Proyek Pemugaran Makam Kyai

—Untuk M. Rajab

Doktorandus Ramli terbangun mendadak di pagi buta itu dengan napas tersengal-sengal dan peluh seni bercucuran di segenap tubuhnya gegara mimpi dihimpit beton dari empat penjuru sementara lehernya dicekik rangka baja. Ia merasa akan almarhum saat itu juga, tapi beruntung Kyai Ahmad lekas datang dan menyelamatkannya. Dalam tiga tahun terakhir, setidaknya sudah lima kali Kyai Ahmad hadir selaku juru selamat dalam mimpi menyengkak yang dialami Doktorandus Ramli. Namun dalam mimpi yang terakhir ini, Kyai Ahmad berpesan sebelum pergi: “Ini terakhir kalinya aku datang menolongmu.” Pesan itu membuat Doktorandus Ramli bergidik hebat. Ia lebih bergidik lagi tatkala di akhir mimpinya, tiba-tiba ayahnya muncul dan berkata: “Putraku, ikutilah jalan Kyai Ahmad, atau kupastikan kau akan celaka!”

Doktorandus Ramli tak pernah bertemu zahir dengan Kyai Ahmad. Doktorandus Ramli hanya tahu alakadarnya sosok Kyai Ahmad dari cerita ayahnya, juga dari foto Kyai Ahmad yang ia warisi dari ayahnya. Ayah Doktorandus Ramli merupakan salah satu santri kesayangan Kyai Ahmad. Sekali tempo, Kyai Ahmad memberi sebotol air kepada ayah Doktorandus Ramli sambil berpesan: “Minumkan putramu air ini setiap hari, selama sebulan.” Ayah Doktorandus Ramli tak bertanya untuk apa ia meminumkan air itu pada Ramli, putranya. Ia menuruti saja apa yang diperintahkan gurunya. Demikianlah, dan setiap kali air di botol itu nyaris habis diminum Ramli, maka keesokan harinya botol itu terisi penuh kembali. Begitulah hingga air di botol itu habis sama sekali setelah genap sebulan.

Ayah Doktorandus Ramli percaya benar bahwa sebotol air dari Kyai Ahmad itu telah berkhasiat besar melapangkan jalan gemilang bagi putranya di kemudian hari. Sewaktu sekolah, Ramli selalu meraih peringkat tertinggi. Selepas sarjana, Doktorandus Ramli langsung diterima di sebuah perusahaan raksasa dengan gaji tinggi. Ketika kemudian Doktorandus Ramli membangun usaha sendiri, hanya dalam sepuluh tahun ia sudah menjelma menjadi pengusaha sukses. Tatkala akhirnya Doktorandus Ramli merambah dunia politik, ia juga dengan mudah menduduki sejumlah jabatan penting.

***

Sehari setelah mimpi menyengkak yang membuatnya bergidik hebat itu, Doktorandus Ramli mendatangi makam Kyai Ahmad. Semenjak menjadi anggota DPR, ia tak pernah lagi berziarah ke situ. Terakhir kali ia bertandang ialah ketika musim kampanye Pemilu tiga tahun silam.

Kali ini, maksud kedatangan Doktorandus Ramli lain dari biasanya. Jika lazimnya ia datang untuk bertawassul memohon segala macam pencapaian duniawi (baik kekayaan maupun pangkat), maka kali ini ia justru mohon dibimbing agar dihilangkan dari jiwanya rasa cinta pada dunia. Semenjak digidik hebat oleh mimpi menyengkak itu, Doktorandus Ramli seperti mendapat pencerahan baru. Ia bahkan merasa seolah terlahir kembali.

“Duhai Kyai Ahmad, sampaikanlah kepada Allah, kekasihmu, kiranya jiwa hamba diberi hidayah agar tak terpesona lagi pada kilau dan nikmatnya dunia,” pinta Doktorandus Ramli.

