Sekali waktu, saya menghadiri sebuah persamuhan para mantan aktifis, kaum muda mahasiswa tahun 90an, yang mengklaim diri sebagai generasi yang mewujudkan reformasi tahun 1998. Salah seorangnya angkat bicara, lalu menyatakan bahwa generasi 80an, atawa kaum muda-mahasiswa angkatan 80an adalah generasi yang tak bernama. Disimpulkannya, bahwa angkatan 90an yang mencetak perubahan. Sejumput kesimpulan yang membuat beberapa orang di persamuhan itu terhenyak, khususnya yang terkena sodokan tudingan.
Saya sendiri tidak mempersoalkan klaim seperti itu, walakin saya tergolong yang menempuh pendidikan tinggi, menjadi mahasiswa tahun 80an. Masalahnya kemudian, apakah kaum muda mahasiswa 80an itu adalah generasi yang tak punya geliat sama sekali? Terpaksalah saya membuka kembali lipatan-lipatan ingatan, untuk sekadar mengajukan beberapa rujukan, guna menunjukkan rekaman dinamika diskursus intelektual tahun 80an. Setidaknya, ada tiga buku yang saya sodorkan sebagai pijakannya. Kesaksian Kaum Muda, Menegakkan Demokrasi, dan Mencari Islam, yang kesemuanya terbit penghujung tahun 80an.
Rekaman dinamika pemikiran itu dimotori oleh menjamurnya kelompok-kelompok studi di kalangan kaum muda mahasiswa. Dan, pertumbuhan kelompok studi ini menjamur di seluruh kota-kota besar, yang punya kampus ternama. Tidak terkecuali kota Makassar dengan beberapa kampus. Sehingga, era 80an ini sering digelari sebagai era kelompok studi. Memang di masa ini, pamor organisasi ekstra maupun intra kampus lagi meredup.
Ketiga buku itu merekam aktifitas para aktivis kelompok studi di pulau Jawa. Memang amat disayangkan, karena hal yang sama tidak terjadi proses pendokumentasian gejolak pemikiran yang di luar Jawa, khususnya kota Makassar. Padahal, kelompok-kelompok studi yang bergerak di kota Makassar begitu menjamur jumlahnya. Saya sendiri mendirikan kelompok studi yang berbasis di IKIP Ujung Pandang, bernama al-Mudatsir. Yang aktivitasnya melakukan diskursus wacana pemikiran, baik yang dianggap tradisi kiri maupun yang bernuansa keislaman. Dan, sesekali mewakili kelompok studi ini untuk menghadiri diskusi dan demonstrasi, yang dimotori oleh kelompok-kelompok studi.
Tempat-tempat yang disasar sebagai arena perhelatan pemikiran, pada umumnya diadakan di pelataran-pelataran, koridor-koridor dan masjid kampus. Tema-tema pemikiran yang didiskusikan cukup beragam. Yang pasti, nama-nama pemikir yang cukup sering menghiasi diskusi, diantaranya: Karl Marx, Nietzche, Jean Paul Sartre, Soren Kierkegaard, Martin Heideger, Jurgen Habermas, Albert Camus, Simone de Beauvoir, Hannah Arendt, Ali syariati, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Abu A’la Maududi. Murtadha Mutahhari, Yusuf Qardhawi, Sayyid Qutb, dll.
Buah pemikiran dari beragam tema ini kemudian ikut mendorong lahirnya tren baru gerakan kaum muda mahasiswa. Mulailah bergeser dari wacana ke aksi. Jadi, pentolan-pentolan dari aktivis kelompok studi ini, mulai melakukan aksi-aksi menuntut perubahan, yang terkadang tema usungannya bernuansa lokal dan kasuistik. Tetapi, semua itu adalah ajang untuk mematangkan hasil diskusi. Singkatnya, aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan. terlebih dahulu diselesaikan dalam tataran wacana. Dan, muaranya adalah Reformasi 1998. Pada konteks inilah peran kelompok studi, menjadi signifikan kehadirannya.
Pascareformasi 1998, tepatnya lima tahun terakhir ini, kelihatannya gerakan kaum muda mahasiswa menuai kritikan. Organisasi kaum muda mahasiswa, baik yang ekstra maupun intra kampus, kelihatannya tidak begitu diminati oleh mahasiswa. Maka tren baru pun muncul, sebuah gerakan kaum muda yang berbasis pada komunitas-komunitas yang beraneka corak pengorganisasiannya, begitu pun juga tema gerakan yang diusung. Dan, yang tak kalah menariknya, sebab basis diskursus dan ancangan gerakannya lebih banyak dirumuskan di kafe. Tak dapat dipungkiri, saat ini, industri kafe cukup menjamur.
Terkhusus di kota Makassar, komunitas-komunitas kaum muda mahasiswa, yang membangun gerakannya berbasis kafe cukup eksis. Setidaknya, ada dua kafe yang cukup aktif menyelenggarakan even-even diskursus membangun wacana, menawarkan pemikiran-pemikiran alternatif untuk mensiasati kelesuan gerakan mahasiswa. Tersebutlah Kafe Dialektika di Tamalanrea dan Be Smart Coffee di Talasalapang-Minasa Upa, yang amat progressif memposting agenda-agenda kegiatannya di media sosial. Diskursus semisal mengkaji pemikiran Karl Marx, Martin Heideger, Nietzche, Simone, Syariati adalah sebentuk upaya menggeliatkan minat intelektual.
Dijadikannya kafe sebagai basis membangun diskursus pemikiran, sesungguhnya bukanlah hal baru dalam dunia intelektual. Setidaknya di masa silam, tepatnya di kota Paris, seperti yang dituliskan oleh Andrew Hussey, dalam bukunya, Paris: The Secret History ( Paris Sejarah yang Tersembunyi), mencatat “… fokus dari aktivitas tidak lagi berada di Montparnasse, yang dikaitkan dengan melankolis dan bencana pra-perang, namun di terrasse-terrasse dari kafe-kafe ternama yang berada di sekitar persimpangan Saint-German-des-Pres, di mana Rue de Rennes bertemu dengan Boulevard Saint-German.”
Ditegaskan lagi oleh Hussey, “ kafe yang paling terkenal adalah Cafe de Flore, Cafe Deux Magots, dan Brasserie Lipp, yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya tidak hanya Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Albert Camus, namun juga para editor berkuasa dan para penerbit dari jurnal Nouvelle Revue Francaise, rumah penerbit Gillmard… Kata baru yang sering diucapkan banyak orang adalah ‘eksistensialisme’… Kata ini menggambarkan jenis filsafat yang dikemukakan oleh Martin Heideger atau Martin Husserl.”
Jadi, ketika sekelompok kaum muda mahasiswa yang berkomunitas, dan berdiskusi di kafe, khususnya di kota Makassar dengan dua kafe ternama yang telah saya sebutkan, sesungguhnya telah mengulang sejarah untuk mendaur ulang semangat intelektualisme, yang nantinya bermuara pada hadirnya sebuah perubahan. Antara kafe di Paris pada tahun 40an dan kafe yang eksis sekarang ini, perbedaannya sedikit saja, kalau dulu, nama orang-orang itu yang langsung berdiskusi, kini nama orang-orang itu yang didiskusikan.