Merdekalah jiwa pada sakit yang mengoyak, pada perih yang kian mengerikan, pada rintih yang memeluk ringkih!
Jendela mendongak di hadapanku. Namun, aku tak punya daya untuk melompat keluar. Tubuhku meronta tapi tetiba aku harus duduk manis karena tancapan jarum yang dari kawanan berbaju putih.
Sebenarnya aku sudah merasa sangat kuat. Aku pun merasa baik-baik saja. Tapi yang berkesan di benaknya hanya saat aku melucuti seluruh perabot-perabot yang menyelimuti tubuhku. Maka dikatuplah aku di sini. Kadang-kadang aku meraung tapi tak jarang kepalaku seperti akan pecah. Aku ingin melepaskan jiwa yang tidak pada tempatnya.
“Ayo diminum obatnya.” Suara centil yang seolah dilembut-lembutkan sambil melirik sinis; dia merayu. Aku tahu baginya ini hanya formalitas, bukan karena memandangku sebagai manusia. Aku geram tapi tak bisa menguasai tubuhku yang jinak.
“Awas kau! Ketika nanti kau mendekat akan kupatahkan lehermu!” Bayangan burung itu muncul lagi dipikiranku. “Dia sengaja diam! Aku tahu, dia melihatnya! Dia melihatnya!” Aku kembali menguasai ragaku. Aku melompat-lompat girang, berteriak menggapai merdekaku. Tapi, mereka bergegas menyergapku. Mereka serupa segerombolan semut yang menumpuk menjelma menjadi kapas, lalu-lalang mengeroyok manusia-manusia dalam museum keabnormalan jaringan pada otaknya; dalam anggapan mereka.
Aku menatap keluar lalui cela di antara jejeran batang besi, aku melihat makhluk itu lagi, tubuh menyerupai peliharaan lelakiku. Wajahnya yang bengis dengan tubuh tidak begitu kerdil, bulu kilap berwarna gelap. Dia meludahiku, menjulurkan lidahnya, mengejekku, tersenyum sinis bahkan tertawa terbahak dengan lepas.
Aku mengguncang tancapan besi di hadapanku, berusaha merebahkannya tapi sepertinya terlalu kuat—justru berbalik menggoyangkan tulangku. Kulihat dia kembali menertawaiku dibalik batangan besi yang jauh lebih kecil dan mengurung tubuhnya. Aku sangat membencinya. Memintal amarah tapi aku tak mampu menumpah-ruahkan segala jenis emosi tanpa kehadirannya di ruang pengap dengan aroma bahan kimia.
***
“Kau sudah memberi minum pada burung-burung itu Bandul?” Laki-laki berkumis itu muncul dari balik tirai sambil membenarkan ikat pinggangnya. Seperti biasa, wanita molek duduk manis di samping tirai, mengepulkan asap pekat. Dia memanggilku Bandul walaupun dia sangat tahu bahwa aku ini seorang lelaki. Kata nenek, dulu ibuku senang memakai bandul ketika mengandung, karena itulah saat aku lahir lelaki itu menertawakanku; katanya aku tak secantik bandul yang ibu kenakan. Dia memang gila; tertawa saat ibu sedang meregang nyawakarena menunjukkan wajahku ke dunia.
“Sudah, Pak!” Aku menundukkan kepala.
“Jago, Kau sudah beri makan?” Suaranya meninggi, teriakannya memecah celotehan burung-burung yang ada dalam tancapan besi-besi. Burung-burung itu bernyanyi saling bersahutan seperti sengaja ingin menenggelamkan suara nyaring itu. Mereka berhasil, aku terdiam—tersihir melodi mistik bagai mass in B minor yang membuat kakiku seperti tak lagi menyentuh tanah.
Seketika hantaman telapak mendarat di kepalaku saat aku belum sempat menjawab pertanyaannya. Dia mencengkramku lalu mendorongku.
“Kau dengar yang kukatakan? Mana Jago?” Dia berteriak di depan hidungku. Aku sesak; bau ini lebih menohok dari bau segala jenis kotoran burung.
“ Aku sudah memandikannya Pak! Dia ada di halaman belakang. Tadi aku ingin memberinya makan tapi dia tidak mau.” Aku berusaha menjawabnya dengan jelas sambil menahan sakit. Jago memang kurang ajar, selalu membuatku bermasalah dengan majikannya.