Usai bertawassul, Doktorandus Ramli berjalan-jalan di sekitar kompleks makam, sebelum akhirnya mengambil wudhu dan sembahyang Lohor di surau kompleks. Selepas lohoran, Doktorandus Ramli mengamati bangunan surau, juga sesekali menyapa dan menyalami peziarah. Di saat itulah tiba-tiba terbesit pikirannya untuk memugar kompleks makam itu. Sebagai penerima Bintang Gerilya dan seorang ulama terpandang, sangatlah patut negara membiayai pemugaran makam itu, pikir Doktorandus Ramli. Di DPR, Doktorandus Ramli merupakan anggota Badan Anggaran. Telah banyak proyek besar yang ia golkan dalam APBN.

“Kira-kira berapa dana yang dibutuhkan untuk memugar kompleks ini, Nas?” tanya Doktorandus Ramli kepada stafnya, Insinyur Anas.

“15 milyar sudah cukup, Bos.”

Makam Kyai Ahmad selalu ramai peziarah menjelang Ramadhan maupun selepas lebaran. Pada hari yang lain orang-orang juga tetap berdatangan, sekalipun jumlahnya lebih sedikit. Semasa hidupnya, Kyai Ahmad tidak hanya dikenal sebagai ulama yang punya banyak karamah, tetapi juga seorang pejuang. Ia meninggal karena sakit pada Desember 1947 ketika tengah memimpin santri-santrinya menghadapi agresi militer Belanda. Tahun 1949, pemerintah memberinya Bintang Gerilya atas jasa-jasanya pada negara. Enam tahun kemudian, kompleks makamnya dibangun oleh pemerintah. Di sekitar pusaranya diberi atap biar peziarah tak kepanasan atau kehujanan. Surau di kompleks makam juga dipugar dan diperluas.

Seiring kian bertambahnya jumlah peziarah, kompleks makam perlu ditata ulang, pikir Doktorandus Ramli. Taman sejuk nan cantik, serta fasilitas seperti lapangan parkir, kantin, minimarket, dan lain-lain, musti dibuat biar pengunjung lebih hikmat dan nyaman berziarah. Doktorandus Ramli membayangkan makam Kyai Ahmad itu dibangun dan dikelola seperti sejumlah makam ulama besar di Timur Tengah yang pernah ia kunjungi. Kalau makam Kyai Ahmad itu dikelola profesional, pikir Doktorandus Ramli, tentu akan ada efek ekonomisnya bagi warga setempat.

Setelah melewati lobi dan pembahasan yang melelahkan, akhirnya Doktorandus Ramli berhasil mengegolkan proyek pemugaran makam Kyai Ahmad dalam APBN.

“Saya serahkan urusan proyek ini sepenuhnya kepada kamu, Nas. Kawal dengan baik.”

“Bos tenang saja.”

“Proyek ini harus dikerjakan dengan benar. Dananya tak boleh dikorupsi. Aku sendiri tak minta persekot.”

Insiyur Anas terkesiap mendengar kalimat yang terakhir itu. Ia terus memikirkan kalimat itu ketika kakinya melangkah keluar dari ruangan Doktorandus Ramli (bahkan hingga sepekan kemudian). Ia pun tetap memikirkan kalimat itu ketika beberapa menit kemudian ia berbicara melalui ponsel dengan Insinyur Nazar.

“Bagaimana pembahasan APBN-nya, Bung, sudah selesai, kan? Jatah untuk saya, ada kan, Bung?”

“Tentu. Besok kita ketemu di tempat biasa.”

Insinyur Nazar sudah sering menggarap proyek yang digolkan Doktorandus Ramli. Sejauh ini, Doktorandus Ramli tak pernah kecewa dengan hasil kerja Insinyur Nazar, lantaran selalu tepat waktu, kualitasnya pas, tak pernah tersandung masalah hukum, dan persekotnya tak pernah mengecewakan.

“Tapi untuk proyek ini, Bos tidak minta persekot.”

“O ya?” kata Insinyur Nazar sembari membetulkan posisi duduknya.

“Apa aku perlu mengulangi kata-kataku?”

“Tapi buat apa Bos mati-matian mengegolkan proyek ini kalau ia tak ingin persekot? Apa ia sudah tak suka duit?”

“Kata Bos, berkah Kyai Ahmad lebih penting ketimbang duit.”

“Sepertinya Bos sudah kerasukan arwah Kyai itu.”

