Trilogi Kampus: Maha Menaragading dan Puisi-puisi Lainnya

Matinya Kampus

Kampus telah berubah.
Banyak hal yang telah hilang.
Parahnya, tak ada lagi yang sudi mencarinya.
Tak ada yang ingin bersusah-susah memulainya.

Dahulu, sudut-sudut kampus penuh sesak dengan lingkar-lingkar diskusi.

Ruang-ruang kuliah penuh debat-debat dialektis.
Hari ke hari suara-suara megaphone bersahut-sahutan.
Di sana-sini ramai aktivitas mahasiswa ; Olahraga, olahrasa, olahpikir, olahhati, olahkata, olahsosial dan barangkali olahkelamin.

Namun kini, hilang satu demi satu.
Kebebasan akademik telah dipasung.
Kemerdekaan berpikir, berpendapat serta berserikat telah dirampas.
Kritik dilarang.
Suara-suara protes dibungkam.
Katanya itu subversif.
Atas nama kedisiplinan, sopan-santun, etika-moralitas semuanya dilarang.

Kampus ibarat penjara.

Di sana-sini penuh tanda larang-melarang, rampas-merampas, bungkam-membungkam.
Mungkin wajahnya tidak lagi seperti dahulu; NKK/BKK, Petrus, Opsus militer seperti di era Orba.
Tetapi wataknya tetaplah sama.
Kemasannya saja yang bergantirupa.
Kini kejahatan dihalalkan negara.
Wujudnya bisa berupa Undangundang, Perpres, Permen, Statuta, atau bahkan Kontrak kuliah.

 

Maha Menaragading

Tatkala sumpah telah berganti sampah,

Maka, pekik revolusi pun akan mati.

Namamu yang kini bergelar “Maha”. Mahaguru, Mahasiswa justru membawa pada tunanurani.

Ketika teman-teman turun ke jalan.

Dengungkankebenaran, pekikkan keadilan. Nuranimu tak jua bergerak-bergetar.

Engkau malah asik duduk diam di ruang kelas atau berjualan proyek proposalmu.

 

Kau si “Maha”,

Nyayian teorimu di atas menara gading itu, sungguh hanya hampa yang kau bawa.

Sejarah tak pantas mencatat hadirmu.

 

“Bergegaslah, Lupakan saja mereka”

Kawan, bergegaslah.

Cepatlah pakai togamu.

Pakai jubah kemuliaan itu.

Rapikan rambutmu, tambahkan sedikit make up di wajahmu.

Dan jangan lupa, siapkan senyuman termanismu untuk mereka, bapak rektor dan para guru besar yang terhormat itu.

Kawan, bergegaslah.

Lupakan saja mereka, kawankawanmu yang sering kau sebut pemalas itu.

Biarkan mereka menua di loronglorong kampus, di ruangruang kelas, atau di sudutsudut jalan raya.

Kawan, bergegaslah.

Lupakan saja mereka, kawankawanmu itu.

Bukankah mereka itu para pemalas, pembangkang, tak beretika, tak tahu aturan? Dosendosen sering berkata begitu.

Kawan, bergegaslah.

Tak usah pikirkan mereka, urusi saja diri dan masa depanmu.

Bukankah dosendosen sering berucap “Hidup ini kompetisi, buang jauhjauh pikiranmu untuk turun kejalan, tak usah ikutikut demonstrasi, ikutikut mengkritik. Jadilah mahasiswa yang baikbaik, berbudi pekerti luhur”.

Kawan, bergegaslah.

Tak usah pakai nuranimu, simpan saja di laci mejamu, atau di selangkangan pahamu, atau kalau perlu buang saja ke toilet.

Tak penting, seberapa siap kau mengabdi di masyarakat.

Tak peduli, seberapa banyak pengetahuan yang telah kau dapat. Bergegaslah saja.

Kawan, bergegaslah.

Antrian panjang robot berparas manusia menungguimu.

Barisbaris pengangguran berijazah menantimu. Bergegaslah!

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221