November, Oh…  November

Biasanya, begitu memasuki bulan November, segera saja saya beromantis ria, dengan memutar berulang kali, tembang lawas dari Black Brothers, yang berjudul, Kenangan November, yang potongan syairnya, “Terlalu cepat pertemuan ini // terlalu cepat pula perpisahan // namun kenanganku denganmu // di awal Nopember yang biru.” Namun, November kali ini agak lain, saya menyebutnya November yang garib. Pasalnya, lagu tersebut tak sanggup saya resapi, seperti tahun-tahun sebelumnya, disebabkan November 2016 ini, adalah November yang ribut di ranah dan ruang publik.

Pun, makin ganjil seganjil-ganjilnya November kali ini. Soalnya, saya tidak bisa bersedap-sedap dengan Guns ‘N Roses, salah satu band rock legendaris dunia, lewat nyanyian baladanya, yang bertajuk, November Rain. Apatah lagi, sesekali hujan masih mengguyur mukim yang gaduh, karena saling debat, yang berujung saling maki, saling benci dan saling meniadakan diri, di media luring dan daring. Tapi, tak mengapalah saya tetap saja menukilkan penggalan syairnya, “When I look into your eyes // I can see a love restrained // But darlin’ when I hold you // Don’t you know I feel the same // ‘Cause nothin’ lasts forever // And we both know hearts can change // And it’s hard to hold a candle // In the cold November rain.”

Ributnya November tahun ini, gegara sesama anak bangsa saling cakar kata-kata. Lontaran hujatan, menjadi hajatan sehari-hari. Tidak mengenal waktu: pagi, siang dan malam. Produksi dan  reproduksi polusi kata seolah muntahan yang tiada henti. Kata-kata menjelma serupa dengan kalimat-kalimat, yang menjadi senjata, yang siap diberondongkan untuk saling bunuh karakter. Ujar kebencian menjadi ritus, melebihi rutinitas panjatan doa sehari-hari.

Gaduhnya November tahun ini, gegara, “ menanti kejujuran, harapkan kepastian,” persis seperti yang diharapkan oleh group band God Bless, lewat lagunya yang menggugat itu, Menanti Kejujuran. Dalam masa penantian akan sikap jujur, dan harapan kepastian, akan damainya kembali negeri ini, namun sayang seribu sayang, sikap yang mengemuka, justru ketidakjujuran akibat kebencian yang menghidu setiap prilaku. Kepastian apa yang diharap, tatkala semua pihak menjeremuskan diri, pada ego yang mengundang ketidakpastian? Akhirnya, barulah ketidakpastian yang pasti. Ketidakjujuran yang dijujur-jujurkan.

November, oh… November lagi.   Pada titik ini, saya ingin mengajukan satu momentum, untuk merefleksikan diri, tepatnya, pada setiap tanggal 10 Nopember, termasuk tahun ini, memperingati Hari Pahlawan, mengenang jasa para pahlawan, waima tidak dengan mengheningkan cipta di lapangan upacara, atau tabur bunga di taman makam para pahlawan, atau melaut sembari tebar bunga. Tetapi, dengan mengkhusyukkan diri, dalam kedalaman syair lagu dari Black Sweet, yang berjudul, Pusara Tak Bernama.

Ungkapan lirisnya, begini: “Dalam belaian angin gersang // di atas bukit nan sepi // engkau terbaring dalam tidurmu yang lelap. Dalam temaram senja kelabu // di sisi lorong yang sepi // engkau tertidur di kesunyian abadi. Engkau tak dikenal namamu // di lembaran bunga bangsa. Engkau dilupakan jasamu // di lembaran sejarah. Pusara tak bernama // kau ditinggal terlantar penuh debu. Pusara tak bernama // siapa pemilikmu // pahlawan.”

Sesungguhnya, peristiwa 4 November 2016 yang lalu, jika ditilik lebih cermat, tidak sedikit orang yang ingin mempahlawankan diri, baik yang setuju pada aksi itu, maupun yang tidak  ikut. Ada yang mendefenisikan demonstrasi itu sebagai medan jihad, sehingga berpotensi untuk melahirkan para pahlawan. Namun, di sisi yang lain, nampak pula keinginan, dengan tidak mendukung medan laga itu, pun berencana mempahlawankan diri. Padahal, sesarinya, di masa silam, para pahlawan tidak pernah mencitakan diri untuk menjadi pahlawan. Hanya generasi berikutnyalah, yang menabalkan orang-orang yang berjasa bagi negeri, sebagai pahlawan. Baik pusaranya bernama, maupun tak bernama.