“Ah, alasan saja Kau!” Dia berbalik−keluar dan menarik tangan wanita yang telah berpindah ke depan pintu.
***
Belakangan aku sering melihatnya lalu-lalang di tempat ini, tapi tetiba dia berhenti—gadis berkacamata dengan senyum yang manis, matanya jeli berbinar dan suara yang anggun. Aku tak mampu menegakkan kepala saat dia berbicara padaku.
“Aku ingin membeli seekor burung parkit untuk bapakku! Bisa kah kau memilihkannya untukku?” Dia bercuap dengan suara yang cukup manja.
Aku memilihkan burung parkit berwarna biru, satu-satunya burung parkit biru yang ada di pasar ini. Tanpa sepatah kata kuserahkan padanya.
“Suarannya baguskan?” Dia menjawab uluran tanganku, mengambil sangkar dengan burung parkit biru di dalamnya.
Aku menganggguk dengan sunggingan senyum terbaik. Perempuan yang kemudian kukenal dengan nama Mala, gadis yang gemar memberikan burung parkit pada bapaknya sebagai bentuk kasih. Sangat berbeda denganku—hidup dengan bapak yang bengal.
Bapakku tidak waras jauh sebelum ibu melahirkan aku—bapakku memang gila, tidak pernah bisa singgah pada satu wanita, apalagi saat dia tahu bahwa ibuku mengandung. Wanita yang mengandung selayaknya diperlakukan sebagai seorang putri. Tapi, berbeda dengan ibuku, setiap saat dia harus berada dalam neraka. Kata orang-orang ada malaikat yang memelukku sehingga aku bisa lahir ke bumi, ibu pun kaku tanpa memberikan senyum bahagianya padaku.
***
Setiap hari bapaknya mengajak burung parkit itu berbicara. Katanya burung itu seperti halnya manusia; makhluk hidup. Perlu mendapatkan perlakuan yang baik. Burung bukan robot atau alat musik yang hanya mampu menghasilkan bunyi, menjadi petarung tanpa mendapatkan kasih sayang.
Dia bercerita padaku bahwa bapaknya sangat menyukai burung parkit. Terutama burung yang dia beli di tokoku. Sejak saat itu dia sering menghampiri tokoku untuk membeli burung serupa dengan warna yang berbeda. Aku melihat matanya berbinar setiap kali dia bercerita tentang bapaknya yang bahagia.
Aku mengangguk berusaha memahami. Sebenarnya aku tak begitu tertarik membahas sosok orangtua yang disebut bapak; aku hanya menyukai bibirnya tersenyum dan telingaku pun mulai bersahabat dengan tiap kicauan yang terlontar dari mulutnya.
Semakin lama menahan perasaan—seperti aliran listrik yang berselancar tiap kali menemukan sakelar—aku jatuh pada Mala. Kuberanikan diri meminangnya. Pertama kali melihat Mala; bapakku telihat sangat bahagia. Aku pikir bapak telah berubah; aku membawa seorang anak gadis untuk menjadi anak keduanya.
“Kau sungguh pandai memilih gadis!” Dia mengatakan itu padaku dengan tawa yang sangat renyah. Baru kali itu aku melihatnya tertawa seperti itu.
“Aku ingin menikahi Mala, apakah Bapak mengizinkannya?” Aku bertanya padanya dengan suara yang bergetar.
“Tentu saja! kau anak laki-laki, sudah saatnya kau berkelana dengan wanita!” Kalimatnya terdengar aneh, tapi yang ada dipikiranku sekarang adalah bapak mengizinkanku menikahi gadis itu.
Seumur hidup baru kali ini aku merasakan yang namanya kebahagiaan. Aku kira aku akan meledak; menghamburkan bahagia setelah mengalami penderitaan bertahun-tahun.
***
Sejak aku menikahi Mala, aku bingung melihat bapak. Dia seperti bunglon dalam kehidupanku. Sesaat lalu dia menjadi sangat beringas di hadapanku. Beberapa jam kemudian dia bersikap heroik saat aku bersama Mala.
