Bara di Dada Pertiwi
Di tepian pantai kusaksikan anak-anak angin dengan riangnya berdansa memainkan alismu.
Kau tertidur di atas bangkai perahu reyot. Kebayamu yang lusuh, koyak. Payudaramu yang memabukan iman, tampak oleh mataku.
Pertiwi. Rupanya, kau baru saja ditindih dagingmu sendiri. Daging yang kau pangku selama tujuh puluh satu tahun tanpa Ayah. Entah, siapa ayahnya?
Pertiwi. Sepertinya kau tak lagi merasakan sebilah belati menyerupai angin menikam wajahmu. Lalu, turun ke dadamu yang lebih dahulu dingin.
Mungkin dagingmu merasa telah berhasil menyimpan bara di hatimu? Padahal yang terbakar adalah sepi dan lukamu. Tidak dengan cintamu.
Ritus Jalan Raya
Di jalan raya. Aku melihat orang berpelukkan saling mempertegas makna nun rupa-rupa
Begitu sepi dan sunyi tuhan membisik dari tahta langit. Nafsu dikultus, cinta diusik.
Mataku khusyuk menjamah sepasang payudara lenggak-lenggok yang melintas. Kejahatan bersumber darinya, tetapi imanku bergumam serupa: dialah inti sajak dan puisi yang kutulis pada daun-daun yang berseliweran di ritus jalan, kotor dan berdebu.
Kupastikan diriku bukan nabi. Lamat-lamat kulempar pandanganku melanglang buana di sembir gubuk reyot yang senyap didatangi malaikat. Di sana aku melihat perempuan bernyanyi, ia menghibur hatiku yang lebih dingin.
Dan, di jalan pula. Diam-diam maut memasang perangkapnya. Sebab, si pengandara mengejar kecepatan. Ia melunasi hidup dengan kematian.
Tatkala Jelata Bertahta
Tatkala jelata bertahta akan kuasa
Di sana, di teater legeslatif
Kepastian cerita moleknya Dewi Adil
Sembari meneguk kopi yang ditanam sendiri. Pun, dari tanah sendiri
Di ruang sadar gema kebebasan dinyanyikan Sang penyair
Konstitusi tak lagi diperkosa rupa-rupa kulit ideologi
Jejak-jejak kuasa menjadi milik bersama
Lalu, topeng politisi senyap dari panggung perang tanding