Pernah baca buku kedokteran? Kalau belum, luangkan waktumu. Banyak hal menarik di dalam sana. Di sana diceritakan bagaimana jantungmu bekerja memompa darah ke seluruh tubuh. Ada juga cerita bagaimana kamu bisa lari dengan kerja sistem otot. Bahkan, paru-parumu yang kembang kempis itu diceritakan dengan lugas.
Iya, organ itu di dadamu. Kiri dan kanan menggelantung di depanmu. Di dalam kulitmu, dilindungi ruas-ruas tulang iga. Tempelkan daun telingamu, kamu bisa mendengar suaranya. Seperti ada angin yang asik hilir mudik di dalam sana.
Jika ditanya berapa kali menarik nafas dalam semenit, mungkin kita akan terbata-bata, tidak sadar punya paru-paru. Sepertinya 18 kali, mungkin 20 kali. Agar lebih akurat bisa juga segera melihat jam tangan untuk segera menghitung hilir mudik angin dalam semenit. Sadar sedang tarik-tarik nafas sekaligus sadar kalau ternyata ada paru-paru. Ternyata kamu hidup dan proses hidup membutuhkan paru-paru yang kembang kempis.
***
Pernah saat penulis berada di sebuah layanan pusat kesehatan masyarakat terpampang secarik kertas. Ukurannya besar seperti melotot dengan warna mencolok. Awas kuman TB! Gunakan pelindung diri berupa masker. Itu tulisannya lalu ada gambar organ paru-paru.
Dalam berbagai jurnal medis, TB lazim dikenal dengan tuberculosis. Penyakit yang menyerang paru-paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Ukurannya mini sampai butuh sebuah mikroskop untuk melihatnya. Coba tanya kepada pakar tentang makhluk kecil ini jikalau tertarik.
Intinya begitu, ada makhluk yang lebih kecil dibandingkan manusia. Spesies yang tidak akan kau tahu atas izin siapa menetap di paru-parumu. Entahlah mungkin sel paru-parumu jatuh cinta atau saling membenci dengan bakteri ini. Celakanya, ia bertahan di dalam sana. Bereproduksi, iya beranak cucu, sampai banyak.
Kau akan sesak, tetapi itu bukan kau. Itu reaksi protes tubuhmu. Oksigen tidak sampai ke mereka. Ibarat perang, para mycrobacterium itu telah mendominasi kekuasaan paru-paru sebagai pemilik tunggal oksigen. Sisa dari perebutan itu kau akan batuk mengeluarkan darah.
***
Mungkin, kita akan menyimpan cerita tentang manusia yang ditulis oleh penulis buku kedokteran. Detail, sampai-sampai urat di ujung jari itu bernama. Bukan hanya itu, narasi fungsi normal tubuh diceritakan di sana. Perjalanan bagaimana terpajang penyakit sekaligus mengobati juga ada. Akan tetapi, di sana, di dalam buku-buku medis itu jangan harapkan kehadiran kemanusiaan.
“Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau empat hari. Ayahmu sakit. Tadinya malaria dan batuk. Kemudian ditambah dengan ambeien. Akhirnya ketahuan kena tbc. Ayahmu ada di rumahsakit sekarang, dan telah empat kali memuntahkan darah.”
Kalimat di atas cerita dari sepucuk surat. Dalam Roman karya Pramoedya Anantar Toer judulnya Bukan Pasar Malam. Cerita kemanusiaan tentang perjumpaan kembali seorang anak dan ayahnya yang terkena sakit TB.
Keadaan kabar sakit seseorang yang berharga selalu menghadirkan kegugupan. Dua hal yang akan membuat itu ada. Pertama, orang yang sakit itu sendiri. Kedua adalah uang. Dalam peristiwa yang diceritakan oleh Bukan Pasar Malam, kedua hal itu muncul. Tidak pelak, masalah mengutang akan hadir.
Tidak ada tahun yang pasti kapan Bukan Pasar Malam ditulis oleh Pramoedya, tetapi tahun 1951 Penerbit Balai Pustaka menerbitkan buku ini. Buku Bukan Pasar Malam adalah dokumentasi abadi peperangan manusia melawan penyakit TB.
Artinya kurun waktu 65 tahun, Indonesia sudah berkutat dengan penyakit TB. Mungkin lebih lama melampaui waktu sebelum adanya buku Bukan Pasar Malam. Ironisnya, penyakit TB ini tetap menetap dan sepertinya harapan agar penyakit ini akan menjadi langka masih jauh.
Butuh waktu lama untuk agar harapan ini bisa terwujud. Mulai dari sanatorium, pemberian obat anti TB, penggunaan masker, sampai para pengawas obat diprogramkan untuk menanggulangi penyebaran penyakit pernafasan ini. Semuanya akan sia-sia jika upaya ini tidak didukung oleh penderita TB. Mulailah menyayangi kesehatan Indonesia dengan dimulai dari diri sendiri.