“Semoga Allah menghimpun yang terserak dari keduanya, memberkahi mereka berdua dan kiranya Allah meningkatkan kualitas keturunan mereka, menjadikannya pembuka pintu rahmat, sumber ilmu dan pemberi rasa aman bagi umat.”
Setelah lebaran haji, puluhan undangan pernikahan jatuh tempo pelaksanaanya, dialamatkan ke mukim saya. Entah itu dari kerabat, tetangga dan kolega. Latar sosialnya pun aneka rupa, mulai dari pejabat hingga orang kebanyakan. Dari puluhan undangan itu, setiap kali mencermatinya, selalu saja dicantunkan sejenis doa yang dipanjatkan, yang doa itu dirujukkan pada Nabi Muhammad SAW, kala menikahkan putrinya, Fatimah Az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana saya nukilkan di atas. Dan, sudah menjadi rahasia umum, pernikahan putri Nabi itu, amat mudah maharnya, sangat murah pestanya.
Bagi masyarakat yang berlatar suku Bugis-Makassar, yang mayoritas menganut agama Islam, pastilah berupaya untuk selalu merujukkan acara pernikahan, pada agama serta adat yang memayunginya. Karenanya, sependek pengamatan saya akan peristiwa pernikahan ini, dalam siklus satu tahun, selalu saja ada bulan-bulan tertentu, yang mengacu pada kalender Hijriah, guna melaksanakan perkawinan. Sehingga, pada bulan-bulan tersebut, nyaris setiap hari ada yang kawin. Tepatlah, jikalau saya menamakannya sebagai musim kawin.
Bulan yang paling umum itu, misalnya, sebelum memasuki bulan Ramadhan, bulan Rajab dan Sya’ban, serta setelah lebaran haji, bulan Zulhijjah. Biasanya, setelah Zulhijjah, musim kawin berakhir, sebab memasuki bulan Muharram, sebagai awal tahun berikutnya, dimana banyak yang mempercayainya sebagai bulan “panas” untuk melangsungkan perkawinan. Nanti setelah Muharram, barulah perencanaan itu digagas kembali, untuk memasuki musim kawin berikutnya. Waima, ada juga yang tetap menyelenggarakan perkawinan di luar jadwal musim kawin tersebut.
Jadi, musim kawin yang terjadwal pada suku Bugis-makassar, sepertinya, merupakan budaya yang berselaras dengan segenap maklhuk di jagat raya ini. Apakah itu tetumbuhan atau makhluk melata lainnya, yang juga mengenal musim kawin. Setiap tumbuhan punya jadwal perkawinan, begitupun juga dengan binatang. Dengan demikian, perkawinan adalah hal yang alamiah, sunnatullah, yang mesti ditunaikan oleh segenap makhluk, agar keberlangsungan hidup dan kehidupan di buana ini berjalan konsisten dan persisten. Ini pula yang menegaskan, nyaris tidak ada bedanya antara manusia dan makhluk penghuni semesta lainnya dalam perkawinan, dibutuhkan sebagai penyelamat keberadaan.
Nah, karena manusia adalah makhluk yang lebih tinggi derajatnya tinimbang makhluk lain, yang termanifestasi dalam tradisi yang mewujud menjadi budaya, maka soal ini menarik untuk ditilik, termasuk dalam soal kawin-mawin. Perkawinan sebagai tindakan budaya, dimana di dalamnya terdapat tradisi yang menyokongnya, maka bagi suku Bugis-Makassar, bukan saja soal jadwal musim jatuh tempo perkawinan yang menentukan berlangsung tidaknya sebuah perkawinan. Ada banyak variable yang ikut memastikan jalannya perjodohan, diantaranya; agama, suku, status sosial-ekonomi dan pekerjaan.
Di atas segalanya, yang paling ramai dibincang tentulah mahar dan uang panai (uang belanja). Mahar sebagai syarat sahnya pernikahan, biasanya lebih mudah dicari titik temunya. Cukup seperangkat alat shalat, misalnya, jadilah pernikahan itu. Soal mahar adalah soal yang terkadang diabaikan, padahal justru mahar yang diserahkan pihak laki-laki inilah, yang paling penting untuk menjadi harta pelampung kelak, bagi seorang perempuan.
Issu utama yang benar-benar menyita energi perjodohan adalah soal uang belanja. Pasalnya, bisa saja membatalkan pernikahan. Bilamana tidak ada titik temu dalam negosiasinya, maka dapat dipastikan perkawinan itu urung dilaksanakan. Uang belanja yang diserahkan, bukan sekadar untuk biaya pesta, melainkan padanya ada unsur non-material yang mengikutinya, semisal berkaitan dengan status sosial. Makin tinggi uang belanjanya, seolah makin melambungkan status sosialnya.
Padahal, sesarinya pernikahan, yang merujuk pada tindakan Nabi, atas Sayyidah Fatimah dengan Sayyidina Ali, haruslah serba sederhana, baik dalam mahar apalagi pesta. Bukan sekadar mengutip doanya sebagai penghias undangan. Meski Nabi punya kapasistas untuk mempermahal mahar dan uang belanja buat pesta, tapi nabi tidak melakukannya. Sebab apa? Nabi tau persis bahwa di masa depan bakal ada umatnya, yang secara sosial-ekonomi amat berkekurangan dan sangat bersahaja tatkala ingin kawin.