Al-Mai’dah

Semula berhulu di Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), pun bermuara di Ahok, Gubernur DKI Jakarta. Gegaranya di Kepulauan Seribu, beberapa waktu lalu. Lewat pernyataan Ahok, tentang surah Al-Maidah, ayat 51, yang terekam dan videonya banyak beredar – baik yang telah diperpendek maupun aslinya—menyebabkan kata Al-Maidah menjadi sangat populer. Nyaris kata ini menjadi objek perbincangan, tidak mengenal usia pebincangnya, anak kecil, hingga tua renta. Tempat perbincangan pun beraneka, bisa di dunia maya maupun nyata. Latar keagamaan seorang pun, ikut menghangatkan perdebatan. Kata Al-Mai’dah telah bertenggger di kepala, dan nangkring di hati rakyat banyak.

Seperti lazimnya, bila ada peristiwa sosial-politik yang menghebohkan dunia, khususnya negeri ini, maka terkadang kata-kata yang berupa nama, tempat, waktu dan lainnya, biasanya, orang banyak mengabadikannya pada nama-nama bayi yang baru lahir. Anggaplah sekadar contoh, ketika nama Yasser Arafat, Saddam Husein, Muammar Khaddafi, Imam Khomaeni dan nama-nama lainnya, menggelagarkan jagat, maka di era itu, tatkala ada bayi yang lahir, tidak sedikit keluarga mereka, menamakannya dengan nama-nama itu.

Sungguh, kalau saja ada anak atau cucu saya,  yang lahir di bulan Nopember 2016 ini, maka tak ayal, saya akan menamakannya dengan Almaidah. Tentu, saya harus pandai-pandai mengadaptasikannya, sehingga cukup elok untuk zaman kekinian dan masa datang, agar si anak pun bangga dengan nama itu, bukan sebaliknya menjadi beban, karena terkesan tidak sejalan selera pasar. Maka, beberapa nama pun melintas di pikiran saya, semisal: Ahmad Almaid, Maid Almaid, Maidaruzaman, dan lain sebagainya. Jika berkenan, tambahkanlah sederet nama-nama, yang konotasinya berakar pada Al-mai’dah, yang berarti Hidangan.

Gegara pernyataan Ahok itu pulalah, mengharuskan berurusan dengan publik. Ada yang membencinya, sesuka hati, namun tidak sedikit pula yang mencintainya setengah mati. Itu posisi banal, ekstrim yang berhadap-hadapan. Namun, banyak pula bersimpati  yang sekadarnya,dan antipati yang sewajarnya. Di atas segalanya, mungkin ini yang paling menarik, sebab memicu begitu banyak kreativitas dalam berkarya, baik dalam membuat gambar, karikatur, simbol-simbol dan pernyataan-pernyataan satiris. Ambil contoh saja, demonstarsi yang digelar tanggal 4 Nopember 2016 itu, disimbolkan menjadi 411, yang sekilas bila dibaca dari kanan, seolah terbaca Allah. Dan, tentulah yang paling tidak ketinggalan dari momen ini, sisi ekonomi kreatifnya, berupa cetak kaos yang bertuliskan Al-Mai’dah 51. Tukang sablon dapat rezeki yang terduga.

Gegara pernyataan Ahok itu pulalah, menyebabkan lahirnya kebersamaan sesama umat Islam di satu sisi, dan kebersamaan pada sisi lainnya. Bila demonstrasi besar-besaran itu jadi tolok ukurnya, maka itu hanya satu sisi saja, dari wajah umat Islam Indonesia. Sebab, di sisi yang lain, ada pula yang tidak melibatkan diri dalam ajang protes terbuka itu. Bahkan, secara gamblang, dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, melarang penggunaan atribut oraganisasinya dalam perhelatan itu, yang berpotensi ribut. Yang pasti, sepertinya, semua energi umat Islam di tanah air, moncong tembakannya, diarahkan pada seorang Ahok, yang kemudian terburai, ke berbagai penjuru mata angin umat Islam.