***

Menjelang pengerjaan proyek, Insinyur Nazar bertemu dengan Bupati. Salah satu yang mereka bicarakan dalam pertemuan itu adalah permintaan sang Bupati agar Insinyur Nazar bersedia menyumbang pembangunan mesjid raya kabupaten.

“Alakadarnya saja, Dinda Nazar. Uang 15 milyar itu perlu dikeluarkan zakatnya, biar proyeknya berjalan lancar.”

Ketika Insinyur Nazar menyerahkan sumbangan sebesar 25 juta, sehari setelah pertemuan itu, staf Bupati yang ditugasi menerima sumbangan, langsung menolak.

“Kata Pak Bupati, sumbangan dari Pak Nazar sebesar 250 juta. Kok cuma segini, Pak?”

“Bangsat!” umpat Insinyur Nazar, tapi hanya dalam batin.

Tak lama setelah itu, Insinyur Nazar juga bertemu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang selama ini diberi wewenang atas kompleks makam Kyai Ahmad. Keduanya membicarakan soal administrasi proyek. Tapi di akhir pertemuan, si Kepala Dinas memohon agar ia dilibatkan dalam proyek itu.

“Keterlibatan Bapak kira-kira dalam bentuk apa ya?”

“Saya bisa menyuplai beberapa truk untuk mengangkut material, Pak. Soal sewa per truknya, nantilah diatur.”

Ketika Insinyur Nazar meninjau lokasi proyek, Pak Camat menghampirinya dan berkata: “Pemuda desa sekitar sini kebetulan banyak yang nganggur, Pak. Saya berharap para pemuda itu direkrut sebagai pekerja proyek ini. Mereka ada yang bisa jadi tukang, buruh, atau petugas keamanan. Nanti biar saya yang menyeleksi mereka, Pak.”

***

Insinyur Nazar tengah membangun rumah untuk istri keduanya. Pengerjaan rumah itu terpaksa berhenti sebulan terakhir, lantaran Insinyur Nazar paceklik. Tapi mulai pekan ini tukang kembali bekerja di rumah itu. Seorang kawannya bersedia menalangi biaya penyelesaian pembangunan rumah itu dengan syarat dilibatkan dalam proyek pemugaran kompleks makam.

“Asal kau tak berpikir akan untung besar dari proyek ini.”

“Ya, aku mengerti. Anas sudah menceritakan semuanya padaku.”

Sementara itu, usai menerima amplop besar dari stafnya yang berisi sumbangan Insinyur Nazar untuk pembangunan mesjid raya, Bupati langsung memanggil ketua panitia pembangunan mesjid dan memerintahkan agar pembangunan menara yang sempat mangkrak, dilanjutkan kembali.

“Ini ada sumbangan dari seorang kontraktor,” kata Bupati sambil menepuk-nepuk amplop besar di atas meja, “Kamu tak perlu tahu berapa isinya, sebab jumlahnya tidak seberapa. Dana ini untuk membeli material dan menggaji tukang. Staf saya yang akan mengurus semuanya. Kamu tinggal terima beres.”

Insinyur Nazar baru menyerahkan sumbangan sebesar 50 juta, dan berjanji akan menyerahkan 20 juta lagi kalau proyek sudah berjalan. Ia hanya menyanggupi sumbangan 70 juta untuk mesjid raya. Tapi Bupati berencana akan terus membujuk Insinyur Nazar agar mau menyumbang hingga 100 juta.

Sementara itu pula, setelah Insinyur Nazar mengiyakan permintaan menyuplai 5 truk pengangkut material, si Kepala Dinas lantas mengkredit sebuah truk baru. Semula si Kepala Dinas hendak mengkredit 4 truk, sebab ia hanya punya sebuah truk. Tapi rencana itu batal lantaran Bupati akhirnya tahu pembicaraan si Kepala Dinas dengan Insinyur Nazar soal suplai truk itu.

“Mohon maaf, Pak Bupati, saya baru sempat memberitahu soal ini. Tapi sedari awal saya sudah siapkan 3 jatah truk buat Bapak. Saya cukup 2 jatah truk saja, itupun kalau Bapak mengizinkan,” kata si Kepala Dinas yang mendadak dipanggil menghadap oleh Bupati.

“Tapi saya dapat kabar, kemarin kamu menemui Insinyur Nazar dan minta jatah memasok pasir dan timbunan, juga semen dan besi. Apa itu benar?”

