Rashomon: Membincang Kegilaan

Setelah membaca Rashomon (2015), kumpulan cerpen karya Akutagawa Ryunosuke, saya lantas dilanda heran. Mengapa juga orang yang pernah mengalami sakit jiwa, justru melahirkan karya yang sangat brilian? Anda mungkin mengenal Nietzsche, yang dalam kondisi kejiwaan yang sakit justru lebih produktif menulis buku yang berisikan pemikiran cerdas dan rumit. Konon, The Will to Power lahir di puncak-puncak kegilaannya. Lantas, bagaimana dengan Akutagawa? Membaca Rashomon maka anda mungkin akan sulit mempercayai jika penulisnya adalah persona yang pernah ditimpa schizophrenia, dan akhirnya bunuh diri di usia 35 tahun.

Rashomon berisikan kumpulan cerita hasil imajinasi cerdas Akutagawa, yang beberapa di antaranya sangat terkenal di masa abad 20, sampai sekarang. Buku dengan ketebalan 167 halaman ini memuat tujuh cerpen, termasuk yang paling panjang dan juga yang paling terkenal, “Kappa”. Meski ketebalannya cukup tipis, tidak mudah menghabiskannya hanya dengan satu malam, setidaknya bagi orang yang ingin lebih memahami kedalaman makna yang coba disampaikan oleh Akutagawa. Kekuatan simbolisme yang sangat kuat, juga bangunan konflik yang tak sederhana, menjadikan setiap pembaca mesti sedikit berpikir keras untuk memahami maksud terdalam pada setiap bangunan cerita.

Namun, secara umum, setiap isi cerita dalam Rashomon selalu mengangkat perkara nilai dan segenap batasannya yang kabur, juga kenyataan hidup yang penuh dengan ironi. kesemuanya digambarkan melalui hubungan antara orang-orang dan persona yang diposisikan sebagai the other, juga melalui imajinasi mahluk-mahluk aneh. Dalam satu kisah yang berjudul “Rashomon”, anda akan menyadari betapa rumitnya perkara moralitas itu. Simaklah bagaimana seorang nenek kurus melalukan satu tindak kriminal karena tuntutan hidup, dan bagaimana ia memahami tindakannya sebagai perihal yang mesti dimaklumi, sebab ia mengambil sesuatu dari orang yang di masa hidupnya kerap melakukan kejahatan. Dengan demikian, bukankah baik dan buruk itu batasannya begitu tipis, bahkan saling silang sengkarut?

Melalui cerita tentang si nenek pencuri, saya pikir, Akutagawa hendak berkisah mengenai kegilaan yang kerap menyelinap di setiap tindak tanduk manusia, toh ketika kegilaan itu dimaksudkan sebagai ihwal yang melampaui batas, kekacauan, dan perkara yang tak masuk akal. Yang lebih gila lagi apa yang dilakukan seorang genin, samurai kelas rendah yang hendak menghadang kejahatan yang dilakukan nenek itu. Di satu sisi ia mencoba menjadi penegak moralitas, namun di sisi lain turut pula melakukan kejahatan, dengan merampas pakaian yang dikenakan nenek itu.

Dalam buku ini, kegilaan tak berhenti hanya dalam satu cerita saja. Dalam cerita lainnya, “Kappa” misalnya, realitas sosial kemudian digambarkan sebagai ihwal yang centang perenan. Hal demikian dikisahkan melalui kehidupan masyarakat kappa, mahluk yang mirip katak namun memiliki paruh. Dari situ, kita akan menemukan kehidupan yang kacau dan rada-rada irasional. Seperti pembantaian buruh dianggap biasa saja, yang diperlihatkan melalui dialog antara tokoh “aku” dan seorang kappa kapitalis bernama Gael. Pun, potret pesimisme yang menjangkiti seorang individu, turut digambarkan melalui tokoh kappa penyair bernama Tock, yang kemudian mengidap schizophrenia, dan akhirnya bunuh diri. Tentu, hal tersebut hanyalah dua permasalahan, dari sekian banyak persoalan kehidupan yang diangkat dalam “Kappa” yang, sebegitu menyedihkannya, tokoh utama bahkan berusaha keluar dari carut-marut dunia yang dijalaninya, dan akhirnya menjadi gila.

Dan soal orang-orang yang terhina oleh relasi identitas dan kelas sosial adalah perihal yang turut diangkat, setidaknya dalam dua cerita: ”Bubur Ubi” dan “Hidung”. Dalam problem identitas hari ini, selalu saja ada yang merasa terpinggirkan, merasa sebagai the other ditelikung mayoritas. Beberapa di antaranya akan berupaya meniru citra mayoritas karena dianggap sebagai identitas yang lebih ideal. Namun, apakah mereka menemui kebahagiaan setelah itu? Kisah dalam “Hidung”, saya pikir menyinggung soal demikian. Diceritakan, seorang pendeta memiliki hidung panjang, dan menjadi terkucilkan karenanya. Dengan berbagai cara, ia akhirnya berhasil memendekkan hidungnya, seperti milik kebanyakan orang. Namun, justru orang-orang semakin menertawainya, karena bagi mereka, si hidung panjang menjadi semakin aneh karena tidak berhidung panjang. Pada akhirnya ia tak bahagia.

Syahdan, kisah-kisah dalam Rashomon akhirnya hadir tidak dalam rangka berkhotbah mengenai heroisme, dan penggambaran dunia ideal seharusnya seperti apa. Justru, ihwal yang retak, tak utuh, dan paradoks tentang kehidupan yang dijalani manusia. Sebagai seorang yang sempat gila, Akutagawa memang lihai membicarakan kegilaan.

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221