Orang-orang Berbaju Putih di Malam Natal

Seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan Natal kembali memeriahkan kota Ambon. Namun tetap sama, ketegangan masih saja menggerogoti hati sebagian orang, termasuk Saleh— Lelaki yang baru tiba di Ambon tiga hari yang lalu, setelah lima tahun mengecap pendidikan di salah satu universitas di Makassar.

Kabar-kabar akan terjadi lagi kerusuhan, masih saja bermukim di kapala sebagian orang. Kendati demikian, setiap hari-hari besar (Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru), ketegangan selalu saja terjadi. Hal ini lantaran luka sejarah, terjadinya kerusuhan di tahun 1999 silam, masih membekas dalam hati dan benak sebagian masyarakan Ambon. Luka yang hanya dapat diobati dengan maaf, cinta dan kesadaran hidup berdampingan dengan harmonis sebagai orang Basudara[1].

***

Magrib membayang, senja hampir hilang ditelan malam, bunyi petasan sebagai tanda dimulainya malam Natal, terdengan santer di telinga. Saleh melangkah di tengah-tengah keramaian Terminal Mardika; pedagang pakaian, pedangan “kaki lima”, angkot yang parkir berjejer menunggu penumpang, orang-orang yang berlalu lalang di sana, menyesaki terminal itu.

Bunyi petasan, teriak pedagang-pedagang yang menawarkan barang jualan mereka, bising suara knalpot angkot dan motor yang melintas, suara orang-orang berbicara, membuat suasana menjadi hiruk-pikuk.

Saleh hendak mengunjungi temannya di Waihaong, lelaki itu tak dapat menyembunyikan perasaannya. Meski tampak tenang, namun rasa cemas berkecamuk dalam hatinya, sebab, di terminal itu, tempat pejumpaan orang dari segala penjuru kota Ambon, Islam-Kristen bercampur-baur di sana. Kecemasannya itu lantaran kabar yang disampaikan seoarang temannya kemarin malam, bahwa ketegangan terjadi di daerah Batu Merah, orang-orang berjaga-jaga hingga tengah malam.

Saleh kemudian mengambil angkot menuju Waihaong. Selama perjalanan, beberapa kali ia melihat pohon natal yang dihias lampu-lampu, menghiasi samping-samping jalan. Dan orang-orang berpakaian rapi, mulai terlihat menuju gereja.

Saat angkot yang ditumpanginya berhenti di lampu merah perempatan Jalan A.Y Patty—di depan Masjid Al-Fatah, ia melihat sekumpulan polisi sedang berjaga-jaga di pos perempatan itu. Hal itu membuatnya semakin cemas. Sementara di depan sana, tepanya di perempatan Tugu Trikora, kerumunan orang Kristen dengan pakaian rapi, ramai berjalan menuju Gereja Silo, ada juga yang datang dengan mobil dan motor. Hal itu semakin memperparah suasana batinnya. Bagaimanapun juga, peristiwa kala itu, masih terbayang dalam pikirannya. Saat kerusuhan mencapai puncak keganasannya, di sanalah— di perempatan Tugu Trikora, ia menyaksikan kepala tertebas parang hingga lepas dari badan, darah tumpah membanjur permukaan aspal, tubuh-tubuh meregang nyawa kembali ke muasal.

“Bagaimana jika sampai di depan sana, lalu sesuatu terjadi?” ia menduga-duga dalam hatinya.

Pikirannya mulai tak karuan, kecemasan berubah jadi ketakutan, ketegangan pun tampak pada dirinya, ia gelisah di tempat duduknya, tatapannya tajam menyelidiki.

Lampu hijau menyala, angkot bergerak mendekati Tugu Trikora—karena itu jalur yang akan dilewati. Ia berusaha tenang, karena ia melihar sopir dan penumpang lainnya terlihat tenang-tenang saja.

Hanya beberapa depa saja mobil angkot yang ditumpanginya tiba di perempatan itu, namun tiba-tiba harus berhenti di sana, karena kemacetan yang terjadi di depan gereja Silo. Tatapannya semakin tajam menyelidiki, meski tubuhnya tenang di tempat duduknya, bola mata bergerak liar penuh curiga, kilau matanya berbinar ketakutan.

Seketika ia sontak kaget, menyaksikan pemandangan di depannya, saat mobil angkot membelok ke kanan melewati depan Gereja Silo, ia seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya , ia menatap heran-heran pada beberapa orang berpakaian putih dan songkok putih, yang terlihat di depan gereja; ada yang terlihat sedang membantu mengatur lalu lintas jalan depan gereja, agar tidak terjadi kemacetan panjang, ada yang membantu orang-orang kristen yang hendak ke gereja menyeberang jalan, ada yang berdiri di depan gereja terlihat seperti berjaga-jaga. Keningnya mengerut, tatapannya menyiratkan keheranan. Meski mobil angkot perlahan bergerak menjauhi Gereja Silo, tapi pandangannya tetap tertuju pada orang-orang berbaju putih itu. Melihat tingkahnya, para penumpang lain menatapnya heran-heran.

Nyong![2]Ose kanapa?[3]” tanya seorang wanita paruh baya yang duduk di hadapannya.

“Ha!” suara perempuan itu mengagetkannya, “Itu,” telunjuknya menunjuk ke arah orang-orang berbaju putih itu.

“Mereka sedang apa?” tanyanya

“Oh! Itu orang-orang muslim yang menjaga keamanan gereja,” jawab wanita paruh baya itu.

“Sekarang itu, kalau Natal orang muslim menjaga kemanan gereja-gereja, sedangkan kalau Idul Fitri, Orang kristen menjaga keamanan masjid-masjid,” lanjut perempuan itu menjelaskan.

Saleh hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan wanita paruh baya itu, perasaan cemas dan takut berubah menjadi ketenangan yang begitu damai.

“Aku seperti menyaksikan Muhammad dan Isa ada di tengah orang-orang itu,” gumamnya dalam hati.

Ia pun duduk tenang di tempat duduknya sembari memandangi kembang api yang meletus warna-warni membedaki langit kota Ambon, lalu tersenyum.

[1] Bersaudara

[2] Panggilan untuk seorang pemuda

[3] Kamu kenapa

  • Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa…

  • Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya. Sikap…

  • Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai. Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan…

  • Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru. Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun…

  • Awalnya agak ragu kelas menulis PI tidak jadi digelar. Tibatiba hujan datang. Deras. Tapi, selama berlangsung, kelas PI tidak pernah bolong. Sudah hampir tujuh bulan kelas dibuka. Sekarang, yang diuji konsisten. Juga disiplin. Semangat bisa datang, bisa lapuk, bahkan hilang. Kali ini biar bagaimana pun kelas tak boleh gagal. Pasca hujan reda, gegas berangkat. Semangat…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221