Judul: AirMataDarah (Sehimpun Puisi)
Penulis: Sulhan Yusuf
Penerbit: Liblitera Institute bekerja sama Boetta Ilmu
Cetakan: Pertama, Maret 2015
Tebal: 178 halaman
Inilah buku yang menarik untuk dibaca dan didialogkan. AirMataDarah (Sehimpun Puisi) mengalir sebagaimana air, melihat sebagaimana mata, dan menghidupkan sebagaimana darah. Buku ini begitu reflektif, tidak kering, tetapi juga tidak amat-amat romantik. Ia memberikan gambaran refleksi sekaligus kritik-kritik dalam setiap bait-bait syairnya. Sebagai seorang penyair yang sejati—walaupun penulis buku ini tidak pernah disebut atau menyebut diri sebagai penyair—selalu menerjemahkan setiap fenomena itu dengan cara yang reflektif, jernih dan segar. Relektif, jernih dan segar di sini bertolak pada esensi bahwa setiap puisi pada dasarnya merupakan anak kandung dari penulis atau penciptanya. Sebagai anak kandung ia harus lahir tepat waktu, tak boleh premature, kedaluwarsa, dan tentu saja, mencitrakan kekhasan penciptanya. Tidak bolehlah ia menjadi anak tiri—berjarak dari si penciptanya. Itulah yang dimaksud dengan jernih serta segar. Sulhan merenungkan begitu banyak persoalan hidup yang dijumpainya: dari yang hina hingga terhormat, suci maupun bersimbah noda, dari yang empirik, filosofis sampai yang paling mistik. Renungan-renungan itu tergambarkan dalam syair-syairnya.
Secara umum buku sehimpun puisi ini berkisah tentang lika-liku pengembaraan penulis di jagat ruhani kata-kata. Jagat perjuangan yang sunyi, tapi menghidupkan dan mengabadi. Ya, inilah Sulhan Yusuf. Lewat magnum opus-nya, AirMataDarah, tergambarkan beragam refleksi-refleksi perjuangan sunyi dari penulis. Di puisinya yang bertajuk “Diri”, Sulhan bercerita tentang hakikat dari diri dan kehidupan yang sebenarnya. Berikut penggalan bunyi bait puisi tersebut: “Usaikan dulu pelajaran tentang diri/kemudian mulailah belajar tentang yang lainnya/sebab, insan yang telah selesai belajar tentang dirinya/akan lebih mudah mempelajari sesuatu yang beredar di luar diri/aku baru saja menyaksikan insan yang telah menempuh perjalanan/berproses untuk menyelesaikan satu mata pelajaran tentang diri di sekolah kehidupan.” (hal.61).
Puisi di atas pada dasarnya ingin mengabarkan kepada pembaca bahwa hidup adalah kerja-kerja permenungan. Sebuah kerja mendialogkan diri, yang mana dialog tersebut akan memproses kesadaran kita pada dua arah. Yang pertama, kita menjadi semakin mengenali diri kita, makin menghayati diri dan pada akhirnya akan benar-benar menyatu dengan diri dan sang pencipta. Kedua, dialog juga membawa kita kepada kesadaran baru yang keluar dari diri sendiri, lalu menuju bergerak kepengenalan kepada sesuatu yang di luar diri sendiri. Itulah serangkaian kisah perjalanan seorang pejuang sunyi yang menjadikan kata-kata sebagai medium pencerahan. Melalui bait-bait syairnya tersebut Sulhan Yusuf berkisah tentang dialog-dialognya dalam merenungkan perjalanan hidupnya.
Dalam penggalan syairnya yang berjudul “Pengkhotbah” penulis menggambarkan kritiknya pada laku para pengkhotbah. Berikut puisinya: “Dimenara maya, ia selalau berkhotbah/tentang segala macam persoalan hidup dan kehidupan yang rumit/didedahkan tentang negerinya yang karut-marut/pemimpinnya yang tidak becus/rakyatnya yang tidak kritis/birokratnya yang korup/mungkin saja isi khotbah-khotbah itu benar adanya/tetapi, seorang jamaah interupsi ‘lalu apa yang telah kau lakukan wahai sang penghotbah?’/aku sendiri sebenarnya sependapat dengan jamaah itu/lalu kutambahkan ‘selain mempromosikan diri?’.” (hal. 124). Puisi ini berceritra betapa tragis wajah keberagamaan kita saat ini. Begitu banyak pengkhotbah yang tak paham esensi dari khotbah. Sehingga khotbah-khotbahnya yang disampaikan hanya sampai di telinga, tidak menyentuh hati dari pendengarnya, menurut Sulhan hal yang demikian sama saja seperti sebuah celotehan.