Si Kepala Dinas terkejut dan mendadak gemetar, tapi ia berusaha menyembunyikannya. Segera ia putar otak sebelum akhirnya berkata, “Itulah juga yang sebenarnya ingin saya laporkan, Pak.”

“Kalau jatah memasok material itu saya ambil semuanya, kamu tidak keberatan, kan?”

“Tentu, Pak. Dengan senang hati,” kata si Kepala Dinas di balik batinnya yang dongkol.

Sementara itu, Camat yang kebagian merekrut buruh, tukang, dan petugas keamanan, mulai melakukan perekrutan. Camat menegaskan kepada calon-calon pekerja itu bahwa gaji mereka kelak bakal dipotong 15 persen. Para calon pekerja tentu tak keberatan, daripada terus-terusan menganggur.

“Kyai Ahmad sungguh luar biasa. Beliau tidak hanya mendatangkan manfaat ketika masih hidup, tetapi juga ketika beliau telah wafat,” kata seorang lelaki tukang batu ketika sedang mengocok kartu domino. Hari itu ia dan kawan-kawannya calon pekerja proyek tengah berjudi setelah berminggu-minggu tak naik gelanggang lantaran tak punya taruhan. Mereka berani berutang dulu demi bisa main judi lagi, dan berharap akan membayar utangnya itu dari upah di proyek.

“Selepas dari sini, kita singgah dulu ziarah ke makam Kyai Ahmad, menyampaikan terima kasih kepada beliau.”

***

Presiden akhirnya mengeluarkan instruksi penghematan anggaran setelah penerimaan pajak meleset jauh dari target. Proyek yang dianggap tidak prioritas, lantas dibatalkan. Salah satunya proyek pemugaran kompleks makam Kyai Ahmad.

“Sialan!” kata Insinyur Anas kesal, “Mestinya proyek pemugaran makam itu ditunda saja, bukan malah dibatalkan. Iya kan, Bos? Ah, begitulah kalau Presiden tidak mengerti agama!”

“Bukan Presiden yang menghendaki proyek ini dibatalkan.”

“Lalu siapa, Bos?

“Kyai Ahmad sendiri yang menghendakinya.”

“O ya? Bos jangan buat saya bingung.”

“Hehehe. Sudahlah. Lupakan soal proyek itu,” kata Doktorandus Ramli lantas melangkah pergi.

Insinyur Nazar bergegas menemui Insinyur Anas. Di hadapan Insinyur Anas, Insinyur Nazar membanting desain gambar kompleks makam sambil mengumpat: “Presiden bangsat!” Ia membuang ponselnya begitu saja ke atas sofa ketika istri keduanya menelpon. Ketika ponselnya kembali berdering dan di layarnya tampak Bupati melakukan panggilan, buru-buru Insinyur Nazar mengambil ponsel itu, lantas mencelupkannya ke dalam akuarium.

Kabar pembatalan proyek pemugaran makam itu membuat si Kepala Dinas stres memikirkan kredit truk barunya. Ketua panitia pembangunan mesjid raya pusing memikirkan gaji pekerja bangunan menara yang tak kunjung diserahkan staf Bupati. Camat menjadi kerap murka setiap kali didatangi calon pekerja yang meminta kejelasan proyek. Sementara itu, si tukang batu calon pekerja proyek yang tempo hari bersuka cita di atas gelanggang judi, dengan kesal berkata: “Ah, Kyai Ahmad ternyata tak ada gunanya. Hanya orang dungu yang mau ziarah ke makamnya.” []

Makassar, 19 September 2016

  • Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa…

  • Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya. Sikap…

  • Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai. Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan…

  • Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru. Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun…

  • Awalnya agak ragu kelas menulis PI tidak jadi digelar. Tibatiba hujan datang. Deras. Tapi, selama berlangsung, kelas PI tidak pernah bolong. Sudah hampir tujuh bulan kelas dibuka. Sekarang, yang diuji konsisten. Juga disiplin. Semangat bisa datang, bisa lapuk, bahkan hilang. Kali ini biar bagaimana pun kelas tak boleh gagal. Pasca hujan reda, gegas berangkat. Semangat…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221