Pada beberapa potongan sejarah, jalan raya dan mahasiswa adalah satu kesatuan utuh yang dibalut dengan ide-de perubahan. Hal ini terekam pada beberapa kisah tentang sebuah protes yang ditujukan kepada kekuasaan yang tampangnya hipokrit. Kekuasaan yang mendongengkan tentang kemakmuran dan pembangunan yang merata, namun di saat yang bersamaan, dongeng tersebut tak mampu menjangkau semua komponen masyarakat. Pada saat itulah, ketika keresahan terakumulasi dengan praktik-praktik yang tidak adil dan menindas, jalan raya menjadi sebuah potret di mana suara lantang menggema untuk menuntut hak yang mulai dipangkas sedikit demi sedikit.
Dengan keberanian yang kukuh, jalan raya dijadikan panggung menyampaikan segala aspirasi ketika (yang katanya) para wakil rakyat tak lagi bisa dipercaya membawa kepentingan banyak orang. Ban-ban bekas dibakar hingga hangus sebagai simbol hangusnya kepercayaan. Teriakan dan amarah kemudian menyeru sebuah pesan: bahwa kepercayaan hanya boleh disandarkan kepada kebenaran.
Di Makassar misalnya, secara historis dari sebelum reformasi hingga pasca reformasi, gerakan mahasiswa kerap menggunakan jalan raya sebagai panggung untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Di bukunya yang berjudul, Demonstran dari Lorong Kambing, Amran Razak, seorang aktivis tahun 70-an menceritakan bahwa dia dan kawan-kawannya pernah melakukan demonstrasi dengan long march dari Jalan Perintis Kemerdekaan menuju bandara. Di sana mahasiswa bergerak untuk menyandera sebuah pesawat yang hendak terbang keluar kota. Aksi ini, salah satu bentuk “radikalisme” gerakan mahasiswa Makassar. Aksi ini, bentuk nyata kegeraman mereka terhadap rezim yang sangat menindas pada saat itu. Penyanderaan pesawat adalah simbol bahwa rakyat mengecam jika rezim yang dipimpin oleh Soeharto harus segera diturunkan.
Selain penyanderaan mobil atau pesawat, membakar ban dan memblokade jalan, aksi demonstrasi mahasiswa di jalan raya Makassar seringkali bertensi tinggi ketika dihadapkan dengan tindakan represif aparat (TNI/POLRI). Sentimen anti aparat di kalangan gerakan mahasiswa berawal dari tragedi “AMARAH” (April Makassar Berdarah). Saat itu, aparat menyerbu kampus UMI (Universitas Muslim Indonesia) dan melakukan tindak kekerasan terhadap beberapa mahasiswa. Banyak mahasiswa yang gugur dalam peristiwa ini. Untuk merawat ingatan kolektif akibat kejamnya praktik militerisasi tersebut, setiap bulan April, beberapa mahasiswa Makassar, khususnya mahasiswa UMI, selalu melakukan aksi dengan berbagai variannya di jalan raya dekat kampus mereka.
Jalan raya sudah menjadi medan penyampaian segala bentuk keresahan. Di Makassar ada beberapa jalan yang menjadi titik aksi-aksi demonstrasi. Dari jalan Perintis Kemerdekaan, jalan A.P Pettarani, jalan Sultan Alauddin, hingga jalan Tol Reformasi (tempat langganan) yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan fly-over. Hampir setiap demonstrasi yang dilakukan mahasiswa tumpah ruah di jalan Tol Reformasi ini. Mahasiswa dari berbagai kampus kerap menjadikan tempat ini sebagai titik pusat untuk berkumpul dan meneriakkan perlawanan.