Di puisinya yang lain, berjudul “Culas” penulis juga menggambarkan kegelisahannya menyaksikan tingkah para akademikus dan kaum agamawan. Kegelisahan tersebut digambarkan dengan amat pendek tetapi padat dalam puisi tersebut : “Titel akademik ada padamu/tapi picik omongmu/sorban terikat di kepalamu/namun bicaramu melilit pikirmu/sujudmu menghitamkan jidatmu/walakin ceroboh mulutmu/lelang saja titelmu/jual pula sorbanmu/lego sekalian jidatmu ?” (hal. 55).
Kegeramannya menyaksikan kekuasaan yang sewenang-wenang juga tergambar dalam puisinya yang berjudul “Kesewenangan”. Berikut puisinya: “Hasrat untuk berkuasa yang ada pada diri/sesungguhnya amat purba keberadaannnya dalam setiap jiwa/kuasa berbiak/mengikuti jalan-jalan naluri tersaji/sedianya kuasa, ibarat air mensucikan daki pada tubuh/itu jika kuasa diberi jalan kelapangan dada dikedalaman ruhani/…lambang-lambang pengetahuan/kebertumpukan harta/simbol-simbol religiusitas/dan trah kebangsawanan/kesemuanya merupakan jalan-jalan menuju pada kuasa/kekuasaan dalam genggaman/dari genggaman kekuasaanlah lahir kesewenang-wenangan/setiap diri berlomba untuk berkuasa/sebab padanya ada kewenangan/dengan memiliki kewenangan maka menjadilah diri berwenang/berwenang berarti jari telunjuk amat sangat menentukan nasib yang ditunjuk…” (hal. 90). Penggalan puisi tersebut menandakan kegeraman penulis menyaksikan laku-laku atau wajah para penguasa, penguasa politik, agama, budaya, akademik dan semacamnya. Tentu kegeraman ini menjadi bukti keberpihakan penulis terhadap mereka orang-orang yang terzhalimi oleh kesewenang-wenangan penguasa.
Sulhan, sosok yang saat ini banyak bergiat dalam kerja-kerja pencerahan atau literasi—baik di Paradigma Intitute, Komunitas Papirus, Boetta Ilmoe—agaknya telah memilih dengan sadar akan pilihan hidupnya. Ia paham betul dengan tanggungjawab seorang intelektual, sebagaimana yang dibilangkan oleh Ali Syari’ati dalam bukunya Ideologi Kaum Intelektual bahwa kaum intelektual harus memimpin gerakan progresif dalam sejarah, dan menyadarkan umat terhadap kenyataan kehidupan. Ia harus memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak stagnasi. Sebagaimana rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Dan juga harus memulai gerakan dan menciptakan revolusi sistemik. Kesadaran inilah yang membawa penulis buku ini, mengapa ia mau mengambil berbagai peran altruistik dalam kehidupannya.
AirMataDarah barangkali tidak seperti banyak karya-karya puisi lainnya. Buku ini tidak begitu mempedulikan segala embel-embel aturan yang menggolongkan sebuah karya sastra atau bukan, sebuah puisi atau bukan. Kombinasi latar belakang sebagai pegiat literasi, pencinta sastra, dan penganut agama yang taat serta pembaca filsafat yang baik, mengondisikannya menjadi penulis atau penyair yang unik atau berbeda dari yang kebanyakan. Menikmati satu persatu karya dalam buku ini seperti menggali atau menjelajah jauh ke dalam memori-memori aktual yang ada dalam diri penulisnya. Kadang kita disodorkan dengan kontemplasi keindahan cinta yang menghanyutkan, lalu tiba-tiba diusik oleh ironi-ironi kehidupan yang absurd. Atau masalah-masalah sepele namun menggelitik kesadaran kita.
Karya ini, sebagaimana buku puisi pada umumnya, memang masih menyisakan banyak pertanyaan, sebuah tanda yang sebenarnya sangat baik. Ya, bagi saya Sulhan Yusuf ini adalah sosok yang tidak pernah basi untuk diperbincangkan, demikian pula karya-karyanya. Sebab, ia sosok yang selalu mengajak untuk terus dan terus belajar, berefleksi dan berbagi, dalam hal apapun itu. Ia mirip-mirip seorang “nabi”. Saya kira buku ini tak cukup hanya sekadar dicecap sebagai bacaan, tapi jauh dari itu, marilah kita mendialogkan buku tersebut lalu mengaktualkannya dalam laku sehari-hari.