Sebagian orang khusunya yang akrab dengan khazanah Islam (pemikiran Islam Iran) mungkin sangat jarang yang tidak mengenal Ali Syariati. Rekam jejaknya tidak diragukan lagi dalam memberikan sumbangan dalam bentuk “gagasan baru” terhadap Islam. Di Iran, Ali Syariati, sangat dominan terkenal dikalangan intelektual muda yang punya gejolak perlawanan. Namun, tidak disenangi oleh sebagian ulama terkhusus ulama yang ortodoks yaitu ulama menolak kebaruan dalam tafsir tentang Islam. Ali Syariati, dengan sejumlah tafsir Islam yang ia suguhkan pada prinsipnya merupakan upaya untuk keluar dari dogma interpretasi Islam yang statis dan apatis tanpa gerak dinamis.
Di Indonesia, Ali Syariati, mulai dikenal pada kalangan intelektual pasca meletusnya revolusi Islam Iran pada akhir 1970-an. Sebuah revolusi yang kemudian hari banyak menginspirasi gerakan Islam di penjuru dunia termasuk gerakan Islam di Indonesia. Ali Syariati, punya andil besar terhadap terciptanya revolusi tersebut—walaupun kemudian Ali Syariati sendiri tidak menyaksikan revolusi yang ia perjuangkan sebab keburu dibunuh oleh agen Syah dua tahun sebelum revolusi.
Salah satu yang dianggap sumbangsih Ali Syariati dalam revolusi Islam Iran adalah keberhasilan menebar pengaruh untuk membawa “kembali” anak muda Iran yang telah terkoptasi ideologi marxisme yang cenderung meninggalkan agama Islam. Tidak lagi mempelajari Islam sebagai alas dalam berjuang.
Ali Syariati, berhasil menafsirkan Islam menjadi revolusioner yang memang dirindukan oleh anak muda Iran kala itu. Dengan retorika yang baik, Ali Syariati benar-benar telah menjadikan Islam sebagai “alat” dalam menggugah dan menggugat anak muda untuk bangkit melawan segala bentuk penindasan yang menimpa masyarakat Iran.
Pada pengantar buku saya, Ali Syariati: Dari Revolusi Diri Ke Revolusi Sosial (2015), di situ saya, menggambarkan awal “perkenalan” saya dengan Ali Syariati. Saya mengenal gagasanya semenjak membaca kumpulan ceramahnya yang kemudian dibukukan dengan judul Tugas Cendikiawan Muslim. Berangkat dari buku itu, saya kemudian menulusuri karya-karya lain. Pada buku yang saya tulis itu, terdapat beberapa gagasan Ali Syariati yang saya coba uraikan yang bersifat pengantar sebagaimana saya telah jelaskan pula dalam pengantar buku tersebut.
Buku yang saya tulis itu, sifatnya pengantar hingga bagi orang-orang tertentu memungkinkan tidak menemukan kedalaman dalam penggalian pikiran-pikiran Ali Syariati pada buku tersebut. Karena pengantar, maka kehadirannya hanya sebagai pemantik saja untuk menjelajahi pikiran-pikiran Ali Syariati lebih dalam dan itu bisa saja dilakukan oleh siapa pun.
Pada prinsipnya, jika kita ingin mengkaji lebih dalam pikiran Ali Syariati, tentunya sama halnya kita berupaya untuk menemukan kebenaran dari gagasan-gagasannya. Sehingga, dalam upaya pencarian kebenaran pada gagasan Ali Syariati, tentunya sederet pertanyaan yang bisa saja muncul dan mewarnai pikiran kita. Misalkan: Apakah gagasan Syariati masih relevan konteks kekinian? Apakah pikiran-pikiran Ali Syariati adalah sebuah sistem berpikir yang utuh? Yaitu, sebuah sistem berpikir yang dapat menjawab segala aspek kenyataan.
