adalah tulisan yang memuat suatu kasus dengan cara pandang tertentu, dalam buku Muhiddin M. Dahlan, seringkali mengandung unsur subjektif dan objektif sekaligus. Esai mengandung unsur intristik karena memuat sudut pandang tertentu dari penulis, dan objektif karena membangun argumentasi yang dipakai dengan cara ilmiah. Esai dalam hal ini terlalu subjektif akan menjadi semacam puisi, dan terlalu objektif akan ebih mirip tulisan ilmiah di forumforum resmi.

Sementara opini, dilihat dari bentuk dan gayanya, tidak jauh berbeda dengan esai. Ada pandangan di dalam forum yang menyebut tulisan jenis opini pada dasarnya adalah esai itu sendiri. Hanya saja diakibatkan dalam konteks penerbitan media massa, esai yang diterbitkan mewakili pandangan umum, maka disebut opini. Itu sebab, dalam perkembangan media massa, tulisantulisan yang masuk mewakili pandangan orang banyak terhadap masalah yang sedang mencuat ditaruh di desktop (kolom) opini.

Pandangan tentang opini berbeda dengan esai, selain karena ditentukan oleh penerbitan media massa, juga dipengaruhi banyaknya kalangan profesional yang menjadi kontributor kolom yang memang disediakan untuk masyarakat. Karena kebanyakan tulisantulisan yang masuk adalah kalangan profesional, maka dengan sendirinya mempengaruhi model dan gaya penulisan itu sendiri.

Akibatnya, gaya yang dipakai adalah jenis bahasa yang mewakili bahasa umum tanpa menghilangkan unsurunsur seperti ketika karya ilmiah dituliskan. Dari situ maka lahirlah jenis tulisan yang kerap dikenal sebagai gaya tulisan ilmiah populer. Disebut ilmiah karena tulisan sering kali menggunakan perspektif keilmiahan, disebut populer karena diperuntukkan kepada semua kalangan dengan bahasa yang lebih ringan.

Sebanyak limabelas orang terlibat di KLPI pekan 26. Kehadiran mukamuka baru sedikitnya bakal membutuhkan keterlibatan kawankawan yang lebih lama berkecimpung di kelas selama ini. Dengan tujuan agar ada pemahamanpemahaman soal tulismenulis yang dapat dipertukarkan, juga bisa langsung menceritakan pengalamanpengalamannya terkait proses kreatif saat mengerjakan satu karya tulis. Alhasil jika demikian adanya, maka emansipasi pengetahuan yang selama ini menjadi prinsip KLPI, cepat atau lambat akan memberikan hasil yang lebih memuaskan.

***
Kelas literasi Paradigma Institute, selonggar apa pun cara bekerjanya, tidak lepas dari penyelenggaraan yang mesti memerhatikan beberapa aturan yang telah disepakati. Hanya dua yang ingin ditekankan kali ini. Yang pertama adalah keharusan kawankawan memiliki pertofolio yang berfungsi sebagai perpusatakaan arsip. Kehadiran pertofolio ini, semenjak awal difungsikan selain sebagai arsip pribadi, juga menjadi catatan rekaman keterlibatan kawankawan selama di KLPI. Dari tulisantulisan yang disimpan di dalamnya, maka suatu saat akan menjadi bahan evaluasi dalam rangka menilai sejauh mana perkembangan kemampuan menulis kawankawan selama perminggunya.

Kedua adalah absen. Absen penting dikarenakan menyimpan datadata siapasiapa yang hadir setiap pekannya. Tugasnya sederhana, hanya mau melihat seberapa jauh kawankawan timbul tenggelam selama ber-KLPI. Yang malang dalam pertemuan kali ini, buku absen yang selama ini dipakai tercecer entah ke mana? Ada yang melihatnya?

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221