Terbayanglah sudah dalam angan-angan liar saya, bahwasanya, bila November yang ribut bin gaduh ini, tidak berakhir jua, maka akan tibalah Desember yang penuh badai. Persis seperti yang diumbarkan oleh Ucok Aka Harahap, dalam ungkapan judul lagunya, Badai Bulan Desember, yang petikan syairnya, “Tak pernah kusangka, janji tak terpenuhi, pengertianmu selalu kuharapkan. Semua ini menimpamu, karena aku, badai bulan Desember.”

Yah…badai bulan Desember, mungkin saja akan berakhir, seiring dengan adanya kepastian pada harapan, yang sementara menanti kejujuran. Amat banyak anak bangsa yang telah menghimbau, bahwa apapun muaranya dari kepastian hukum, terhadap pemantik awal keributan dan kegaduhan ini – dugaan penistaan Al-Qur’an dan Ulama, oleh Ahok — mestilah diterima dengan lapang dada. Sebab, bila tidak, terungku badai ini akan melahirkan badai yang lebih besar, yang mungkin saja mewujud menjadi tsunami. Dan, kalau itu yang terjadi, maka Desember tahun ini, bagi negeri ini, adalah Desember Kelabu, sepersis yang didakukan dalam tembang, yang dilantunkan oleh Maharani Kahar, gubahan  A. Riyanto itu.

Akankah bangsa Indonesia menutup tahun ini dengan luka-luka di jiwanya? Jika jiwa bangsa ini terluka nan meradang, maka pastilah raganya bakal porak-poranda. Dan, itu berarti, saya mesti ingatkan kembali pada lagu wajib kita bersama, Indonesia Raya, yang intinya, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.”

  • Kelas menulis KLPI tidak seperti biasanya. Lenggang. Tapi, itu bagian dari rutinitasnya selama ini. Kadang kelas banyak kedatangan kawan-kawan, juga seringkali seperti pekan kemarin, sepi. Bagi kawan-kawan, kondisi demikian sudah biasa. Yang berbahaya jika KLPI berhenti. Apabila KLPI berhenti, itu artinya dua hal: pertama, tujuan KLPI sudah terealisasi. Kedua, jika menulis dilarang pemerintah. Yang pertama,…

  • Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa manusia terdiri dua unsur, jiwa dan raga. Setiap dari keduanya, masing-masing punya cara untuk merawatnya. Waima perawatannya berbeda, namun keduanya saling memengaruhi. Jiwa bisa mendikte raga, sebaliknya pun demikian, raga bisa mengarahkan jiwa. Relasi antara jiwa dan raga, tidak sepi dari perdebatan, amat bergantung pada pandangan dunia yang mengawalnya. Perdebatan…

  • Sorak-sorai teman-temannya membuat suasana kelas menjadi gaduh. Pak Bato mengetuk meja berulang kali sembari menyeru, “Anak-anak mohon tenang!” Keributan itu bermula ketika Pak Bato, wali kelas tiga sekaligus guru sejarah di SD itu, menanyakan Danu tentang impian dan cita-citanya. Danu awalnya menolak untuk menjawab pertanyaan gurunya. Sebab, ia menilai ada yang aneh dengan impain dan…

  • Manusia Itu Fidel! Fidel.. Manusia yang sepantas-pantasnya untuk dihormati.. Seluruh hidup bekerja untuk kemanusiaan.. Tentang cita dan harapan akan dunia yang bebas dari penghisapan dan penindasan.. Negeri yang mengaku adidaya membencimu, memantau gerak-gerik dan berkali-kali menuduhmu teroris.. Karena membunuhmu adalah keharusan bagi mereka yang menghalangi hasrat kerakusan! Tetap saja, sampai sekarang Kuba tetap tegak, dan…

  • “Walau kita berbeda-beda namun kita tetap bersatu dalam bingkai NKRI, yang punya sifat fanatisme minggir dulu jangan usik ketentraman ibu pertiwi” – Indra Andrianto Indonesia merupakan negara multikultur dengan masyarakat yang plural (majemuk), terdiri dari beragam kebudayaan, agama, bahasa serta suku. Lahirlah semboyan yang disebut “Bhiennika Tunggal Ika”, istilah yang diambil dari kitab Sutasoma pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221