Secangkir Rindu

Kau adalah puisi, bukan puisi yang sering kubaca atau sering kudengar, tapi puisi yang justru sering kau lihat namun sulit kuterjemahkan maknanya.

Tak mudah memaafkan dan mengabaikan apa yang orang lain lakukan padamu. Terkadang muncul rasa benci yang justru menggerogoti tubuh, hati dan pikiranmu. Seseorang pernah berkata padaku, mungkin dengan mengikhlaskan dan memaafkan akan membuat hidupku jauh lebih baik. Namun aku katakan padanya, “Pernahkah kamu berada di situasi yang sama denganku ?”

Kilat menyambar, gemurung angin mulai berceloteh pada alam, bahwa hujan sebentar lagi akan datang. Lampu tiba-tiba saja padam, aku sama sekali tak terlihat cemas. Kunikmati hembusan angin malam yang bertiup kencang. Menyandingkan si hitam pekat tanpa gula, di ruang rindu dan kuteguk perlahan. Pahit, namun coba kuteguk hingga akhir. Yang terhindang di hadapanku rasanya bukan kopi, tapi secangkir rindu. Meneguknya perlahan, seakan memaki rasa di lintas imaji. Meneguknya sekaligus, pahitnya bak deskripsi mencecar hati. “Sayang, aku rindu padamu, mengapa kau masih asyik menawan hati dan mengajaknya bermain ilusi.”

Ingatanku sekejap berkelana tentang kita. Malam itu, setelan jas berwarna hitam dilengkapi dasi pita berwarna senada. Aku ingat saat terakhir kita bertemu. Tampak kau panik melihat jam tangan Alexander Christie yang melingkar di pergelangan tanganmu. Cincin pertunangan kita telah kuletakkan di saku, siap kusodorkan menghiasi jari manismu. Saat melangkahkan kaki menuju meja makan, keringat dingin telah lebih dulu menyelimutiku. Perlahan alunan musik instrumen menuntun langkahku yang kini mulai teratur. Malam ini spesial untuk kita berdua, terlebih untukku yang siap meminangmu. Kau terlihat pucat pasi melihatku duduk di hadapanmu. Sulit menerka apa yang terjadi, kali ini kulihat di matamu, sorotan tajam dengan gerak tubuh yang kaku. Kau yang terlihat lebih gugup, namun matamu tak berbicara padaku.

Dari kejauhan tampak seorang pria memandangimu, melangkah perlahan dan kini tepat berada di hadapanmu. Suasana semakin tak bisa kupahami, melihat seorang pria berlutut di hadapanmu lebih dulu, membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku mencoba mengigat siapa dia, lalu kupastikan bahwa pria itu benar adalah dia yang pernah mengisi hatimu. Aku geram sayang, sungguh pemandangan ini membuatku naik pitam.

Sayang, aku tahu pria itu adalah dia. Si pecundang yang tak pernah berani menemuimu. Kelas bangsawan yang kini tampak seperti kaum rendahan itu, memohon untuk kembali padamu. Pecundang itu pernah memakimu sayang, baginya kau hanyalah seorang gadis yang bisa digunakan, saat tidak kubutuhkan, dia bisa membuangmu.

“Mana mungkin kelas bangsawan berketurunan raja sepertiku menikah dengan orang desa sepertimu, dari keluarga yang biasa-biasa saja?” Dia laki-laki Bugis-Makassar, dengan bangga meninggikan egonya di hadapanmu. Harga diri dijadikannya sebagai alibi. Tak masuk akal baginya, jika menikah denganmu, sekalipun kamu adalah ibu dari anaknya. Demikian kalimat itu, dia dengungkan ke telingamu, ketika luka caesar yang kau tanggung, masih terasa sakit setiap menitnya.

Aroma busuk akan tercium di mana-mana sekuat apapun kamu menutupinya. Siri’ sebagai harga diri ataupun kehormatan yang dijunjung tinggi keluarga pecundang itu, menodai kehormatan anak gadis orang lain, tanpa mau bertanggung jawab. Saat itu aku masih ingat sayang, kau hanya meminta Ritaroang Siri’ yang artinya ditegakkan kehormatannya, karena bagimu tak mungkin meminta pria lain menjadi Passampo Siri’ yang artinya penutup malu. “Aku bukan ingin mengingatkanmu masa sulit itu sayang, tapi bukankah pria yang selalu ada untukmu hanyalah aku?”

Apa kau masih ingat sayang, saat kau sibuk menenangkan diri, mengumpulkan semua tenaga untuk berdiri tegak di hadapan dia. Menghela napas panjang seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tak bisa. Kala itu aku hanya bisa terdiam sayang, yang kudengar hanya suara isak tangismu yang perlahan mulai samar.

Kau gapai tas kulitmu yang sedari tadi menjadi saksi bisu, dalam ruang yang menjadi perhelatan perdebatanmu. Kau katakan padanya “Apa pantas pria sepertinya disebut sebagai bangsawan?” Sekali pun sulit bagimu, kau katakan lagi “Dia itu hanya sampah. Orang sepertinya bahkan tidak pantas disebut sebagai orang desa.”

Pecundang itu yang notabene adalah orang yang mengatakan dirinya beradat, justru menghilang dan memilihmu orang lain mengalami penderitaan seumur hidup. Orangtua seharusnya mengajarkan anaknya bagaimana cara mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi yang dilakukan kelas bangsawan itu, secara diplomatis menyodorkan uang padamu, dan ingin kau berlalu pergi. “Apa kau ingat itu sayang?”. Melihat sikapmu yang demikian membencinya, membuatku merasa akan memenangkan hatimu lebih dari dia.