Sore itu aku pulang, kuketuk pintu kamar, Mala tak ada. Baru kali ini pintu tak terkunci, kukelilingi tiap ruang sempit. Tanpa sadar aku hanya berputar-putar pada satu titik. yakni, ruangan tengah yang di sisi kananya terdapat dua kamar tidur, salah satu ruangan tempat di mana dia biasa menantiku pulang. Aku menyusuri kembali tiap sudut ruangan, tubuhku lemas melihat istriku tergeletak tanpa daya di ruang dapur.
Onggokan daging tanpa tulang telah binasa dari rahim istriku. Mala berkucur darah, mengalir segar dari pangkal pahanya. Dia bekata dengan nada yang nyaris tak terdengar “ba..pak…” Kukecup keningnya, kupeluk dia erat. Kusaksikan nyawa telah menjalar perlahan untuk meninggalkan raga tapi dia masih ragu untuk beranjak. Kubopong Mala segera dengan tergopoh.
Kata dokter anakku tidak bisa lagi bertahan di rahim ibunya. Mala masih nyenyak dengan sakitnya dalam bangsal. Calon anakku pergi sebelum terlahir. Aku sakit. Aku menanti Mala untuk bercerita banyak padaku, tetiba dia meremas tanganku yang sedang terpaku di sisi tempat tidur; menungguinya.
Kedua kelopak matanya terbuka, aku melihat kembali jendela hidupku yang ada di dalam kedua matanya walaupun nyaris redup karena duka, tak secemerlang saat aku mengucap janji menjadi lelakinya dengan dipersaksikan Tuhan.
“Ba..pak..,” dengan lirih dia berucap. Dia kembali merintih tanpa daya. Aku membelainya, aku merasakan sebuah beban yang tak sanggup disimpannya namun tak dapat dia utarakan tanpa air mata.
***
Kali kedua istriku tergeletak tanpa daya, dia terkulai di samping dipan. Rumah tak lagi seperti surga kami. Semua hancur lebur. Hanya Pay, burung beo peliharaanku yang dulu begitu cerewet. Pay melompat kiri-kanan tapi tanpa suara; tak seperti biasanya. Bangunan sempit, menjemput usia reok memuntahkan isinya, prabot berserakan seperti ikut mengamuk.
Dia telah berhasil, aku remuk dalam amarah yang tertahankan. Dia melahap istriku, kali pertama ketika Mala kutemukan di dalam dapur yang kutahu bahwa dia menyerang Mala. Tapi, kali ini tanpa ampun dia melucuti Mala yang tak lagi terhalang oleh janin setengah hidup.
Aku seharusnya menyelesaikan urusanku dengan lelaki itu sejak dulu. Mungkin dulu dia benar, aku pecundang. Aku tak mampu menggerakkan tangan saat dia menghajarku, meludahi wajahku yang masih saja tak dipandang sebagai pejantan.
Aku tak pernah meramalkan nestapa mendekap kami untuk beberapa saat. Dia meraung, meratapi sakit. Meronta, memelukku ketika aku di sampingnya.
Tiba-tiba aku ingin meraih belati yang ada di atas meja, tepat di samping kepala tempat tidur dengan seprei putih tanpa motif. Alat yang semestinya kupakai mengupas buah apel kesukaannya berharap agar dia segera pulih. Semakin kudengar dia berteriak dan menangis semakin teriris perih dadaku. Sesaat muncul sisa kebiadabannya dalam imajiku, ditembok-tembok yang menangis, pada lantai-lantai yang tertindih menjerit. Ada dorongan, aku berlari secepat mungkin untuk keluar, melewati berderet bangsal.
Kusaksikan dia tertawa di atas dipan lusuh yang terletak di ruang bagian dalam toko burung. Kuterkam dia tanpa ampun, kugorok dia sampai tak mampu lagi mengaung. Perempuan yang ada di antara kami menjerit ketakutan. Dia berteriak. Jika saja tanganku tak ditarik dan didekap erat oleh kerumunan manusia sudah kuhantam juga perempuan itu; ketololannya telah memberikan kesenangan pada lelaki itu.
Aku kini kaku di balik jeruji yang tegak dari besi. Namun, jiwaku bebas. Aku telah menjadi lelaki. Di saat yang sama sangsi meratapi wanitaku terpasung di balik terali, di ruang berbeda dengan ketidakwarasan yang tak sama.