Gegara pernyataan Ahok itu pulalah, menyebabkan umat kembali menengok Al-Qur’an. Setidaknya, surah Al-Mai’dah, ayat 51. Ada sejenis gerakan kembali pada Al-Qur’an. Tidak sedikitlah kemudian, diskursus tentang maksud ayat dibabarkan. Mulai dari tafsir yang paling sederhana, hingga tafsir yang jelimet. Bagi umat Islam yang penasaran, akhirnya, belajar Ulumul Qur’an, Tafsir Al-Qur’an, yang puluhan metode kerjanya, dan segala hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an.

Saya hanyalah salah seorangnya, yang kembali menengok Al-Qur’an. Langsung saja pada surah Al-Mai’dah. Dan, barulah saya tiba pada ayat 8, yang bunyi terjemahannya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian sebagai para penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian (kalian) terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Mahateliti terhadap apa yang kalian kerjakan.”

Membatinlah saya, mungkinkah saya berlaku adil pada kasus yang menimpa Ahok ini? Bila sementara kebencian padanya menerungku saya? Atau, bisakah saya berlaku adil, manakala saya mencintainya, yang cinta itu membutakan saya?  Teringatlah saya pada nasehat para bijak bestari, bilamana dikau membenci jangan berlebihan, karena keterangan akan menyilaukanmu. Sebaliknya, manakala dikau mencintai, jangan pula berkelimpahan, sebab kelimpahan akan membutakanmu.

Yang jelas, gegara dikau Ahok, saya kembali mendemo diri saya, karena penistaan yang saya lakukan terhadap Al-Qur’an, karena tidak membacanya, mengkajinya, terlebih lagi, kurang melaksanakan ayat-ayat, yang tidak sekadar bicara pemimpin. Surah Al-Mai’dah, yang bermakna Hidangan, benar-benar telah menjadi hidangan ruhani, yang bernilai gizi tinggi. Tengkiyu Ahok, semua gegara dikau.

  • Jika ada seseorang yang berhasil membuat saya resah, untuk tidak mengatakannya tidak nyaman belakangan ini, sampai tergelitik menuliskannya, itu adalah Lutfhi Assyaukanie: Salah satu pelopor jaringan Islam liberal yang sampai sekarang masih mengkampanyekan paradigma liberal, untuk mengubah dekadensi umat muslim Indonesia agar menyerupai kemajuan peradaban bangsa-bangsa Barat. Status-status sinikal di dinding Fb biangnya, seolah-olah ia…

  • Chiron adalah seorang centurion sekaligus tuan guru yang mengajarkan seni berburu bagi para pangeran di zaman Yunani Kuno, dengan maksud untuk membekali para pangerann itu tentang keterampilan berperang, agar kelak mampu menjaga teritorialnya dari intimidasi perompak, penjarahan, maupun gangguan dan ekspansi kerajaan lain. Keahlian berburu yang melekat pada Chiron, merupakan bakat yang sengaja dikaruniakan oleh…

  • There is no happiness. Happiness is the way (Buddha) Tersebutlah seorang penggurutu, Eric Weiner. Ia berkeliling dunia mencari kebahagiaan. Persisnya, negara paling membahagiakan. Sederet negara dikunjunginya. Setiap negara ternyata warganya berbeda cara mengekspresikan kebahagiaannya. Weiner mencatat, Belanda = angka, Swiss = Kebosanan, Bhutan = Kebijakan, Qatar = Menang lotre, Islandia = Kegagalan, Moldova = Berada…

  • Sebelum membaca tulisan ini lebih lanjut, jika saja tertarik. Lakukanlah percobaan sederhana ini! Di tempat kamu sekarang, cobalah melihat sekeliling, adakah kucing yang sedang kamu lihat? Atau kalau tidak ada, cobalah mencari kucing. Lalu lakukanlah ini, tatap kucing itu selama semenit. Apakah ia balas menatap? Atau mengeong? Atau mencoba pergi? Selanjutnya, pikirkanlah judul tulisan buku…

  • Ternyata, menjadi dewasa itu tak cukup menyenangkan. Bukan, bukan tak cukup, tapi memang tidak menyenangkan sama sekali. Sewaktu kecil, kita sering berimajinasi menjadi orang dewasa itu pastilah seru: punya banyak duit, tidak harus tidur siang, mandi semau-maunya, dan bisa ke sana kemari tanpa dimarahi ibu. Semua imaji itu akhirnya porak-poranda ketika masuk ke gerbang kedewasaan.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221