Sayang, makan malam kita benar-benar sempurna. Sifat dermawanmu kau tunjukkan di hadapannya, dan juga di hadapanku. Pecundang yang dulu membuangmu seperti seonggok kertas, kau buat berlutut dan meminta maaf padamu. Aku tahu sayang kau masih menyimpan cinta dan rindu padanya. Kelemahan terbesarmu adalah tak tega melihat orang lain memohon padamu, terlebih lagi dia adalah ayah dari putri kecilmu. Tepat di hari aku akan memintamu menjadi pendamping hidupku. Aku melihat raut wajahmu yang khawatir sayang. Aku tahu benar, raut wajah itu bukan karena kau khawatir padaku. Kau khawatir padanya, pada pecundang yang masih berlutut saat kau berlari meninggalkannya.

Aku bertanya padamu dalam diamku, saat kita bertemu di lain kesempatan. Ku lihat kau menunjuk seorang pria, yang tengah memegang erat tangan gadis kecilmu. Usianya kini enam tahun, pengingat kita ternyata sudah lama tak bertemu.

Sayang, kau bilang padaku. Pecundang itu masih memenangkan hatimu. “Melihatnya berlutut di hadapanmu kala itu, aku merasa bukan dia yang menyedihkan tetapi aku. Dia orang jahat, itu memang benar. Tapi perasaanmu padanya adalah perasaan yang tetap nyata dan tulus hingga saat ini. Itulah yang menyakitiku sayang, sekarang rasanya perasaan ini menjadi sia-sia. Aku diam di sini menikmati secangkir rindu yang terakhir. Darinya aku belajar sayang. Seorang pecundang, apa pantas sepertinya disebut sebagai bangsawan?” Di balik kesakitan yang kini kurasakan karena sikapmu, aku masih tak bisa mengerti. Mengapa saat punya kesempatan, kamu tak membalas semua hinaan dia padamu. Kamu justru diam, berlalu pergi dan tak melakukan apa-apa.

Sayang, dari kisahmu dengannya, aku pun belajar, tak peduli kamu pernah kalah, berbuat salah atau bahkan jatuh berkali-kali, bersikaplah biasa saja, jangan seperti pecundang yang bersembunyi atau bahkan diam-diam lalu menghilang. Itu mungkin saja adalah permulaan untuk hidup lebih baik, nikmati saja. Mungkin di akhir permainan justru dia yang yang membuatmu terluka, akan merasakan kekalahan yang jauh lebih menyakitkan. Ibarat mata air, kamu masih menjadi sumber kehidupan untukku di masa lalu.

“Apakah bila aku berlutut padamu hari ini, apa kau akan kembali padaku?”. Karena cintaku padamu sayang, sekalipun aku tak ikhlas melihat pecundang itu memenangkan permainan. Aku tetap tidak ingin memperlihatkan kesakitanku padamu, sekalipun aku pernah terluka karenamu. Aku tak ingin seperti mereka sayang, yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup. Di sisa terakhir kopi yang kuteguk, menutup kenanganku denganmu, sepertinya aku akan menangis sepanjang malam, ditemani kenanganmu. Kau tahu arti tangisan ini sayang, aku menangis karena memikirkanmu, yang masih jadi puisi dalam setiap karyaku.

Makassar, 18 januari 2017

Ilustrasi: http://faust-sayuri.deviantart.com/art/coffee-318510632

  • Kadang kala, kita dituntut untuk sukses oleh orang-orang sekitar. Harus punya ini, bisa beli itu, jadi ini, dll. Padahal, bukankah definisi sukses antara saya, kamu, dan dia itu berbeda? Hal ini seringkali menjadi problematika di masyarakat, menyebabkan seseorang tidak mampu menjadi apa yang ia inginkan. Sebagai generasi Z, saat ini sedang dihadapkan oleh suatu tantangan.…

  • Purnama lalu, 18 Oktober 2022 kita memperingati Hari Perpustakaan Sekolah Internasional. Tak ada twibbon bertebaran, tidak ada ajakan membaca dari presiden, Mas Menteri pun sepertinya enggan berpidato, paling tidak mengajak sekolah memikirkan ulang perpustakaannya masing-masing. Kita juga sepertinya sama saja. Perpustakaan sekolah seolah hidup segan, mati tak mau. Antara ada dan tiada. Fisiknya kokoh berdiri,…

  • A’baribbasa’ berasal dari Bahasa Makassar baribbassa yang artinya pagi. Pagi yang dimaksud di sini adalah sebelum terbitnya matahari. A’baribbasa’ adalah tradisi sarapan bersama di pagi hari jelang panen padi. Jika melihat ke belakang dari sejarah peradaban Bugis-Makassar, a’baribbasa’ adalah bagian dari penghormatan kepada Sangiang atau Sangeng Serri yang merupakan Dewi Padi yang dipercaya sebagai seorang…

  • Seorang lelaki yang telah lama hidup sendiri sangat gemar memakan labu kuning. Aneka jenis hidangan selalu ada unsur labu yang ia masukkan. Seperti sayur, sup, jus, kue maupun roti. Suatu waktu ia harus meninggalkan rumahnya di desa dan memulai hidup baru di kota seberang. Harta yang ia miliki hanyalah rumah dan labu-labunya. Rumahnya pun sudah…

  • Malam sedang pekat-pekatnya, mata ini tak kunjung terlelap. Di luar, rintik hujan sedang malu-malu menyapa tanah. Saya lalu menyalakan televisi, tapi seperti kita ketahui, tak ada tontonan menarik saat tengah malam. Ya, paling hanya berita tadi pagi, disajikan kembali. Atau sinetron, tapi tak amat seru untuk ditonton. Saya lalu beralih, membuka gawai. Membuka YouTube, sementara earphone telah…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221