Untuk sementara, pemberitaan dan diskursus yang paling lengkap tentang Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, yang melibatkan seorang persona, yang penuh pesona dan amat memesona publik, Marwah Daud Ibrahim, tatkala stasiun TV One, menggelar acara Indonesia Lawers Club (ILC), yang dipunggawai jurnalis senior, Karni Ilyas. Sejak acara ILC digelar bertahun yang lalu, acara yang tayang 3 Oktober 2016 inilah, yang paling banyak memangsa durasi tayang. Demikian Karni menjelaskan di akhir acara.
Menonton acara itu, serasa saya menikmati pertunjukan drama, yang menampilkan beberapa tokoh-tokoh protagonis dan antagonis, hingga yang sekadar jadi figuran. Tentulah drama perdebatan amat tajam perbedaan di antara para figur, namun tetap santun. Ada emosi yang meluap-luap, baik positif terlebih lagi yang negatif. Marah apalagi, pastilah menjadi tontonan penyedap rasa. Rasa haru dan sesal tak ketinggalan ambil bagian. Ajakan bertobat dari kesesatan mengemuka. Kukuh pada pendirian bercampur seulas senyum, menghidu ruangan yang kurang ramah. Marah dan ramah bercampur aduk, dalam satu pengadilan atas Marwah, yang didaku banyak orang, tak pantas terseret pada ketololan dan kekonyolan sang Kanjeng.
Bintang panggung ILC malam itu tiada lain adalah Marwah Daud Ibrahim. Jati diri Marwah adalah seorang perempuan Bugis, kelahiran Soppeng, yang jika 6 November 2016, genap berusia 60 tahun. Suatu umur yang jatah melatanya sudah terbilang jelang senja. Marwah merupakan sosok cendekiawan, lulusan Unhas, lalu ke Amerika belajar S2 dan S3, di The American University Washington DC. Karena kecendekiaannyalah, maka Majelis Ulama Indonesia pun mendapuknya selaku pengurus. Bukan saja itu, Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) telah menjadi salah satu labuhan buah-buah pikirnya. Partai Golkar tak ketinggalan menggaetnya, menjadikan Marwah selaku politikus perempuan terdepan dan menempatkannya di DPR selama tiga periode. Pernah pula nyaris berpasangan dengan Gus Dur untuk maju menjadi calon presiden, tapi keburu Gus Dur tersandung masalah kesehatan. Dan, sesungguhnya kecendeikiaan Marwah ini adalah marwah, maksudnya muruah, tepatnya, kehormatan baginya.
Sebelum acara ILC digelar, sudah banyak sorotan yang dialamatkan pada Marwah. Yang paling mengemuka adalah ketaklayakannya sebagai seorang cendekiawan, dengan gelar akademik yang mumpuni, terlibat dalam mengurus sebuah yayasan, yang tidak lebih merupakan sarana praktik klenik, menggandakan atau mengadakan uang. Dan, memang Marwah mengakui, bahwa salah satu ketakjubannya terhadap padepokan Kanjeng Dimas adalah adanya realitas itu, selain pada kekaguman pada kepribadian yang sangat santun. Pengakuan Marwah ini, seolah ia telah meruntuhkan marwahnya sendiri, bahkan ada yang bilang, semacam bunuh diri kelas intelektual.
Terhenyaklah saya, tatkala seorang politisi muda yang lagi moncer karirnya, Akbar Faisal, mewakili begitu banyak aspirasi dari negeri kelahiran, mengajak Marwah kembali, pulang dari terungku kesesatan. Ada isak dari Akbar yang mengiringi ajakan itu, namun Marwah hanya mengucapkan terimkasih, dan Marwah sendiri akan tetap mantap dalam pilihan “jalan” Socrates dan Galileo yang dirintisnya. Akbar memang serupa hero (pahlawan) yang meminta Marwah untuk balik menjadi hero, secara bersama-sama dalam menyelesaikan masalah kebangsaan, bukannya menjerumuskan diri menjadi bagian dari masalah.
Tindakan Akbar, memang sudah tepat selaku hero. Mengajak kembali ke pangkuan iman positivisme sains yang mengutuk praktek klenik. Tapi, bukankah Marwah selama ini telah bersetubuh dengan kejayaan positivisme sains? Lalu berniat berjalan lebih jauh, membebaskan diri dari terungku sains yang berlambarkan pemikiran materialisme yang rasional dan empiris. Marwah bilang, mengapa kita lebih materialistik dari para ilmuwan di luar sana, padahal di negeri lain sudah mulai banyak yang meninggalkan cara berfikir rasional dan empiris semata? Dari satu dimensi menuju transdimensi?
Saya mungkin agak berbeda dengan Akbar. Bukan mengajak pulang Marwah, melainkan menemaninya bertualang di berbagai asumsi-asumsi baru, di transdimensi ilmu pengetahuan, sembari memberi peluang yang seluas-luasnya untuk menjelaskan secara terbuka obsesinya. Marwah butuh seorang wise (bijaksana), yang berjalan bersamanya dalam tempuhan kembara akan misteri transdimensi sains, selain dari dimensi materialisme semata. Marwah butuh wisdom (kebijaksanaan), tidak sekadar menyeretnya ke arena sangkaan penipuan dan pembunuhan, atawa pengadilan ala ILC. Hanya dengan cara itulah, Marwah dan marwahnya, akan tegak kembali.