Salah satu gagasan Ali Syariati yakni mengenai Tuhan. Pertanyaan yang bisa saja kita ajukan adalah apakah konsep ketuhanan Syariati dapat diterapkan atau digunakan dalam ruang dan waktu di mana saja? Sebagimana kita ketahui, dan sekilas pada buku saya tergambarkan bahwa Islam dengan Tauhid-nya, bagi Ali Syariati, adalah ketundukan secara total kepada Allah SWT. Dengan demikian, tidak ada lagi kekuatan selain kekuatan Tuhan. Yang ada hanya kekuasaan Tuhan. Maka, tidak ada toleransi perihal penguasaan manusia satu dengan manusia yang lain. Penindasan yang dilakukan dalam bentuknya apa pun sama halnya pengingkaran terhadap Tuhan. Tuhan bagi Syariati, bukan Tuhan yang perlu disusun dalam sejumlah argumentasi untuk membuktikan keberadaanya seperti yang dilakukan oleh para filosof.
Memuliakan Tuhan bukanlah menempatkan Tuhan jauh di sana atau Tuhan yang transenden. Namun, “menarik” Tuhan yang transenden itu dalam imanensi—dalam kehidupan nyata, yakni kehidupan yang penuh pergumulan. Menarik Tuhan dari langit untuk turun ke bumi menyelesaikan konflik sosial antara haq dan batil. Bentuk kesakralan Tuhan, tidak mesti menempatkan pada posisi di sana (di luar) namun, Tuhan mesti dihadirkan di sini dalam ruang dan waktu. Sebab, memang yang meyakininya berada pada ruang dan waktu yang materil. Ali Syariati, menempatkan Tuhan sebagai spirit bagi yang meyakininya. Spirit yang dimaksud adalah letupan dalam diri yang bisa membuat manusia untuk lebih peduli terhadap realitas sosial yang timpang.
Bagi saya, dalam menilai konsep kebertuhanan Ali Syariati, pada prinsipnya sebuah konsep kebertuhanan yang “fungsional-pragmatis”. Kebertuhanan fungsional-pragmatis yang saya maksud di sini, sejauh mana keyakinan kepada Tuhan tersebut memiliki fungsi dalam melakukan perubahan sosial dengan itu pula kita bisa lebih yakin akan keberadaan Tuhan. Jika dicermati, konsep ini mungkin saja tidak bebas dari problem. Misalkan, lalu bagaimana dengan seseorang meyakini Tuhan namun, tidak mampu melakukan perubahan sosial?
Jika kita menerima konsep kebertuhanan Ali Syariati sebagai sebuah kebenaran yang berlaku secara universal, maka secara tidak langsung kita mengatakan bahwa keyakinan seseorang yang disebutkan di atas tentunya tidak benar dan bisa saja diklaim sebagai tidak bertuhan—atheis. Sisi lain, bisa dibilang model atau konsep Tuhan Ali Syariati, hanya berlaku pada konteks sosial, yang mana terjadi penindasan di dalamnya. Selanjutnya, bagaimana tawaran Ali Syariati, model kebertuhanan pada konteks sosial yang damai dan harmoni—tanpa konflik? Di mana konteks sosial yang demikian, suatu yang dimungkinkan dalam realitas sosial. Masihkah konsep Tuhan Ali Syariati relevan?
Selain itu, pada konsep manusia dan kemanusiaanya, misalkan mengenai konsep empat penjara dan musuh-musuh manusia yang dihadapi manusia yang disinyalir oleh Ali Syariati sebagai penghambat kesempurnaan manusia itu, apakah juga berlaku pada konteks kekinian? Yakni pada era yang disebut pascamoderen dan postindustrial ini, di mana kenyataan telah terpragmentasi dalam bidang-bidang khusus yang kadang tak lagi mengandalkan tenaga manusia mengerjakan sesuatu. Namun, cukup menggunakan teknologi yang lebih maju (lebih canggih) yang tentunya tidak sama pada era Ali Syariati. Kompleksitas problem yang dihadapi manusia dalam era sekarang tentunya sangat jauh berbeda dengan apa yang dihadapi pada zamanya—jika kita menerima bahwa perubahan adalah suatu yang pasti. Manusia kini, tentunya jauh berbeda dengan manusia pada masa Ali Syariati, dalam hal relasinya dengan sosial.
Dalam kajian ekonomi-politik, analisis kapitalisme Ali Syariati tentunya tidak secanggih kapitalisme sekarang. Jika pada masanya, kapitalisme bisa ditunjuk pada satu personifikasi kekuasaan. Namun, sekarang kapitalisme telah merasuki hal yang elementer pada diri manusia yakni menjadi modus eksistensi yang kadang susah untuk diidentifikasi ataupun ditunjuk.