***
Sebagai usaha memproduksi militansi perlawanan, kampus kemudian dijadikan sebagai basis pengkaderan, di mana berbagai teori perubahan sosial dibincangkan dalam rangka mencari gagasan yang pas untuk diterapkan bersama-sama masyarakat sebelum menyeru protes di jalan raya. Kampus tidak semata menjadi tempat memburu IPK tinggi dan mencari ijazah untuk mendapatkan perkerjaan yang layak. Sebagai Institusi pendidikan, kampus juga dijadikan sebagai tempat menempa diri dengan organisasi, sebagai wahana gerakan, menumbuhkan pelbagai gagasan, dan yang paling penting menjadi tempat merawat keberanian.[1]
Tapi kini, upaya menjauhkan fungsi controlling gerakan mahasiswa dari setiap aktivitas para pemegang kekuasaan didesain sedemikian rupa. Kampus yang dulunya berada dekat dengan pusat pemerintahan daerah, akhirnya direlokasi ke tempat yang cukup jauh berjarak dengan pusat pemerintahan. Seperti salah satu fakultas di UNHAS (universitas hasanuddin) dan beberapa fakultas di UINAM (universitas islam negeri alaudin makassar), yang dipindahkan dari Makassar ke Gowa. Kebijakan ini, merupakan uapaya menyulitkan mahasiswa dalam meobilisasi massa menuju kantor-kantor pemerintah daerah tersebut. Sebuah strategi agar gerakan mahasiswa meredupkan dan menurunkan tensinya untuk turun ke jalan raya melakukan protes kepada pemegang kuasa.
Seiring berjalannya waktu, dan akhirnya kampus semakin banyak berubah. Tempat yang dulunya membawa mandat pencerahan kini kian memudar. Ancaman drop out (DO) dengan sangat mudah dikeluarkan. Akibatnya, kampus hanya memproduksi kecemasan dan ketakutan. Aktivitas organisasi mulai dilarang, diskusi dibatasi. Akhirya demonstrasi turun ke jalan raya tak lagi ramai. Jalan raya tak lagi riuh dengan nada-nada perjuangan. Jalan raya semakin redup dan sunyi dari teriakan perlawanan.
Hari ini, sudah seharusnya kita menghidupkan kembali ingatan kolektif dan semangat dari potongan-potongan sejarah perlawanan yang digelar disepanjang jalan raya. Meski kini estetika jalan raya dipenuhi dengan sampah reklame iklan dan foto-foto para politisi dengan janji yang tak akan pernah dipenuhi. Meski kini jalan raya mulai meredup semangat perlawanannya. Eko Prasetyo mendaku, “Kini waktunya jalanan itu direbut kembali. Suarakan protes dan dengungkan pembangkangan. Nyatakan sikap melawan atas segala bentuk ketidak-adilan”.[2] Ungkapan tersebut merupakan sebuah seruan kepada kita semua, sebagai suatu subyek politik yang memiliki hak dan perjuangan hidup untuk terlibat dalam menentukan ke mana arah pembangunan bangsa, dengan kembali berpropaganda di sepanjang jalan raya.
Jalan raya dan mahasiswa adalah kesatuan utuh yang tak terpisahkan, ia akan tetap ada dan berlipat ganda. Semangat perlawanan yang tergelar di jalan raya perlu dipertahankan dan dijaga agar terus hidup. Sebab, watak kapitalistik yang telah menggerogoti banyak pemangku kebijakan kita perlu dilawan terus menerus untuk menciptakan sebuah tatanan yang lebih adil, demokratis, dan manusiawi. Kita harus memandang bahwa aksi massa yang dilakukan di jalan raya sebagai sebuah peristiwa politik, bukan sekadar kerumunan orang yang tanpa tujuan telah membuat kemacetan di jalan. Sekali lagi ini peristiwa politik, seperti kata Alan Badiou, bukan soal mengambil jarak, melainkan soal keberanian untuk mengambil posisi dan konsisten dengan posisi yang telah dipilihnya dengan cara memperjuangkan hingga akhir.
Referensi
[1], Eko Prasetyo, Bangkitlah Gerakan Mahasiswa, Resist Book, 2014
[2], Ibid,.