TIDUR

“Betapa megah hidupmu kau bilang, dalam tidur semua akan hilang.” (Koes Plus)

Tepat pada hari raya Idul Adha, bersetuju tanggal 12 September 2016, sekira pukul 21.15 wita, saya pulang kampung ke Bantaeng. Dari terminal Mallengkeri Makassar, dengan mobil langganan, menerobos malam, hingga tiba di mukim keluarga, seputar pukul 24.30. Sedianya, tidak selarut itu saya tiba, tapi karena mobilnya singgah istirahat di Takalar, para penumpang makan jagung, ditambah lagi ada beberapa penumpang yang diantar ke daerah Jeneponto, maka waktu tempuh menjadi lama. Padahal, durasi perjalanan dari Makassar ke Bantaeng, bila malam hari, hanya memangsa waktu sekitar 2,5 jam saja. Selama perjalanan, saya lebih banyak tidur.

Paginya, seperti kebiasaan saya, duduk-duduk berbincang di sudut perempatan jalan dekat mukim, yang merupakan pangkalan ojek, sekaligus tempat menghamburkan pikiran-pikiran tak bertuan. Tempat ini, oleh warga diistilahkan dengan sebutan: Panggung Demokrasi. Mengapa warga menyematkan demikian? Sebab, di tempat inilah amat sering terjadi perdebatan bebas, dengan beragam tema, dengan peserta debat yang tak punya batas jenjang pendidikan dan usia. Jadi, untuk bergabung di arena debat ini, membutuhkan kapasitas dan keberanian khusus, karena perdebatan itu begitu liar, tanpa moderator.

Namun, kali ini, pengojek barulah dua orang yang menanti muatan, ditambah seorang lagi warga, yang nyaris setiap saat hadir. Soalnya, ia seorang pensiunan tentara. Perbincangan mulai dibuka oleh seorang yang sering dipanggil Liong – meski namanya berbau Tionghoa, sesungguhnya ia Bantaeng asli—yang profesinya penjual ikan keliling merangkap tukang ojek paruh waktu. Liong mengemukakan keluhannya, bahwa ia begitu mudah tertidur, kalau kepalanya bertemu sandaran, langsung bisa tidur. Umpan bincang Liong, langsung disambar oleh Daeng Loreng – panggilan buat sang pensiunan tentara, sebab di masa pensiunnya, acapkali memakai warna hijau tua berloreng, entah topi, celana atau jaket – yang menyatakan bahwa Liong seorang pemalas.

“Ciri-ciri orang malas, salah satunya lebih sering tidur daripada bergiat.” Tegas Daeng Loreng. Tentulah Liong terpancing emosi negatifnya, marah, atas tuduhan itu. Maka balasan ocehan pun meluncur, “Justru yang pemalas nyata itu adalah para pensiunan, kerjanya cuma makan dan tidur, itu pun kalau bisa tertidur, sebab banyak pensiunan masih sering mengkhayalkan masa jaya kuasanya. Orang Malaysia bilang ‘laskar tak berguna’, ha…ha…ha…” Saya ikut terkekeh atas serangan balik Liong atas Daeng Loreng.

Betulkah orang yang mudah tidur itu adalah seorang pemalas? Atau jangan-jangan justru orang yang mudah tertidur itu merupakan orang yang paling bahagia? Saya membatinkan dua jumput tanya itu, sembari mengingat seorang kawan, yang pengusaha sekaligus kontraktor, namun keluhan utamanya, yang sering ia utarakan ke saya, ia mengalami kesulitan tidur. Sehingga, seringkali harus minum obat tidur, hanya untuk melelapkan matanya.

Saya lalu menduga-duga, Liong yang mudah tertidur itu, karena masalah hidupnya sedikit dan kelelahan fisiknya bertubi-tubi, karena harus ke sana-sini berkeliling jajakan ikan, plus mengojek. Sementara, kawan saya yang pengusaha sekaligus kontraktor itu, terlalu banyak yang dipikirkan. Sebab, pikiran yang masih menyala, taklah mungkin yang memiliki pikiran itu bisa istirahat, alias redup, lalu lelap. Pikiran yang tidak aktif bagi seseorang, amat berpeluang untuk segera bisa tertidur. Teori kerja otak bilang, pikiran berada pada zona gelombang alpha, peralihan dari saat terjaga menuju tidur.  Mungkin Liong, lebih sering bermain di zona alpha ini.

Perdebatan Liong dengan Daeng Loreng, makin liar menggila, saling tohok ujar, bahkan saling melecehkan. Dan, itu biasa saja di panggung ini. Lalu, seorang tukang ojek yang sedari tadi diam, angkat usul, sembari minta pendapat saya tentang masalah tidur ini. Saya pun hanya berdendang, menembangkan lagu jadul dari Koes plus, yang berjudul, Perasaan, dengan potongan syairnya, sebagaimana saya kutip di awal tulisan, “Betapa megah hidupmu kau bilang, dalam tidur semua akan hilang.” Selanjutnya, saya bilang pada Liong, Daeng Loreng dan lainnya, berusahalah agar bisa tidur manakala  menginginkannya, sebab dalam tidur kita semua setara.

 

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221