Analisis teologis Ali Syariati terhadap tidak bertuhannya kaum sosialis—komunis perlu untuk tinjau lagi pada aspek argumentasinya. Sebab, model sosialisme Abad 21 seperti apa yang terjadi di Kuba, Venezuela dan beberapa negara Amerika Latin, justru digerakkan oleh orang berasal dari Gereja. Orang-orang yang juga sangat meyakini Tuhan dalam kehidupannya.
Jadi, dengan beberapa contoh (tentunya masih banyak lagi yang lain di luar jangkauan dan pembacaan saya) problem di atas, sehingga kita dapat melakukan konstruksi baru agar tidak terjebak pada ortodoksi atau Syariatianisme buta. Jalan rekonstruksi dalam pemikiran Ali Syariati, merupakan jalan dalam menjaga pikiranya agar tidak “mati” bersama dengan kematiannya. Jalan rekonstruksi adalah arena yang sangat terbuka dalam ranah pemikiran.
Jalan tersebut, merupakan upaya untuk menangkap tanda pada pikiran/gagasan (teks) Ali Syariati. Bila kita mengkonstruksi pemikirannya, pada prinsipnya terjadi pertautan pada ruang kesadaran kita (pengonstruk) dengan Ali Syariati (teks). Teks Syariati, dalam bentuk gagasan-gagasan, tidak sepenuhnya mewakili Ali Syariati sendiri. Karena demikian, maka ini menjadi argumentasi yang tepat digunakan bahwa ruang rekonstruksi adalah sah dan wajar.
Mungkin yang patut untuk ditempuh, adalah menulusuri dan menemukan sejumlah tanda dalam pikiran Ali Syariati. Melalui sejumlah tanda tersebut, di sanalah kita bisa menciptakan makna baru. Hal ini sangat dimungkinkan, karena tanda memang tidak berdiri secara mandiri pada pikiran/gagasan/teks. Selalu saja terjadi dalam relasi dengan tanda-tanda yang lain—menjadi jejaring tanda.
Mungkin dengan metode ini, bisa menjadi peretas dalam demarkasi pemikiran Ali Syariati dengan konteks kekinian. Atau bisa menjadi penghubung antara pemikiran Ali Syariati yang lahir pada era modern dengan pikiran yang begitu berwarna-warni di era pascamodern ini. Dan yang terpenting mudah-mudahan menjadi tafsir baru terhadap kenyataan kini.
Jika itu dilakukan, maka suatu kewajaran bila akhirnya kita mengatakan telah menemukan “Ali Syariati kita”. Sebuah gagasan lama, namun memiliki ruh yang baru. Dengan ruh yang baru itu, menjadi penggerak dan jawaban yang dapat menimpali kegaduhan pemikiran kontemporer yang juga tidak sepenuhnya mampu menjawab problem sosial manusia. Sebab, yang disorot dalam realitas manusia dan kemanusiaanya pada pemikiran kontemporer hal yang aksiden semata—bukan berarti itu tidak penting—itu tetap penting. Namun tetap dibutuhkan keutuhan antara subtansi-aksiden, tunggal-jamak, universal-partikular dalam sebuh sistem pemikiran utuh yang mana dalam pemikiran kontemporer tidak lagi dipermasalahkan.
Dalam menjawab problem semesta, perlu dipandang sebagai suatu tidak terfragmentasi akan tetapi sebagai sebuah keutuhan problem yang juga perlu diselesaikan dengan sistem pemikiran yang utuh dan terbukti kebenaranya secara logis dan faktual. Dan “Ali Syariati kita” memiliki kemungkinan untuk itu yang secara historis pernah menggerakkan masyarakat Iran. Tapi bila dalam konteks kekinian, jika tenyata gagasan Ali Syariati, setelah direkonstruksi dan yang terjadi nihil kemungkinan menjawab kekinian–tak mampu ditarik relavansinya dalam menyelesaikan problem umat kekinian, maka lebih baik kita melupakannya. Hal tersebut adalah cara terbaik untuk menghormati dan menghargainya sebagai pemikir.